Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy O.S. Hiariej, bersama para narasumber dalam hari terakhir Konferensi Internasional Virtual “Kebebasan Beragama, Supremasi Hukum, dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya”, Kamis (15/9/2022).
Jakarta, LKLB News – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Eddy O.S. Hiariej, menegaskan konsep literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) tepat digunakan di tengah kondisi bangsa Indonesia yang majemuk. Eddy mengatakan LKLB bukan menolak atau melebur perbedaan menjadi keseragaman, sebaliknya mengelola perbedaan lewat proses evaluasi, komunikasi, dan negosiasi untuk merespons peluang dan tantangan bersama dalam konteks lokal maupun global.
“Literasi dalam terminologi ini bukan bentuk dari kefasihan atau ketidakpahaman. Tetapi literasi di sini bagaimana seorang manusia mempunyai kerendahan hati untuk mendengarkan, mengamati, memverifikasi, dan terlibat,” kata Eddy dalam Konferensi Internasional Virtual hari ketiga yang mengangkat topik “Menguatkan Kebebasan dan Toleransi Beragama Melalui LKLB”, Kamis (15/9/2022) malam.
Konferensi Internasional Virtual diadakan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI bersama Institut Leimena pada 13-15 September 2022 via Zoom setiap pukul 19.00-21.00 WIB. Selain Wamenkumham, pembicara kunci sebelumnya adalah Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD.
Eddy mengatakan LKLB bukan mencampuradukkan agama dan bukan pula sekularisme. Menurutnya, justru melalui kemahakuasaan Tuhan, literasi itu tidak merendahkan yang lain. Pondasi LKLB adalah multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. “Dengar dan amati dengan hati Anda, verifikasi dengan pikiran Anda dan terlibat dengan tangan Anda,” ujar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada itu.
Menurutnya, konsep LKLB mendorong setiap umat beragama untuk memiliki kemampuan memahami diri dan agama sendiri, mengenal agama atau umat lain sebagaimana diri sendiri, dan kemampuan bekerja sama dengan umat beragama lainnya. Dia menyebut agama bisa menjadi perekat dan pemersatu, namun bukan penyatuan. Pemersatu lebih kepada sikap toleransi ajaran keagamaan sehingga umat beragama harus mengedepankan sikap apresiatif terhadap keragaman (pluralitas).
“Hal penting lainnya yang harus kita jadikan landasan adalah kita sesama umat beragama harus saling mengenal, tidak saling merendahkan, menghindari buruk sangka, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, dan tidak saling mengejek, bergunjing terhadap sesama sebagai manusia yang hidup berdampingan,” kata Eddy.
Eddy menambahkan pendidik mempunyai peran strategis untuk mengembangkan literasi agama dan budaya ke dalam lubuk pemahaman anak didik. “Sedari kecil kita memberikan pemahaman bagaimana mereka memahami agama yang dipeluknya, juga terhadap agama lain, nanti akan menentukan wajah kerukunan umat beragama di masa depan,” lanjutnya.
Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Amin Abdullah, mengatakan kehidupan pluralisme di Indonesia menghadapi tantangan karena terjadi kontestasi pada level pemahaman yang terbagi dalam kelompok konservatif-ideologis, konservatif-tekstualis, moderat, dan liberal. Namun, kendala terberat justru muncul dari level penerapan di lapangan, yaitu pada budaya dan kesadaran masyarakat.
“Substansi dan struktur hukum dapat dirumuskan secara tertulis dan diundangkan. Tapi, pelaksanaannya di lapangan sangat tergantung pada budaya dan kualitas pendidikan masyarakat,” kata Amin.
Terkait kendala budaya tersebut, Amin mengatakan konsep LKLB semakin penting ditanamkan kepada masyarakat khususnya lewat sektor pendidikan. LKLB didasarkan tiga kompetensi yaitu kompetensi pribadi untuk memahami agama sendiri dalam hubungannya dengan orang yang berbeda, kompetensi komparatif untuk memahami agama lain dalam rangka membangun toleransi dan empati, dan kompetensi kolaboratif yaitu bekerja sama mengatasi berbagai tantangan dunia yang semakin kompleks.
Dirjen HAM Kemenkumham RI, Mualimin Abdi (atas) sebagai pemberi sambutan penutup, serta sambutan pembukaan oleh Staf Ahli Bidang Politik dan Keamanan Kemenkumham Y Ambeg Paramarta (kanan) dan Senior Fellow Institut Leimena, Alwi Shihab (kiri).
Membangun Pluralisme di Irak
Founder dan President Hardwired Global, Tina Ramirez, memberikan contoh secara praktis membangun pluralisme di daerah konflik seperti Irak, Lebanon, Sudan Utara, Nigeria, dan sejumlah negara Timur Tengah lainnya. Tina menceritakan situasi di Irak dimana kehadiran ISIS telah menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat setempat.
Menurutnya, anak-anak diajarkan untuk membenci orang-orang yang memahami atau mempercayai mazhab berbeda di dalam Islam. Bahkan, masyarakat mengalami intimidasi mengerikan dengan adanya mayat tergantung di Mosul, salah satu kota di Irak.
“Sejak ISIS dikalahkan, banyak yang berusaha menghilangkan kebencian yang ditinggalkan ISIS dan bagaimana membangun ulang komunitas untuk hidup berdampingan di dalam damai. Ini situasi sulit,” ujar Tina.
Tina mengatakan organisasinya saat ini mendapat dukungan pemerintah dan komunitas setempat untuk membuat model pengajaran pluralitas dan hak asasi manusia di ruang-ruang kelas. Proyek yang sedang dikembangkan saat ini adalah Taman Damai (The Peaceful Garden) yaitu anak-anak diajak menanam bibit bunga untuk membangun sebuah taman yang baru.
“Inilah yang terjadi di Irak. Mereka semua menghancurkannya, tapi saya katakan, kalian (anak-anak) bisa membantu untuk membuat masyarakat yang baru. Anak-anak menanamkan bibitnya sambal memahami pentingnya menanamkan nilai-nilai baru,” kata Tina.
Founder dan President Hardwired Global, Tina Ramirez (kiri), dan Vice President G20 Interfaith Association, Katherine Marshall (kanan).
Vice President G20 Interfaith Association, Katherine Marshall, mengatakan kepemimpinan Indonesia dalam G20 menjadi sorotan. Situasi pandemi Covid-19 menyebabkan dunia saat ini menghadapi berbagai krisis termasuk krisis ekonomi, ketegangan agama, ancaman perang nuklir, dan perdamaian. “Ini adalah waktu dimana Indonesia memiliki peranan kepemimpinan yang penting dalam presidensi G20,” katanya.
President Love Your Neighbor Community, Wade Kusack, menceritakan pengalamannya menerapkan program LKLB di Kazakhstan. “Implementasi LKLB sudah memberi hasil nyata di Kazakhstan. Misalnya, Dewan Kerohanian Muslim di Kazakhstan dan Asosiasi Gereja-gereja Evangelis sepakat untuk bekerja sama. Bahkan mereka minggu lalu, mereka mengadakan kerja sama konferensi agama dan supremasi hukum untuk para penegak hukum dan pejabat,” katanya.
Kabid Pendidikan dan Pelatihan Masjid Istiqlal, Faried F Saenong, mengatakan program LKLB di Indonesia sudah berjalan sejak 2021 diikuti oleh sekitar 2.500 guru madrasah dan pesantren lewat pelatihan secara daring. Sebagian kecil guru juga telah mengikuti workshop secara tatap muka dalam perancangan rencana pembelajaran di kelas.
Executive Director The Sanneh Institute, John Azumah, mengatakan Afrika merupakan benua yang majemuk dengan komposisi Islam dan Kristen 50:50. Namun, situasi dialog intelektual dan teologis sangat lemah sehingga memunculkan sejumlah konflik seperti terjadi di Rwanda dan Nigeria. “Di situlah LKLB menjadi sangat penting bagi kami di Afrika,” katanya. (IL/Chr)
Anda bisa menyaksikan tayangan Konferensi Internasional hari ketiga bertema “Menguatkan Kebebasan dan Toleransi Beragama Melalui Literasi Keagamaan Lintas Budaya” pada tautan di bawah ini: