
Dua alumni LKLB, Kepala SMA Muhammadiyah 1 Magelang, Icuk Salabiyati, bersama Wakil Direktur Sekolah Kristen Tritunggal Semarang, Yonathan Djalimun, dan Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menjadi pembicara dalam sesi Showcase International Conference on Cohesive Societies (ICCS) di Singapura, 25 Juni 2025.
Jakarta, LKLB News – Institut Leimena mendapatkan kehormatan untuk membagikan pengalamannya menjalankan pelatihan Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) dalam sesi Showcase pada International Conference on Cohesive Societies (ICCS) di Singapura tanggal 25 Juni 2025. ICCS yang mengangkat tema “Cohesive Societies, Resilient Futures” ini diselenggarakan oleh Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University, dengan dukungan dari Ministry of Culture, Community and Youth (MCCY) Singapura.
Hadir sebagai pembicara dalam sesi Showcase tersebut adalah Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, dan dua alumni program LKLB yaitu Kepala SMA Muhammadiyah 1 Magelang, Icuk Salabiyati, dan Wakil Direktur Sekolah Kristen Tritunggal Semarang, Yonathan Djalimun. Ketiganya mempresentasikan inisiatif LKLB sebagai upaya untuk menumbuhkan pemahaman antaragama, sikap saling menghormati, dan kolaborasi lintas iman khususnya melalui pengalaman kedua guru tersebut.
Icuk menyampaikan terjadi perubahan dalam diri para siswanya setelah ia menerapkan pembelajaran berbasiskan nilai-nilai LKLB. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapinya adalah kondisi siswa yang homogen sehingga ia kesulitan untuk memberikan pengalaman berinteraksi dengan orang lain yang berbeda agama.
“Satu pernyataan dalam workshop LKLB yang selalu saya ingat ‘berinteraksilah dengan mereka yang berbeda agar Anda bisa bertoleransi’. Saya merasa ragu bahkan sedikit pesimistis, bagaimana murid-murid saya yang hidup dan belajar di lingkungan sepenuhnya Muslim dapat mengembangkan rasa toleransi sejati?” kata Icuk.
Berawal dari kegundahan tersebut, Icuk berinisiatif mengajarkan pendekatan LKLB melalui mata pelajaran Bahasa Inggris lewat tema “Expressing Opinion” (Mengutarakan Opini) dengan mengangkat topik kontroversial tentang pelarangan pendirian gereja di Bogor, Jawa Barat. Icuk senagaja menyajikan kasus nyata untuk merangsang pemikiran kritis dan diskusi diantara para siswanya di kelas.
“Saya prihatin ketika sebagian besar siswa menyatakan setuju terhadap pelarangan tersebut. Hanya dua orang siswa yang menyuarakan bahwa setiap warga negara berhak untuk beribadah,” ujar Icuk.

Icuk Salabiyati menyampaikan pengalamannya menanamkan nilai-nilai LKLB kepada para siswa dalam proses pembelajaran.
Pengalaman itu memotivasinya untuk terus mengintegrasikan isu keberagaman dalam proses belajar-mengajar. Ia berharap para siswanya tidak hanya menguasai materi akademik, tetapi juga memiliki empati dan kepedulian terhadap sesama.
Icuk menyadari bahwa peran seorang guru sangat krusial untuk mentransformasi pola pikir dan perilaku siswa. Sebagai alumni LKLB, ia bisa menyoroti bagaimana perbedaan agama justru bisa menjadi suatu kekuatan.
“Kepada para siswa, saya mengajarkan kompetensi LKLB dan berbagi pengalaman saya sendiri bekerja dengan individu-individu dari berbagai agama melalui program LKLB di Institut Leimena,” katanya.

Yonathan Djalimun mengatakan program LKLB yang dijalankan oleh Institut Leimena untuk membuka ruang perjumpaan lintas agama di kalangan guru sebagai inisiatif yang langka dan belum pernah ada di Indonesia.
Langkah Berani
Senada dengan itu, Yonathan Djalimun menyampaikan bagaimana program LKLB membuka ruang dialog antar guru dari berbagai latar belakang agama sebagai sebuah pengalaman yang menurutnya langka, bahkan belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Menurutnya, Institut Leimena telah mengambil langkah berani yang berdampak luar biasa.
“Kami dilatih untuk memahami, menghormati, dan bekerjasama lintas iman. Bukan hanya di kelas, tetapi juga dalam keseluruhan kurikulum sekolah,” ujarnya.
Salah satu dampak nyata dari program LKLB adalah Yonathan bersama seorang alumni LKLB lainnya, berhasil menginisiasi kunjungan persahabatan para siswa dari Sekolah Kristen Tritunggal ke Pesantren Al-Manar, Salatiga, Jawa Tengah. Kunjungan persahabatan itu menjadi momen yang sangat bermakna bagi para siswa yang sebagian besar belum pernah terpapar dengan orang yang berbeda agama.
“Ide kunjungan ini dimulai dari pertemanan saya dengan guru dari pesantren tersebut selama kami berdua mengikuti workshop LKLB. Ini adalah kunjungan pertama dalam sejarah sekolah kami ke institusi non-Kristen,” ungkap Yonathan.
Yonathan mengatakan para siswa merasakan dampak positif dari perjumpaan tersebut. Mereka bisa menghilangkan rasa canggung dan membuka diri dengan teman-teman yang berbeda. Para siswa diajak tidak sekadar mengetahui pluralisme secara teori, melainkan bisa berinteraksi langsung dengan teman sebayanya dari agama berbeda.
“Mereka jadi bisa berbicara, bermain, dan belajar bersama. Ini memberikan mereka alat dan yang lebih penting, kepercayaan diri untuk hidup dan memimpin di masyarakat yang majemuk,” katanya.
Sementara itu, Matius Ho mengatakan keterlibatan Institut Leimena menunjukkan bahwa inisiatif pendidikan lintas iman yang dilakukan di Indonesia dapat menjadi kontribusi penting dalam forum global.
“Kisah-kisah nyata dari ruang kelas di Magelang dan Semarang menjadi bukti bahwa kerja-kerja kecil membangun kohesi sosial memiliki dampak besar, bukan hanya bagi peserta didik, tapi juga bagi masa depan dunia yang lebih damai dan tangguh,” kata Matius.
Rangkaian ICCS 2025 diadakan pada 24-26 Juni 2025 menghadirkan lebih dari seribu tokoh agama, akademisi, dan pemimpin komunitas dari berbagai negara. Dari Indonesia hadir Menteri Agama Nasaruddin Umar sebagai pembicara kunci. Konferensi ini menjadi ajang berbagi pengalaman dan inspirasi dalam membangun masyarakat yang inklusif dan kohesif di tengah tantangan dunia yang semakin terpolarisasi. [IL/Jul/Chr]