
Direktur Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI), Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, sebagai narasumber kunci dalam Pelatihan Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) kerja sama PKUMI dan Institut Leimena, 25-27 Agustus 2025.
Jakarta, LKLB News – Piagam Madinah bukan sekadar dokumen sejarah, melainkan pedoman dan rujukan etis yang diteladankan oleh Rasulullah SAW untuk memiliki sikap beragama yang inklusif. Semangat dalam Piagam Madinah digemakan kembali dalam Pelatihan Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diikuti oleh 172 peserta kader ulama Masjid Istiqlal.
Pelatihan internasional LKLB ini merupakan kerja sama antara Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) dan Institut Leimena yang diadakan secara luring pada 25-27 Agustus 2025. Melalui pelatihan ini, para peserta yang berasal dari 22 provinsi di Indonesia, diajak untuk memahami pendekatan LKLB sebagai bekal penting untuk menjalankan peran sebagai pemuka agama.
Direktur PKUMI, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, mengatakan Piagam Madinah merupakan teladan untuk hidup bertoleransi. Ia menjelaskan Piagam Madinah awalnya dibuka dengan kalimat bismillah, namun atas permintaan sebagian masyarakat non-Muslim, Rasulullah dengan bijak mencoretnya demi menjaga kebersamaan.
“Begitu hebatnya ajaran Rasulullah SAW memahami bagaimana beliau sebagai pemimpin negara Madinah bersikap toleran, inklusif, dan kolaboratif dengan umat yang berbeda keyakinan,” Prof. Thib yang merupakan seorang inovator pendidikan ulama yang moderat, visioner, dan berwawasan global.
PKUMI merupakan program unggulan unik dan pertama di dunia yang mengintegrasikan pendidikan kader ulama dengan jenjang akademik formal di Universitas PTIQ Jakarta pada level Magister dan Doktor, dengan dukungan beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). PKUMI diharapkan bisa mencetak generasi ulama yang tidak hanya kuat dalam khazanah keislaman klasik, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman dengan pemikiran yang terbuka.
“Kader ulama harus siap menjadi agen-agen perubahan yang mampu menghadapi eksklusivitas beragama dalam masyarakat,” ujar Thib.

Para kader ulama memiliki peran strategis untuk membangun harmoni lintas agama.
Mencetak Ulama Moderat
Menurut Thib, tugas kader ulama adalah memberikan pemahaman bahwa kehidupan manusia berlangsung di tengah keberagaman budaya dan agama, yang dalam istilah sekarang disebut lintas iman (interfaith). Ia menjelaskan pemahaman konsep interfaith memang penting, namun sebelum melihat ke luar, umat Islam juga perlu menyadari keragaman di dalam agama Islam sendiri.
Visi Pendidikan Kader Ulama adalah mencetak ulama moderat dan inklusif yang siap menerima siapa saja, hidup bersama dengan siapa saja, kapan pun dan di mana pun. Dengan pemahaman seperti itu, hidup akan lebih aman, sebab manusia memang tidak mungkin hidup sendiri.
“Kita punya empat mazhab: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Di tengah-tengah Sunni sendiri ada perbedaan pendapat ulama. Kalau tidak inklusif, kita bisa menganggap aliran kita yang paling benar,” ujar Thib yang mengadakan terobosan program short course internasional di Mesir dan Ameriksa Serikat untuk memberikan pengalaman global bagi mahasiswa.
Thib menambahkan orang-orang yang hidup secara eksklusif justru sering terjebak dalam “penyakit individualistik” karena tidak mampu berinteraksi dengan kelompok lain yang berbeda budaya, keyakinan, maupun agama. Ia mengingatkan bahwa Islam sendiri mengajarkan silaturahmi tanpa mengenal perbedaan. Bahkan, ujarnya, Rasulullah menekankan bahwa yang membedakan manusia hanyalah keyakinan dan ketaatannya terhadap agama yang dianut.
“Ada hadis Nabi, semua kalian itu satu, berasal dari ayah yang satu, Nabi Adam. Tidak ada perbedaan antara orang Arab dengan orang Ajam, tidak ada pula kelebihan orang kulit putih atas kulit hitam,” tegasnya.
Prof. Thib juga mengapresiasi Institut Leimena yang telah mengadakan pelatihan LKLB untuk para mahasiswa kader ulama, yang diharapkan bisa mewujudkan visi PKU moderat dan mendunia. Menurutnya, jika ingin mendunia maka sikap terbuka terhadap perbedaan menjadi penting.
“Itu sebabnya kami mewajibkan kader-kader ulama Masjid Istiqlal mengikuti pelatihan LKLB ini, karena mereka adalah ulama masa depan yang akan menghadapi tantangan besar, terutama dalam membangun hubungan interfaith,” lanjutnya.

Pelatihan LKLB berfokus kepada peningkatan tiga kompetensi untuk mendorong terciptanya kohesi sosial yaitu kompetensi pribadi, kompetensi komparatif, dan kompetensi kolaboratif.
Signifikansi LKLB
Sementara itu, Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI), Dr. Mulawarman Hannase, mengatakan sikap terbuka untuk berkolaborasi dengan kelompok yang berbeda membutuhkan literasi mendalam tentang ajaran agama sendiri sekaligus wawasan tentang agama lain.
“Rasulullah SAW sudah sangat banyak mencontohkan tidak hanya toleransi dan hidup bersama, tapi berkolaborasi. Piagam Madinah adalah salah satu bentuk kolaborasi Nabi dengan kelompok-kelompok berbeda keyakinan waktu itu,” kata Mulawarman.
Itulah sebabnya, ia mengatakan program LKLB menjadi penting karena mengajarkan bagaimana seseorang memiliki literasi yang baik tentang agama, baik agamanya sendiri maupun bagaimana agama orang lain memandang perbedaan. LKLB juga mendorong toleransi terwujud nyata dalam kolaborasi atau kerja sama untuk kebaikan bersama, terlepas dari perbedaan yang ada.
“Program ini (LKLB) sangat bagus karena memberikan literasi, pandangan informatif, dan perspektif luas dalam melihat agama lain setelah kita benar-benar memahami agama kita,” ujar Mulawarman.
Sementara itu, alumni pelatihan LKLB PKUMI angkatan ke-4, Fasjud Syukroni, berpendapat LKLB sebagai proses penting untuk memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang. Program LKLB mencegah seseorang dari paham dan praktik keagamaan yang berlebihan agar tidak jatuh pada sikap ekstrem.
“Program LKLB sangat penting untuk membuka cara pandang dan menambah wawasan, sehingga kita bisa lebih bijaksana dalam bertindak dan berinteraksi di tengah kemajemukan masyarakat,” kata Fasjid. [IL/Zul/Chr]