Senior Fellow Institut Leimena dan Mantan Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam, Dr. Alwi Shihab, dalam pre-event press conference pada 5 Juli 2024 dalam rangka International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy (ICCRL).
Jakarta, LKLB News – Meski Indonesia dianggap mampu mengelola keberagaman, masalah intoleransi di dalam masyarakatnya tetap saja belum luntur dan masih menjadi tantangan. Pendidikan dinilai sebagai kunci utama sekaligus upaya preventif untuk tetap membangun masyarakat plural yang inklusif.
Hal itu disampaikan oleh Senior Fellow Institut Leimena, Dr. Alwi Shihab, yang juga Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam tahun 2016-2019. Alwi menyebut masalah intoleransi sejak dulu sulit untuk diatasi, termasuk di Indonesia.
“Betul Indonesia dianggap sebagai negara dengan masyarakat plural yang cukup baik prestasinya dalam berinteraksi dalam komunitas. Tetapi itu tidak berarti intoleransi di Indonesia sudah sirna. Intoleransi di Indonesia mungkin kalau dibandingkan dengan banyak negara kadarnya tidak terlalu besar, tetapi cukup mengkhawatirkan,” kata Alwi yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI tahun 1999-2001, saat pre-event press conference dalam rangka International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy (ICCRL), awal Juli lalu.
Kondisi tersebut mendorong Alwi Shihab untuk berjuang meneruskan cita-cita tokoh-tokoh nasional sebelumnya agar tercipta hubungan harmonis antarkomunitas umat beragama di Indonesia, serta tidak ternodai fanatisme dan radikalisme. Aksi terorisme pengeboman di Bali dan Hotel JW Marriot, Jakarta, menurutnya, terjadi karena ada bibit-bibit intoleransi yang merupakan hasil manipulasi kelompok-kelompok tertentu.
Alwi, seorang pakar lintas agama Indonesia yang pernah menjadi direksi pada Hartford Seminary dan Harvard Center for Study of World Religions di Amerika Serikat, menyatakan terdapat pemikiran bagaimana masyarakat Indonesia dapat berkontribusi dalam mengatasi intoleransi. Dia pernah mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama untuk melakukan pengajaran agama secara deskriptif, bukan sekadar normatif. Pengajaran agama secara dekskriptif akan membuka wawasan siswa akan kontribusi agama-agama lain terhadap kemanusiaan dan tidak perlu memperdebatkan urusan agama yang sensitif.
Sayangnya, usulan tersebut tidak berhasil dilaksanakan. Alwi yang juga pernah menjabat anggota DPR, bersama rekan anggota DPR sekaligus tokoh Kristen, kembali mengusulkan hal tersebut sampai akhirnya mendapatkan sambutan positif dari Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gusdur), sehingga hasilnya berdirilah Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) di Yogyakarta.
“Sekarang CRCS sudah berjalan 20 tahun lebih dan telah menghasilkan banyak mahasiswa S3. Apa yang dihasilkan CRCS diteruskan oleh Institut Leimena dengan Literasi Keagamaan Lintas Budaya. Intinya sama, bagaimana kita memberikan pencerahan kepada masyarakat untuk saling menghormati dan saling berusaha untuk mengetahui ajaran gama lain agar kita bisa membangun kerja sama yang baik dengan cara kolaborasi,” ujar Alwi Shihab.
Para pembicara dalam pre-event press conference untuk ICCRL 2024 yang diadakan bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Alwi menegaskan peserta program LKLB adalah para guru dari seluruh Indonesia. Mereka dibekali dengan tiga kompetensi yaitu pribadi, komparatif, dan kolaborasi. Program LKLB ditujukan untuk membekali guru dengan tiga kompetensi yang dibutuhkan untuk berelasi dengan orang yang berbeda agama yaitu kompetensi pribadi, kompetensi komparatif, dan kompetensi kolaboratif.
“Tidak bisa diragukan lagi, bahwa semua usaha untuk menciptakan masyarakat yang plural tetapi inklusif, tidak bisa tidak harus melalui pendidikan. Tanpa pendidikan kita akan berada jauh di belakang untuk mencapai cita-cita tersebut,” terang Alwi Shihab.
Menurutnya, saat terjadi peristiwa 11 September 2001 (9/11) di Amerika Serikat, muncul keresahan dari pemerintah untuk melakukan upaya konkret dalam mengatasi ekstremisme dan radikalisme. Pendidikan menjadi solusi satu-satunya, termasuk dari Amerika Serikat berusaha untuk melakukan pendekatan lewat jalur pendidikan kepada negara-negara Islam, untuk mengubah sikap umat Muslim yang terpengaruh Wahabisme yang keras dan kaku.
Alwi mengapresiasi program LKLB yang diinisiasi Institut Leimena dan telah berjalan selama 2,5 tahun, karena telah mendorong perubahan sikap para guru untuk mendengar dan menderima perbedaan, serta menjadikan hubungan komunitas antaragama berjalan dengan baik. Program LKLB survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah melaporkan bahwa 57 persen guru berpandangan intoleran terhadap pemeluk agama lain, dan 37,77 persen berkeinginan untuk melakukan perbuatan intoleran.
“Ini bahaya sekali. Kalau guru agama intoleran, padahal mereka ini akan menjadi pemimpin-pemimpin di masa yang akan datang. Apa jadinya Indonesia kalau kita tidak secara kolektif bertanggung jawab untuk mengatasi masalah ini?” kata Alwi.
Alwi menegaskan pentingnya semua pihak bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa. “Kesejahteraan bangsa harus diciptakan melalui hubungan yang saling menghormati, bisa menerima perbedaan, dan tidak saling menghakimi sendiri. Semua harus melalui pendekatan pendidikan,” katanya. [IL/Chr]