Institut Leimena hadir sebagai salah satu narasumber dalam Special International Religious Freedom (IRF) Roundtable yang diadakan di Cannon Caucus Room, Cannon House Office Building, di Amerika Serikat, 3 Februari 2025.

Jakarta, LKLB NewsInstitut Leimena (IL) diundang sebagai narasumber dalam dua forum internasional di Amerika Serikat (AS) untuk menyampaikan pengalamannya membangun kerja sama lintas agama di Indonesia melalui program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB). Direktur Eksekutif IL, Matius Ho, hadir sebagai pembicara utama pada 3 Februari 2025 dalam rangkaian kegiatan yaitu Special International Religious Freedom (IRF) Roundtable yang diadakan di Cannon Caucus Room, Cannon House Office Building, di kawasan Capitol Hill, dan Global Faith Forum di Washington Hilton.

IRF Roundtable telah berdiri sejak 2010 sebagai wadah informal bagi lembaga swadaya masyarakat (LSM), individu, dan pejabat pemerintah dari berbagai agama dan kepercayaan, untuk membahas isu-isu kebebasan beragama di berbagai belahan dunia. Sedangkan, Global Faith Forum (GFF) berfokus mengumpulkan para pemimpin dan advokat agama untuk saling berbagi nilai tentang penghormatan antar komunitas agama melalui aksi nyata di tengah dunia yang menghadapi polarisasi dan konflik.

“Kehadiran Institut Leimena dalam kedua forum tersebut dianggap bermakna karena telah berkontribusi penting dalam relasi lintas agama di Indonesia melalui upaya membangun saling pemahaman antar agama dan meningkatkan kolaborasi multiagama melalui program LKLB,” kata Matius Ho kepada LKLB News.

Special IRF Roundtable 2025 diadakan sehari sebelum IRF Summit 2025, menjadi forum yang membuktikan bahwa orang-orang dari semua agama dan kepercayaan dapat saling terlibat, sekalipun ada perbedaan terdalam, untuk mengambil tindakan bersama dalam membangun perdamaian dan kesejahteraan.

Special IRF Roundtable, yang dihadiri oleh 200 peserta secara luring dan 55 peserta daring, diadakan di Cannon Caucus Room di Cannon House Building yang terletak di Selatan Gedung Capitol AS di Washington D.C, yakni gedung perkantoran ikonik Kongres AS. Pertemuan penting ini dihadiri oleh perwakilan pemerintah AS dari Kantor Kebebasan Beragama Internasional Kementerian Luar Negeri, Komisi AS untuk Kebebasan Beragama (USCIRF), delegasi internasional, dan pemimpin masyarakat sipil.

Sementara itu, Global Faith Forum (GFF) diadakan oleh Multi-Faith Neighbors Network (MFNN) memiliki moto “Transformation Begins with Relationships”, untuk membangun rasa saling percaya dan menghormati antar pemimpin agama melalui keterlibatan masyarakat serta dialog dan relasi otentik.

Matius menjelaskan program LKLB yang dijalankan Institut Leimena telah menjadi contoh konkret untuk membangun kolaborasi multiagama khususnya di Indonesia. Hal itu karena pelaksanaannya melibatkan kerja sama berbagai lembaga pendidikan dan keagamaan dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan.

“Program LKLB dikembangkan untuk membangun rasa saling percaya dengan memerangi prasangka dan stereotip negatif terhadap orang lain yang berbeda. Fokus ini krusial karena prasangka dan ketakutan terhadap ‘yang lain’ adalah bibit subur bagi konflik sosial,” kata Matius Ho.

Matius menambahkan program LKLB melampaui keterbatasan dialog antaragama tradisional yang seringkali berhenti pada tahap mengenal, sebaliknya pengetahuan tentang orang lain yang berbeda agama tidak selalu diterjemahkan menjadi empati dan solidaritas. Dia mengutip teori dari ilmuwan politik terkemuka dan professor kebijakan publik dari Harvard University, Robert Putnam, yang berfokus membangun rasa saling percaya atau dikenal sebagai modal sosial.

Secara spesifik, program LKLB melatih para guru untuk mengembangkan modal sosial penghubung (bridging social capital), yang menghubungkan orang-orang dari latar belakang berbeda, alih-alih modal sosial pengikat (bonding social capital) yang hanya menghubungkan orang-orang dengan latar belakang yang sama. Para guru dilatih untuk menguasai tiga kompetensi utama LKLB yaitu kompetensi pribadi, komparatif, dan kolaboratif.

Sejak diluncurkan Oktober 2021, saat pandemi Covid-19, program LKLB mendapatkan respons luar biasa. Hingga akhir 2024, lebih dari 9.000 pendidik, atau sekitar 3.000 per tahun, telah lulus dari 60 angkatan pelatihan pengenalan LKLB. Peserta adalah guru-guru dari madrasah dan sekolah umum dengan latar belakang agama Muslim, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu.

“Menariknya, program ini tidak hanya diikuti oleh guru mata pelajaran agama, tetapi juga guru mata pelajaran non-agama seperti Matematika dan Kimia. Ada contoh guru Matematika yang mampu melibatkan siswanya dalam diskusi tentang toleransi beragama menggunakan statistik,” lanjut Matius.

Matius Ho menyampaikan paparan tentang program Literasi Keagamaan Lintas Budaya dalam Global Faith Forum, awal Februari 2025.

Kabar Baik dari Indonesia

Matius juga membagikan kisah inspiratif perjumpaan dalam program LKLB antara seorang guru madrasah di Jawa Tengah, Rohmat Hidayat, dengan guru dari sekolah Kristen, Yonathan Djalimun. Keduanya menjadi teman dan berinisiatif mengatur kunjungan siswa dari sekolah masing-masing. Kisah Rohmat dan Yonathan mendorong aksi serupa dari alumni program LKLB dari sekolah Kristen di Ambon, Maluku, Salomina Patty, untuk berkolaborasi dengan kepala sekolah dari sekolah Muslim di sana untuk bersama-sama mendeklarasikan “Sekolah Gandong”.

“Inisiatif semacam ini menjadi harapan besar bagi upaya perdamaian dan rekonsiliasi khususnya di daerah dengan latar belakang konflik antar agama seperti Ambon,” ujar Matius.

Menurut Matius, paparannya terkait program LKLB menjadi kabar baik dari Indonesia yang diangkat dalam Special IRF Roundtable di Caucus Room, Canon House Office Building, di tengah berbagai isu kebebasan beragama yang terjadi di sejumlah negara dunia seperti Ukraina, Irak, Nigeria, Pakistan, Palestina, Ghana, dan lainnya.

“Para pemimpin agama, pejabat pemerintah, dan perwakilan LSM menyampaikan keprihatinan mendesak dan berkolaborasi mencari solusi potensial untuk mendorong aksi multiagama yang bermakna,” sebut pernyataan tertulis dari Special IRF Roundtable.

Special IRF Roundtable menghadirkan antara lain Co-Chair IRF Roundtable dan CEO IRF Secretariat, Greg Mitchell, dan Co-Chair IRF Roundtable, Nadine Maenza. Dua pejabat AS juga menyampaikan sambutan dalam forum tersebut yaitu Patrick Harvey, Senior Official, U.S. State Department Office of International Religious Freedom, dan Nathan Wineinger, Chief of Public Affairs, U.S. Commission on International Religious Freedom (USCIRF).

Sementara itu, Global Faith Forum yang diinisiasi oleh para pendiri Multi-Faith Neighbors Network, yaitu Pastor Bob Roberts Jr., Imam Mohamed Magid, dan Rabi David Saperstein, juga menghadirkan narasumber terkemuka, termasuk dua mantan Dubes AS untuk Kebebasan Beragama Internasional yaitu Rashad Hussain dan Sam Brownback. [IL/Chr]