Jakarta, 25 Mei 2022 – Literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) semakin dibutuhkan dalam dunia pendidikan untuk membangun kultur perdamaian. Guru dengan peran strategisnya perlu menemukan cara-cara kreatif agar tiga kompetensi dasar LKLB yaitu pribadi, komparatif, dan kolaboratif, bisa diterapkan lewat praktik pembelajaran di kelas.

Sebanyak 118 guru peserta program pelatihan LKLB dari tiga rumpun ilmu (Agama, IPS, dan IPA) mendapatkan pembekalan lebih lanjut dalam kelas upgrading untuk penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Kegiatan tersebut digelar dalam dua gelombang yaitu guru SMP/MTs pada 18 dan 25 April 2022 dan guru SMA/MA pada 19 dan 26 April 2022.

“Di sinilah letak pentingnya peran bapak dan ibu selaku pendidik. Peluangnya lewat mata pelajaran di MTs/SMP dan MA/SMA yang bisa memberikan ruang-ruang perjumpaan untuk tumbuh dan berkembang dalam kebajikan, toleransi, dan kasih sayang. Inilah cerminan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin,” kata salah satu pembicara, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayah Khisbiyah.

Yayah mengungkapkan keprihatinannya akan fenomena yang terjadi saat ini yaitu lembaga pendidikan justru muncul sebagai “perpustakaan kebencian”. Alih-alih mencari titik temu, lembaga pendidikan kadang semakin meneguhkan sekat-sekat perbedaan antar agama.

Yayah mengisahkan pengalamannya sendiri saat menghadapi sang anak yang mempertanyakan kesucian gereja karena diajarkan bahwa kesucian hanya milik umat Islam. Dia juga terkejut saat sang anak menegurnya karena membaca kitab suci agama lain.

“Saya mengajarkan anak-anak toleran, berpikiran terbuka, kemudian problem muncul ketika saya masukkan ke sekolah berafiliasi agama dengan maksud meningkatkan kompetensi personal agar lebih saleh/soleha dan beriman Islam,” ujarnya.

Menurut Yayah, anak-anak yang sebenarnya tulus dan ikhlas dalam berhubungan dengan orang lain sangat mungkin terpengaruh oleh dogma dan doktrin yang salah. Situasi itu rentan menciptakan kekerasan baik kekerasan secara langsung maupun struktural.

“Jika kita bisa melakukan agenda strategis ini mudah-mudahan generasi muda bisa lepas dari kultur kekerasan dan ditransformasi sebagai agen perdamaian,” kata Yayah.

Output Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk mata pelajaran prakarya dan kewirausahaan dari salah satu peserta kelas upgrading LKLB yaitu Nur Amalia, guru kelas X MAN Insan Cendekia Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Inovasi Kurikulum

Sementara itu, pegiat pendidikan di Perkumpulan Pengembang Pendidikan Interreligius (Pappirus), Listia Suprobo, mengatakan tantangan bersama untuk mewujudkan LKLB dimulai dari guru itu sendiri. Dia menilai pendidik harus membuka kesadaran baru dalam menumbuhkan mentalitas yang terbuka terhadap keragaman.

“Ini tugas yang membutuhkan kesediaan kita sendiri untuk membuka diri sendiri melihat ke dalam, mengoreksi apa yang menjadi keyakinan atau prasangka tentang dunia luar dan mereka yang berbeda,” kata Listia.

Menurutnya, sekolah atau madrasah bisa melakukan inovasi dan pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yaitu pada struktur kurikulum, alokasi waktu, sumber dan bahan pembelajaran, desain pembelajaran, muatan lokal, serta ekstrakurikuler. Khusus ekstrakurikuler, madrasah bisa menambah beban belajar sebanyak-banyaknya 6 jam pelajaran berdasarkan pertimbangan kebutuhan peserta didik, akademik, sosial, budaya, dan ketersediaan waktu.

Listia menambahkan kebijakan pemerintah lewat Kurikulum Merdeka dan profil Pelajar Pancasila sebenarnya mengakomodasi guru untuk berkreasi dengan praktik pembelajaran. Guru diharapkan bisa menciptakan model-model pembelajaran yang menolong peserta didik berhadapan dengan kehidupan konkret yang plural, serta mengembangkan kemampuan bekerja sama dengan berbagai kalangan dan latar belakang.

Listia mencontohkan praktik kunjungan guru dan siswa di SD Muhammadiyah, Probolinggo, Jawa Timur ke gedung Gereja St. Maria Bunda Karmel.

“Dulu banyak sekali anggapan, kalau sudah masuk gereja nanti akidahnya luntur. Ternyata tidak, mereka tetap bergembira, biasa saja, tidak ada yang berubah kecuali wawasan, kemanusiaan, dan kesadaran tentang relasional bahwa semua orang tidak bisa tidak terhubung dengan orang lain termasuk yang berbeda,” ucapnya.

Sesi upgrading LKLB kali ini digelar dalam format berbeda dimana peserta tidak hanya mendengarkan paparan narasumber, tetapi juga melakukan diskusi kelompok per mata pelajaran lewat fasilitas breakout room. Sejumlah peserta juga ditunjuk untuk mempresentasikan hasil RPP mereka. Jumlah RPP yang terkumpul dalam sesi upgrading ini sebanyak 43 RPP (tingkat SMA) dan 30 RPP (tingkat SMP). [IL/Chr]