Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, menjadi pembicara dalam Panel 1 International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy (ICCCRL) atau Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya pada 11 November 2025 di Jakarta.

Jakarta, LKLB NewsWakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, menegaskan bahwa pendidikan sejati pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia. Artinya, pendidikan harus memproses seseorang menjadi pribadi yang mampu bersikap terbuka dan berempati terhadap orang lain sekalipun berbeda agama, etnis, atau budaya.

“Pendidikan sejatinya adalah memanusiakan manusia dan inti dasar dari kemanusiaan adalah bagaimana kita bisa belajar mempercayai orang lain, menjauhkan prasangka, dan menghilangkan stigma-stigma yang bersifat negatif,” kata Wamen Fajar yang menjadi pembicara kunci Panel 1 yang mengangkat topik “Education to Foster Social Trust in a Polarized World” dalam International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy atau Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) pada 11 November 2025.

Menurut Wamen Fajar, pendidikan tidak boleh dipersempit hanya pada aspek pengetahuan dan keterampilan teknis semata. Pendidikan justru harus memperkuat keterampilan non-teknis yaitu berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, komunikatif, dan berempati dengan orang lain. Menurutnya, arah pendidikan Indonesia saat ini juga telah diperkaya melalui pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning), bukan sebuah kurikulum baru melainkan upaya untuk memuliakan manusia.

“Dengan adanya tantangan kecerdasan buatan, digitalisasi, tsunami informasi, semuanya mempertanyakan kembali apa hakikatnya menjadi manusia dan mempertanyakan ulang apa peran pendidikan dalam dunia yang semacam ini?” kata Wamen Fajar.

Wamen Fajar mengapresiasi upaya Institut Leimena dalam mengembangkan program Literasi Kegamaan Lintas Budaya termasuk menginisiasi terlaksananya Konferensi Internasional LKLB. Dia menegaskan pendidikan di Indonesia harus menjadi ruang tumbuhnya literasi lintas agama dan budaya karena jutaan anak Indonesia setiap hari belajar berdampingan dengan teman yang berbeda suku, agama dan budaya.

“Saya juga tahu Institut Leimena telah berjuang keras untuk mengembangkan program Cross-Culutral Religious Literacy sejak tahun 2021. Kami juga percaya, apa yang telah dilakukan oleh Institut Leimena menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa ini untuk memperkuat kebhinnekaan,” kata Fajar.

Wamen Fajar menjelaskan keberagaman sebagai kekuatan Indonesia yang perlu dirawat melalui literasi keagamaan lintas budaya.

Di hadapan ratusan peserta Konferensi Internasional LKLB, Fajar menyampaikan penelitiannya bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Abdul Mu’ti, di wilayah timur Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua, yang menunjukkan bagaimana sekolah-sekolah Muhammadiyah di daerah mayoritas non-Muslim telah menjadi ruang belajar bagi anak-anak Katolik dan Protestan. Penelitian ini kemudian dibukukan dengan judul “Kristen Muhammadiyah”.

“Sekolah-sekolah ini menjadi laboratorium kehidupan bersama bagi anak-anak kita yang berbeda keyakinan, tetapi mereka punya tujuan bersama sebagai bangsa yang beragam. Mereka menunjukkan bahwa ketika pendidikan dijalankan dengan tulus dan inklusif, kepercayaan sosial tumbuh dengan sendirinya,” kata Fajar.

Para pembicara Panel 1 Konferensi Internasional LKLB dengan topik “Education to Foster Social Trust in a Polarized World”.

Upaya Negara Lain Bangun Saling Percaya

Officer-in-Charge Undersecretary of Finance at the Department of Education, Filipina, Edson Byron, mengatakan kepercayaan merupakan infrastruktur tak kasat mata yang menyatukan masyarakat sehingga pemerintah Filipina menjadikannya fondasi dalam sistem pembelajaran.

“Dalam beberapa tahun terakhir ini kepercayaan telah diuji oleh mininformasi, namun kami yakin, pemulihan kepercayaan harus dimulai dari ruang kelas. Karena itu, kami memperkuat pendidikan karakter, budi pekerti dan etika karena kompetensi tanpa hati nurani adalah kehampaan,” kata Byron.

Ia menambahkan kurikulum di Filipina sekarang menekankan Kewarganegaraan dan Keterlibatan Sosial, Kewarganegaraan Global, serta Aksi Komunitas untuk menanamkan kesadaran empati dan tanggung jawab sosial sejak dini.

“Kami ingin menumbuhkan peserta didik yang berempati, bukan hanya yang berprestasi. Tugas kita bukan menghapus perbedaan, tetapi menjadi mitra dalam kemanusiaan,” lanjut Byron.

Ali Rashed Al Nuaimi yang memimpin Manara Center for Coexistence of Dialogue Uni Emirat Arab (UEA), sebagai Pusat Keunggulan Internasional untuk Melawan Ekstremisme Kekerasan, menyatakan pentingnya melihat keberagaman sebagai kekuatan dan kekayaan bangsa, bukan sumber perpecahan. Keberagaman harus dipastikan sebagai investasi untuk membangun jembatan kepercayaan dan kemitraan antarkomunitas.

“Setiap negara perlu mengembangkan versi keimanan dan kebudayaannya sendiri yang berakar pada nilai-nilai lokal. Indonesia telah menunjukkan bahwa Islam yang tumbuh di sini menghargai perbedaan dan menerima semua tanpa memandang agama, etnis, atau warna kulit,” kata Al Nuaimi.

Salah seorang peserta Konferensi Internasional LKLB mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan secara langsung kepada para pembicara Panel 1.

Andreas Weissenbäck, Wakil Rektor di University for Teacher Education Vienna and Lower Austria, mengatakan setiap guru, bukan hanya guru agama, perlu memiliki kemampuan menghadapi keberagaman di ruang kelas. Berdasarkan reformasi hukum di Austria yang disebut Teacher Act 2015 bahwa semua mahasiswa program pendidikan guru wajib memiliki kompetensi lintas iman yang harus terintegrasi dengan kompetensi profesional mereka.

“Kementerian Pendidikan Austria telah menetapkan bahwa seluruh kurikulum pelatihan guru harus mencakup kompetensi pedagogis, berbasis mata pelajaran, serta kompetensi inklusif, lintas budaya, lintas iman, dan sosial,” kata Weissenback. 

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Hukum Kementerian Hukum, Gusti Ayu Putu Suwardani, menjelaskan BPSDM Hukum dan Institut Leimena telah bekerja sama mengintegrasikan program LKLB ke dalam seluruh pelatihan aparatur sipil negara (ASN).

“ASN memiliki peran strategis sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Karena itu, kompetensi sosial-kultural harus diperkuat untuk mencegah polarisasi dan menjaga kohesi sosial,” ujarnya.

Senior Fellow Institut Leimena dan Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Amin Abdullah, menekankan tiga fondasi literasi yaitu literasi keadaban publik, literasi kebangsaan dan kenegaraan, dan literasi keagamaan lintas budaya. Menurutnya, agama harus hadir di ruang publik dengan wajah empati, bukan supremasi.

“Esensi pendidikan agama adalah membangun saling percaya, tanggung jawab sosial, dan solidaritas. Indonesia tengah menunjukkan pada dunia bahwa kolaborasi lintas agama bukan hanya mungkin, tetapi nyata dan produktif,” kata Amin. [IL/Chr]

Loading...