Para peserta Hybrid Upgrading Workshop Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diadakan di Makassar, 11-13 Juni 2024, sebagai kerja sama antara Institut Leimena, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, dan Universitas Muslim Indonesia.
Jakarta, LKLB News – Ketegangan relasi lintas agama seringkali dipicu oleh prasangka dan stigma di dalam masyarakat. Dalam konteks itu, guru sebagai pendidik memiliki peranan penting sebagai pelopor untuk menumbuhkan pemahaman dan keterbukaan terhadap orang lain yang berbeda agama dan keyakinan.
“Guru perlu mempunyai pemahaman dan keterampilan untuk merawat kemajemukan, agar menjadi pelopor dalam masyarakat untuk melunturkan prasangka lintas agama yang bisa merusak bangunan kebangsaan,” kata Direktur Program Institut Leimena, Daniel Adipranata, saat penutupan Hybrid Upgrading Workshop (HUW) Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) hari Minggu, 13 Oktober 2024.
HUW LKLB diadakan selama tiga hari pada 11-13 Oktober 2024 di Makassar, Sulawesi Selatan, yang merupakan kerja sama antara Institut Leimena, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI), dan Universitas Muslim Indonesia. Peserta yang hadir sebanyak 34 guru yang berasal dari kota Makassar dan kabupaten sekitarnya seperti Gowa, Bone, Bulukumba, Wajo, Maros, Sidenreng Rappang, Pangkajene dan Kepulauan, dan lainnya.
Daniel mengatakan workshop LKLB mengangkat tema “Pengembangan Program dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang Memperkokoh Kebebasan Beragama dan Supremasi Hukum”. Disadari, tantangan dalam kebebasan beragama masih sering terjadi seperti perilaku diskriminasi, intoleransi, atau pemaksaan terhadap tafsir agama yang menganggu harmoni sosial.
Daniel menjelaskan workshop LKLB tidak hanya berisi dialog, melainkan berusaha membuka ruang-ruang perjumpaan yang bisa mendukung penerapan hak kebebasan beragama. Dia menjelaskan literasi keagamaan lintas budaya pada intinya adalah kerangka untuk menolong seseorang dalam mengembangkan kompetensi dan keterampilan untuk membangun hubungan dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama dan kepercayaan. Ada tiga kompetensi yang dikembangkan lewat LKLB yaitu pribadi, komparatif, dan kolaborasi.
“Pengalaman-pengalaman untuk menerima perbedaan itu sangat dibutuhkan. Kita tidak bisa hanya menghafalkan definisi dari toleransi dan keberagaman saja tanpa benar-benar mengalaminya,” kata Daniel.
Dari kiri ke kanan: Direktur Program Institut Leimena Daniel Adipranata, Direktur Diseminasi dan Penguatan Hak Asasi Manusia Kemenkumham RI, Gusti Ayu Putu Suwardani, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, dan Wakil Rektor IV Bidang Tata Kelola Kampus Islami dan Pengembangan Pendidikan Universitas Muslim Indonesia, Dr. Ishaq Shamad.
Modal Penting Bangsa
Sementara itu, Direktur Diseminasi dan Penguatan Hak Asasi Manusia Kemenkumham RI, Gusti Ayu Putu Suwardani, mengatakan workshop LKLB diisi dengan cakupan materi kombinasi antara penguatan teori dan konsep serta kunjungan lapangan. Workshop bertujuan meningkatkan pemahaman guru tentang supremasi hukum, kebebasan beragama, dan LKLB.
Peserta workshop akan dibekali dengan keterampilan untuk menerapkannya dalam program atau perencanaan yang konkret dan relevan dengan kebutuhan mereka di sekolah masing-masing. Pengembangan dan praktik ini diharapkan dapat memberikan pengalaman nyata bagi para peserta terkait supremasi hukum, kebebasan beragama dan LKLB.
“Pemahaman masyarakat akan pentingnya relasi antara supremasi hukum dengan kebebasan beragama sebagaimana dilindungi Konstitusi, adalah modal penting bagi kemajuan bangsa Indonesia yang majemuk di tengah meningkatnya tantangan polarisasi di dunia,” kata Gusti Ayu.
Hak kebebasan beragama secara universal tercantum dalam Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya. Di Indonesia, hak kebebasan beragama dijamin dalam Konstitusi atau UUD 1945.
“Negara dan masyarakat sipil diharapkan dapat bekerja sama dalam membangun budaya yang toleran, menjunjung tinggi supremasi hukum, serta menghindari perilaku yang berpotensi memecah belah,” lanjut Gusti Ayu.
Pastor Gereja Katolik Kristus Raja, Makassar, Agustinus Kale’pe’, berdialog dengan para peserta Hybrid Upgrading Workshop LKLB agar terbangun saling pemahaman dan memupus prasangka antaragama.
Kerja sama program LKLB antara Direktorat Jenderal HAM Kemenkumham RI dan Institut Leimena telah berjalan sejak 2022 antara lain melalui pelaksanaan International Virtual Conference bertajuk “Kebebasan Beragama, Supremasi Hukum, dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya” pada 13-15 September 2022, dilanjutkan Konferensi Internasional LKLB dengan tema “Martabat Manusia dan Supremasi Hukum untuk Masyarakat yang Damai dan Inklusif” sebagai rangkaian dari peringatan 75 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Kemenkumham RI juga ikut mendukung pelaksanaan Konferensi Internasional LKLB kerja sama Institut Leimena bersama Kementerian Luar Negeri RI yang mengangkat tema “Kolaborasi Multiagama dalam Masyarakat Inklusif” pada 10-11 Juni 2024. [IL/Chr]