Para peserta kelas upgrading Kompetensi Komparatif Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) dengan tema “Memahami Yudaisme”.

Jakarta, LKLB News – Salah satu kompetensi yang dibutuhkan dalam literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) adalah kompetensi komparatif yakni mengerti ajaran agama lain agar terbangun saling pemahaman dan menghapuskan kesalahpahaman satu sama lain. Dalam kelas upgrading Kompetensi Komparatif LKLB pada 31 Mei dan 2 Juni 2022, para peserta diberikan kesempatan untuk mengenal lebih dalam agama Yudaisme, khususnya dua ajaran pentingnya yaitu Taurat dan doa.

Kelas upgrading dibawakan oleh Direktur Hubungan Muslim-Yahudi American Jewish Committee (AJC), Dr. Ari Gordon, dengan topik “Memahami Yudaisme”. Hadir sebagai peserta sebanyak 82 alumni pelatihan LKLB, serta penanggap materi yaitu Kepala Program Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Dr. Dian Nur Anna.

“Penting bagi kita ketika berpikir tentang LKLB menyadari ada dinamika sebagai insider dan outsider,” kata Dr. Gordon, sebagai salah satu tokoh perekat relasi Muslim dan Yahudi yang konsisten mendorong kerja sama kedua pihak dalam isu-isu yang menjadi kepedulian bersama.

Dr. Gordon menjelaskan dirinya adalah insider Yudaisme karena memang tumbuh sebagai penganut agama itu. Namun, ketika dia mencoba memahami agama lain, dalam hal ini Islam, sekalipun dia adalah pakar yang mempelajari Al-Quran, hadits, dan lain-lain, tetap saja ada hal-hal yang tidak diketahuinya.

“Kita harus menghormati batasan itu (insider dan outsider). Kita tidak mempelajari agama orang lain agar bisa mempraktikannya, melainkan saya belajar itu supaya saya bisa mengetahui manusia lainnya yang menyembah Tuhan,” kata Dr. Gordon.

Menurut Dr. Gordon, Taurat (Torah) adalah hal sentral bagi umat Yahudi. Tanpa mengerti makna Taurat, seseorang tidak akan mengerti agama Yudaisme.

Dia menjelaskan Taurat memiliki sejumlah makna bagi orang Yahudi yaitu gulungan Taurat atau lima kitab Musa, Taurat tertulis (Tanakh), dan Taurat lisan (Talmud dan Midrash). Taurat juga bisa bermakna semua kebijaksanaan, pengajaran, dan pemikiran Yahudi sepanjang masa.

“Apa yang orang Yahudi lakukan dengan Taurat? Menulisnya dan mempelajarinya,” kata Dr. Gordon.

Narasumber kelas upgrading, Dr Ari Gordon (kanan) dan Kepala Program Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Dr. Dian Nur Anna selaku penanggap.

Ritual Doa Yahudi

Mengenai doa Yahudi, Dr. Gordon menjelaskan orang Yahudi memiliki ritual doa tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang, dan malam hari setelah matahari terbenam. Namun, doa Yahudi juga disampaikan sebagai ucapan syukur atas berkat Tuhan, saat perayaan Sabbath dan hari raya, serta kapan pun. Ritual doa Yahudi bisa dilakukan di rumah atau sinagoge bersama umat lainnya.

Dr. Gordon menegaskan seorang guru berperan penting untuk menumbuhkan keinginan belajar dari para siswa. Dia mengisahkan pengalamannya saat remaja ketika menolak praktik-praktik keagamaan Yahudi di sekolah termasuk waktu doa. Sang kepala sekolah, yang merupakan seorang Rabi Yahudi, memanggilnya namun tidak langsung memarahinya.

“Saya tidak mau mempraktikkan agama karena saya diberitahu itu sesuatu yang harus kamu lakukan, sebagai kewajiban. Tuhan luar biasa, lalu mengapa Tuhan membutuhkan kita (melakukan kewajiban agama)? Itu tidak masuk akal bagi saya,” ujarnya menceritakan pemikirannya saat berumur 14 tahun.

Dr. Gordon menyebut pemikirannya tentang tradisi agama mendapatkan pencerahan dari kepala sekolah yang bersikap bijaksana. “Rabi mengatakan kepada saya bahwa Taurat, hukum, dan praktik semuanya bisa menjadi ekspresi hubungan antara manusia dengan Tuhan, bukan semata kewajiban atau memenuhi kewajiban,” lanjutnya.

Sementara itu, Dr. Dian Nur Anna mengatakan setiap agama mempunyai ajaran tersendiri terkait doa atau sembahyang, namun tetap memiliki kemiripan satu sama lain. Salah satu contohnya adalah sembahyang Yahudi yang bisa dilakukan secara personal maupun berjamaah. (IL/Chr)