Dr. Ishaq Shamad, Wakil Rektor IV Bidang Tata Kelola Kampus Islami dan Pengembangan Pendidikan Universitas Muslim Indonesia (UMI), menjadi salah satu pembicara dalam Hybrid Upgrading Workshop Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Makassar, 11-13 Oktober 2024.
Jakarta, LKLB News – Toleransi dan hak kebebasan beragama perlu senantiasa dijaga dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Ajaran Islam juga sangat mendukung toleransi dan kebebasan beragama, sebagaimana tertuang dalam Surat Al-Kafirun ayat 6 yang berbunyi lakum diinukum waliyadin, artinya “Untukmu agamamu, untukku agamaku.”
Hal itu disampaikan oleh Wakil Rektor IV Bidang Tata Kelola Kampus Islami dan Pengembangan Pendidikan Universitas Muslim Indonesia (UMI), Dr. Ishaq Shamad, saat memberikan materi tentang Kompetensi Pribadi Islam dengan topik “Peran Guru sebagai Model dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama” dalam Hybrid Upgrading Workshop (HUW) Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) di Makassar, Sabtu, 12 Oktober 2024.
“Islam sendiri tidak mencampurbaurkan agama dan mendorong toleransi dalam membangun hubungan dengan orang lain yang berbeda agama,” kata Ishaq yang juga menjabat Ketua Dewan Pengurus Pusat Ikatan Masjid Mubalig Indonesia Muttahidah (DPP IMMIM).
Kompetensi pribadi merupakan satu dari tiga kompetensi dalam LKLB. Kompetensi pribadi artinya kemampuan individu untuk memahami agama sendiri, khususnya dalam hubungan dengan sesama manusia yang berbeda agama.
Ishaq menjelaskan Surat Al-Hujurat ayat 11 juga menyebutkan “Wahai orang-orang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari pada mereka (yang mengolok-olok).”
“Saya pernah beberapa kali satu kamar dengan pendeta, bermalam 2-3 hari di hotel bersama-sama. Jadi kalau malam hari saya bilang, ‘Pak Pendeta, saya izin salat Isya dulu. Kata dia, ‘Silakan’. Lalu jam 8 atau 9 malam, gantian, dia bilang, ‘Pak Ustadz, saya izin menyanyi dulu. Saya jawab, ‘Silakan. Jadi kita saling menghargai,” kata Ishaq sambil berkelakar.
Salah satu kelompok peserta Hybrid Upgrading Workshop LKLB di Makassar berdiskusi untuk mengidentifikasi hal-hal yang termasuk gejala dan perilaku intoleransi.
Menurut Ishaq, masalah dalam hubungan lintas agama biasanya tidak terjadi di kalangan tokoh agama, tapi biasanya di tengah masyarakat karena pemahaman yang keliru. Keretakan dalam hidup bermasyarakat bisa terjadi jika salah satu pihak menganggap diri paling benar, sedangkan yang lain salah.
“Di kalangan tokoh agama sudah tidak ada masalah, tapi yang jadi masalah di kalangan masyarakat, anak-anak kita, bahkan ada ibu-ibu tidak mengizinkan anaknya bergaul dengan orang berbeda agama. Kenapa? Karena pemahaman yang ditanamkan itu menganggap diri paling benar, yang lain salah,” ujarnya.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, mengatakan program LKLB yang dikembangkan Institut Leimena bersama sekitar 25 mitra lembaga keagamaan dan pendidikan, termasuk Universitas Muslim Indonesia, merupakan bentuk tanggung jawab masyarakat untuk merawat kebebasan beragama.
“Beragama di ruang publik Indonesia berarti beragama yang tetap memanifestasikan nilai-nilai etnoreligius, namun dalam koridor tertentu yang dibatasi oleh seperangkat supremasi hukum yang mengatur tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia,” kata Ruhaini yang juga Senior Fellow Institut Leimena.
HUW LKLB kali ini merupakan kerja sama Institut Leimena, Kementerian Hukum dan HAM RI, dan UMI. Tema yang diangkat adalah “Pengembangan Program dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang Memperkokoh Kebebasan Beragama dan Supremasi Hukum”, bertujuan meningkatkan pemahaman kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam perspektif konstitusi dan hukum negara bagi pendidik.
HUW LKLB ini juga membekali secara konkret para guru dalam mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) atau program kegiatan berbasis kebebasan beragama dan supremasi hukum. [IL/Chr]