Pertemuan Institut Leimena dengan Wakil Menteri Pendidikan Republik Filipina untuk Manajemen Strategis, Ronald U Mendoza, dalam rangka memperkenalkan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB), 25 Juli 2025.

Jakarta, LKLB News – Institut Leimena melakukan kunjungan kerja ke Filipina pada 21–25 Juli 2025 untuk menjajaki potensi penerapan pendekatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) di negara tersebut. Program LKLB telah berhasil diimplementasikan di Indonesia, dan kini tengah dikaji relevansinya dalam konteks Filipina, khususnya di Metro Manila dan Mindanao.​

Delegasi Institut Leimena yang dipimpin oleh Direktur Eksekutif, Matius Ho, didampingi Direktur Program, Daniel Adipranata, Manajer Program, Puansari Siregar, dan Program Officer, Priskila Arta Bundu. Selama kunjungan, dilakukan pertemuan dengan berbagai berbagai pihak strategis dari lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, hingga tokoh lintas agama.

“Kunjungan ini menjadi langkah awal membangun jejaring baru sekaligus memahami tantangan dan peluang penguatan dialog lintas iman di Filipina,” kata Matius Ho.

Matius mengungkapkan hasil pertemuan menunjukkan antusiasme tinggi dari para mitra, khususnya dalam mengintegrasikan LKLB ke dalam program pendidikan perdamaian dan strategi nasional. Kementerian Pendidikan Filipina bahkan membuka peluang agar LKLB dapat diperkenalkan lebih luas dalam kerangka ASEAN Summit tahun 2026 saat Filipina menjadi Ketua ASEAN.

Beberapa tokoh yang ditemui dalam rangkaian kunjungan ke Filipina antara lain Yam Meriam Alug-Macalangcom dari Kementerian Pendidikan Dasar, Tinggi, dan Teknis Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao (BARMM), Dr. Aldrin M. Peñamora dari Philippine Council of Evangelical Churches (PCEC), Amina Rasul dan Salma Rasul dari Philippine Center for Islam and Democracy, Dr. Dato Kim Tan dari Transformational Business Network, serta pejabat dari Office of the Presidential Adviser on Peace, Reconciliation and Unity (OPAPRU).

Selain itu, Institut Leimena juga berdialog dengan pimpinan Mindanao State University, Iligan Institute of Technology, dan organisasi perdamaian berbasis pemuda Kris for Peace.

Pertemuan dengan Wakil Presiden Universitas Negeri Mindanao, Dr. Alma Berowa, Direktur Eksekutif Institut Perdamaian dan Pembangunan di Universitas Negeri Mindanao, Dr. Acram Latiph, dan Presiden Universitas Negeri Mindanao, Atty. Paisalin P. Tago.

Diskusi dengan lembaga keagamaan juga menegaskan relevansi LKLB di Mindanao, di mana interaksi antaragama masih menghadapi tantangan besar. Melalui dukungan Philippine Council of Evangelical Churches dan Office of the Presidential Adviser on Peace, Reconciliation and Unity, LKLB dipandang dapat menjadi jembatan penting untuk memperkuat kohesi sosial, menghubungkan akademisi, pemerintah, dan masyarakat sipil.

Hasil diskusi memperlihatkan antusiasme tinggi terhadap relevansi LKLB, khususnya dalam mendukung program pendidikan perdamaian di Mindanao serta memperkuat dialog antaragama.

“Dengan tindak lanjut yang kini tengah dijalankan, kunjungan ini menandai fondasi kuat bagi kerja sama lintas negara dan lintas sektor dalam memajukan literasi lintas agama sebagai pilar perdamaian di Asia Tenggara,” ujar Matius.

Sesi makan malam bersama Presiden Philippine Center for Islam and Democracy (PCID), atau Pusat Islam dan Demokrasi Filipina, Amina Rasul, Direktur Program PCID, Salma Rasul, dan Presiden Dewan Imam Filipina, Ebra Moxsir Al-Haj.

Membangun Literasi dan Toleransi

Dalam pertemuan dengan Wakil Menteri Pendidikan Republik Filipina untuk Manajemen Strategis, Dr. Ronald U. Mendoza, tim Institut Leimena menjelaskan konsep LKLB dan penerapannya di lingkungan sekolah, dan pentingnya kolaborasi dalam membangun perdamaian di tengah kemajemukan terutama di lingkup ASEAN.

Menanggapi hal tersebut, Mendoza mengakui pentingnya pendidikan sebagai sarana membangun literasi, toleransi, dan perdamaian di tengah keragaman masyarakat.

Dalam diskusi, ia menekankan bahwa ruang kelas bukan hanya tempat belajar, tetapi juga menjadi wajah nyata kehadiran negara, terutama di wilayah-wilayah yang rentan. Pendidikan di sekolah tidak hanya sebatas proses input-output, melainkan sebuah ikhtiar untuk melahirkan masyarakat yang lebih melek pengetahuan, lebih toleran, dan lebih damai.

Mendoza menjelaskan ruang kelas menjadi wajah nyata yang sering kali paling terlihat dari kehadiran negara, terutama di wilayah-wilayah tertentu. Tanpa sekolah, masyarakat kerap merasa tidak tersentuh oleh pemerintah.

“Karena itu, sekolah berperan strategis sebagai pintu masuk dalam menanamkan nilai keberagaman, membangun sikap saling menghargai antaragama dan budaya, serta memperkuat fondasi kebersamaan,” ujar Mendoza. [IL/Wil/Chr]

 

Loading...