
Oleh Erna Widi Septiharyanti, S.Sos.
Diakui atau tidak sekolah di Indonesia masih banyak tak bergerak menggelorakan pentingnya menerima dan menghargai perbedaan agama dan budaya pada anak didiknya. Baik sekolah berbasis agama ataupun tidak. Dalam konteks Pendidikan Kristen, sudahkah sekolah Kristen menumbuhkembangkan literasi keagamaan dan lintas budaya dalam praktik pembelajaran di sekolah?
Selama ini guru sekolah Kristen belum banyak berperan aktif dalam membangun semangat LKLB di sekolah. Kami kurang menyiapkan anak didik terlibat aktif secara nyata dalam membangun toleransi menghadapi perbedaan agama dan budaya yang lekat pada bangsa ini. Sebaliknya, sekolah Kristen masih berkutat mengajarkan materi ajar dari sudut pandang iman sendiri, tanpa mencoba mengajak anak didik berpikiran lebih luas di negara plural seperti Indonesia.
Benar kata Koordinator Umum SKG Gloria, Yana Poedjianto, saat memberikan sambutannya pada Pelatihan Internasional LKLB akhir Februari lalu. Bahwa perasaan takut dan was-was masih menggelayut di benak para guru sekolah Kristen tatkala harus mengajak anak didik belajar tentang agama lain. Mereka tampak takut dan gentar ketika harus mendorong kesadaran multikultural anak didik. Bahkan para guru merasa resah manakala ingin membangun rasa empati dan toleransi, jangan-jangan menyimpang dari misi Sekolah Kristen dalam menjalankan Amanat Agung.
Sesuai Amanat Agung, sekolah Kristen tak hanya sebagai penyelenggara pendidikan yang membentuk nilai hidup, mentransfer pengetahuan dan melatih keterampilan anak didik. Lebih dari itu, sekolah Kristen banyak menekankan pada pengajaran nilai-nilai kristiani yang bersumber dari Alkitab, menjadikan semua bangsa murid Kristus, memberitakan Allah dan karyaNya yang agung, dan memimpin anak didik mengalami kelahiran baru.
Tapi faktanya, konsekuensi menjalankan misi Amanat Agung seringkali menjebak sekolah Kristen pada sikap tertutup dalam memahami pandangan agama lain. Tanpa sadar, sekolah Kristen lebih menjalankan kurikulum pendidikan berbasis agama dibanding multikultural. Dominan mengajarkan prinsip agama, dan sedikit menekankan perilaku hidup sesuai prinsip pendidikan multikultural. Pada akhirnya, sekolah minim mengajak anak didik saling mengenal dan berkolaborasi dengan sesama temannya yang berbeda latar belakang agama dan budayanya.
Ber-LKLB menumbuhkan Pendidikan Multikultural di Sekolah Kristen
Menurut Ahmad Suradi, dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, sekolah harus mengedepankan filosofi pluralisme budaya ke dalam sistem pendidikan berdasarkan prinsip persamaan (equality), saling menghormati, menerima, memahami dan memiliki komitmen moral untuk sebuah keadilan sosial. Sudah sepatutnyalah sekolah Kristen juga mengedepankan prinsip-prinsip ini dalam kurikulum pendidikan yang diterapkan di sekolah.
Senada dengan M. Ainul Yaqin, pendidikan multikultural merupakan strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua mata pelajaran, dengan cara mengenalkan semua perbedaan kultural (agama, suku, ras, gender, budaya, dan lain-lain) pada para siswa, agar proses belajar menjadi lebih mudah. Maka, sangat relevan jika sekolah Kristen dalam konteks ke-Indonesiaan saat ini, perlu ber-LKLB untuk menumbuhkan pendidikan multikultural dalam proses pembelajaran di semua mata pelajarannya.
Keberadaan LKLB menjadi oase bagi sekolah Kristen dalam upaya menumbuhkan dasar pendidikan multikultural. Karena sebagai pendekatan berpikir, bersikap dan bertindak, LKLB mengoptimalkan kompetensi pribadi (pemahaman akan kerangka moral, spiritual, dan pengetahuan diri) guru untuk memahami dan menerima orang lain yang berbeda agama dan kepercayaan (kompetensi komparatif), dan memampukan guru untuk dapat bekerja sama dengan orang yang berbeda agama dan kepercayaan (kompetensi kolaboratif).
Harapannya, ketiga kompetensi yang dimiliki guru ini akan ditularkan pada anak didiknya. Guru tidak melulu mengajarkan doktrin agama Kristen, tetapi juga mendampingi anak didik untuk mampu menumbuhkembangkan ajaran itu dalam praktik kehidupan sehari-hari (kompetensi pribadi). Bahkan, mereka akan mampu mengenalkan ajaran agama lain yang inheren dengan ajaran agama yg diajarkan di sekolahnya (kompetensi komparatif).
Melalui komunitas alumni dan program-programnya, LKLB menguatkan eksistensi dan kolaborasi damai antaragama di Indonesia. Para guru sekolah Kristen belajar menumbuhkan kepekaan yang dimulai dengan mengembangkan kemampuan guru dalam berliterasi keagamaan lintas budaya. Guru akan benar-benar memahami agamanya dan memiliki teologi mendalam yang akan melahirkan cara pandang moderat dalam melihat agama lain. Alhasil, guru akan mampu mendorong sikap inklusif, dan memberikan pengaruh positif dalam hal beragama, toleransi dan terbuka kepada anak didik menghadapi berbagai perbedaan yang ada disekitarnya.
LKLB: Keniscayaan bagi Sekolah Kristen
Menghadapi berbagai sekat pemisah masyarakat yang meresahkan eksistensi negara Indonesia saat ini, bagaimana sekolah Kristen mempersiapkan anak didiknya dalam merespon kondisi ini dengan bijak? Apakah akan terus diam, atau harus bangkit memperbaiki sistem pendidikannya?
Ya. Sekolah Kristen harus berbenah menghakhiri sekat-sekat pemisah itu. LKLB menjadi suatu keniscayaan bagi Sekolah Kristen untuk mengurangi sekat pemisah itu. Butuh kesadaran, keterbukaan dan kerelaan para guru untuk mau dan mampu mengajarkan kepada anak didik bagaimana melihat sesuatu dari sudut pandang agama lain. Di tingkat praktik bermasyarakat, peserta didik perlu diajarkan cara hidup berdampingan secara damai tanpa membeda-bedakan orang terdekat di sekitar mereka, seperti teman sekolah dan bermain, tetangga, asisten rumah tangga, sopir ataupun tukang kebun mereka yang bisa jadi berbeda agama dan kelas ekonomi dengan mereka.
Perspektif LKLB harus “meracuni” cara berpikir para guru, pemilik, dan stakeholder sekolah Kristen untuk mampu menginternalisasikan kompetensi pribadi, komparatif dan kolaboratif kepada anak didiknya. Niscaya, sekolah Kristen akan mampu mengembangkan kompetensi dan keterampilan anak didik dalam berelasi dengan orang yang berbeda agama dengan fasih penuh toleransi. Benar-benar menjadi Indonesia yang berbhineka tunggal ika.
“Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya.” (Roma 10:12)
0 Comments