PROGRAM PELATIHAN
Program Internasional Bersertifikat:
Pengenalan Literasi Keagamaan Lintas Budaya
Bagi Guru dan Penyuluh Agama
Program ini bertujuan untuk menguatkan eksistensi dan kolaborasi damai antaragama di Indonesia dengan mengenalkan Literasi Keagamaan Lintas Budaya bagi guru dan penyuluh agama.
Literasi keagamaan
lintas budaya
Kompetensi
Pribadi
Kompetensi
Komparatif
Kompetensi
Kolaboratif
Literasi Keagamaan Lintas Budaya
Literasi keagamaan lintas budaya memerlukan kita untuk bisa merefleksikan filosofi/ teologi/ pandangan agama kita mengenai agama lain, dengan mengarah pada partisipasi yang positif dan praktis dalam dunia yang multi-iman dan global. Dunia seperti ini akan membutuhkan kawan dari berbagai iman untuk berjuang demi kebaikan bersama. Secara sederhana, kita harus memahami diri kita terlebih dulu (kompetensi pribadi), lalu memahami agama lain sebagaimana mereka memahami diri mereka sendiri (kompetensi komparatif), baru kemudian kita pahami sifat dan persyaratan kepemimpinan untuk menjembatani batasan-batasan budaya dan keagamaan demi mencapai kerja sama yang nyata, yang akan menghasilkan solidaritas sipil (kompetensi kolaboratif).
Selain itu, kita harus mengakui bahwa kompetensi-kompetensi ini tidak linear, dan justru saling mendukung dan melengkapi satu sama lain. Memang, sering kali kita baru mulai memahami diri kita melalui partisipasi dengan orang lain. Dari pengalaman kami, orang lain itu belum tentu ditemui atas dasar niat altruistis, tapi sering kali melalui kepentingan pribadi untuk mengatasi tantangan bersama. Merupakan insting manusiawi jika hati kita mengikuti kerja keras yang dilakukan tangan kita, sampai akhirnya kepala/pikiran kita menerimanya.
Terkadang, stereotip/prasangka itu hanya bisa kita lawan dengan memanusiakan kerja sama satu dengan yang lain.
Kompetensi Pribadi
Memiliki “kompetensi pribadi” itu artinya memahami kerangka moral, epistemologi, dan spiritual diri kita sendiri, dengan cara memahami teks kitab suci dan tradisi lisan dari agama kita sendiri, dan juga memperhatikan apa yang dituliskan terkait partisipasi dengan agama lain. Hal ini juga termasuk memahami kenapa dan bagaimana karakter diri kita berkembang dan mendalam. Seperti dikatakan sebelumnya, literatur literasi keagamaan yang lama sering kali kurang menekankan peran ‘diri’ kita sebagai titik awal, bahkan terkadang perihal ‘diri’ tidak disebut sama sekali. Lenn Goodman (2014, 1, 3,) menemukan bahwa pengetahuan akan diri sendiri itu sangat penting untuk dialog dan partisipasi yang sahih/autentik.
Dialog yang sukses memerlukan kita untuk tahu dan mengenal siapa diri kita, apa yang kita percayai dan pedulikan, dan bahwa yang disebut orang lain itu memang orang yang lain (berbeda dari kita). Tanpa disiplin atas pengetahuan tentang diri untuk melengkapi keingintahuan kita, minat kita runtuh menjadi perkiraan dan dugaan belaka… Pengetahuan tentang diri yang diperlukan oleh pluralisme itu sulit dicapai. Hal ini berarti mencoba berdamai dengan diri sendiri, mempertemukan ide bahwa apa yang kita warisi dengan pandangan pribadi dan wawasan keberadaan kita, dan mengintegrasikan diri dalam sebuah komunitas bahkan ketika seseorang membedakan dirinya dari komunitas itu. Dalam setiap masyarakat yang sehat, pluralisme setidaknya membutuhkan toleransi . Toleransi beragama tidak berarti menyamakan semua hal. Pluralisme melindungi perbedaan. Apa yang diperlukannya adalah respek/ penghargaan.
Kompetensi Komparatif
Memiliki “kompetensi komparatif” berarti kita harus memahami kerangka moral, epistemologi, dan spiritual dari tetangga kita (agama lain), sebagaimana ia memahaminya, dan apa yang dikatakan agama itu tentang hubungan antaragama. Dimensi literasi agama ini mencakup berbagai topik yang biasanya dibahas dalam mata kuliah jurusan agama tentang perbandingan agama. Namun, kita juga harus menekankan betapa pentingnya untuk mengembangkan pemahaman tentang agama yang dihidupi oleh umat beragama yang lain, di tempatnya yang tertentu. Dengan kata lain, apa ambang batas dalam kerangka moral orang lain yang memungkinkan seseorang untuk menjadi bagian dari kelompok dan/atau tempat tertentu? Seraya mengajukan pertanyaan ini, kita harus memperhatikan bahwa hal-hal yang memang berarti dalam jalan iman seseorang belum tentu secara persis berisikan doktrin resmi agama tersebut.
Kompetensi Kolaboratif
“Kompetensi kolaboratif” mengacu pada pengetahuan mengenai suatu tempat tertentu di mana dua atau lebih kerangka moral yang berbeda, biasanya dari agama yang berbeda, bertemu sebagai dua individu/institusi yang sama-sama bertujuan untuk memenuhi suatu tujuan. Kompetensi kolaboratif artinya kita memahami budaya spiritual, etnis, dan/atau budaya organisasi yang relevan untuk mengembangkan dan menerapkan proyek atau program bersama. Kompetensi kolaboratif terjadi ketika individu/institusi yang berbeda-beda bergerak dari toleransi berdampingan (diversitas), kepada kesadaran akan diri sendiri dan orang lain, dan akhirnya mencapai tahap partisipasi timbal balik (yang merupakan jantung dari pluralisme yang sehat). Ketika menyeberang masuk ke dalam konteks orang lain, kita harus selalu menghormati realitas hidup di satu tempat tertentu, juga menempatkan kerja sama dan proyek-proyek yang dihasilkan dalam kebudayaan spiritual, sekuler, etnis, dan organisasi dari kawan kita, sembari mengakui dinamika kekuatan yang ada.
Hal ini diaplikasikan pada saat kita melakukan gerakan yang sudah dipersiapkan terhadap kelompok orang lain. Dan momen ketika kita menyeberang mendatangi orang lain itu bukanlah sekedar keterlibatan, tapi juga kepemimpinan, karena kedua belah pihak harus membentuk tujuan bersama yang dapat menyelesaikan tugas yang ada, dan juga berbicara dengan berbagai pejabat pemerintah dan masyarakat sipil (beberapa, atau bahkan kebanyakan dari mereka tidak religius).
Ikuti update terbaru
seputar LKLB