Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti (ketiga dari kiri), bersama Wakil Presiden Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa, Muhammadou M.O. Kah dan Direktur International Center for Law and Religion Studies Brigham Young University, Brett Scharffs, serta sejumlah peserta Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Hotel Kempinski, Jakarta, 14 November 2023.
Jakarta, LKLB News – Organisasi berbasis agama harus selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal dalam membangun relasi dengan kelompok agama yang berbeda. Upaya itu penting dilakukan agar tercipta penghargaan terhadap hak asasi dan martabat manusia di tengah situasi bangsa yang majemuk.
“Ketika kita berbicara mengenai cross the border, atau melintasi batas, maka diperlukan sebuah jembatan yang membuat kita bisa bertemu dan berinteraksi dengan kelompok-kelompok agama yang berbeda, baik secara agama dan budaya,” kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, dalam Panel 5 Konferensi Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diadakan di Hotel Kempinski, Jakarta, 14 November 2023.
Abdul Mu’ti menegaskan literasi keagamaan lintas budaya dapat dilakukan untuk membangun keterlibatan organisasi-organisasi agama dalam membangun martabat kemanusiaan. Untuk itu, diperlukan keberanian dari kelompok-kelompok agama tersebut untuk melintasi batas atau tembok yang selama ini memisahkan dan membatasi keterlibatan agama dan budaya.
Menurutnya ada dua jembatan yang memampukan organisasi berbasis agama ini dalam melintasi batasnya, yaitu pertama, nilai-nilai universal antara lain nilai kemanusiaan, nilai kehidupan, nilai kebahagiaan, dan nilai kebebasan. Ini memampukan organisasi berbasis agama untuk memiliki empati dan simpati kepada sesama manusia, termasuk kepedulian untuk mengulurkan tangan dan memberikan pertololang kepada mereka yang membutuhkan, walaupun bukan berasal dari kelompok yang sama.
“Jembatan kedua adalah tanggung jawab, diantaranya tanggung jawab untuk melestarikan alam, membangun perdamaian dan kehidupan untuk saling menghormati dan merasakan kehidupan yang damai meski berbeda agama, keyakinan dan budaya,” kata Abdul Mu’ti.
Ketika menjalani kedua jembatan ini, lanjutnya, maka tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana memiliki sikap yang terbuka terhadap perbedaan. Untuk itu, organisasi berbasis agama atau kelompok-kelompok agama harus membangun dua hal penting.
“Pertama, kita perlu membangun relasi dan ruang inklusif. Kita perlu memperbanyak ruang, agar kita bisa saling bertemu satu dengan yang lain. Ruang dimana kita bisa bebas berbicara satu dengan yang lain, ruang dimana kita bisa menghirup udara bersama-sama dengan yang lain,” ujar Abdul Mu’ti.
Para pembicara Panel 5 Konferensi Internasional LKLB.
Hal kedua adalah bagaimana seluruh organisasi berbasis agama memiliki agenda bersama (common agenda) untuk bekerja bersama-sama (work together) dengan lintas agama dan budaya (cross religion and culture).
Lebih lanjut, Abdul Mu’ti menegaskan, untuk membangun keterlibatan agama dalam masyarakat, maka basis nilai dalam semua budaya dan agama harus diperkuat serta organisasi berbasis agama harus membangun tanggung jawab bersama yaitu tanggung jawab membangun kemanusiaan.
“Sehingga dengan seperti itu, maka berbagai agenda kemanusiaan apapun bentuknya, mulai dari persoalan yang berkaitan dengan isu-isu kekerasan, isu perdagangan manusia atau isu lain yang dapat mengancam kehidupan dan keselamatan umat manusia yang sebenarnya adalah nilai-nilai bersama atau nilai yang ditetapkan dan tanggung jawab bersama. Maka kita dapat melintasi batas budaya dan agama dan kita dapat hidup bersama dengan damai,” terang Abdul Mu’ti.
Ketua Badan Wakaf Pesantren Tebuireng, KH Abdul Halim Mahfudz (tengah, kemeja putih), saat Dinner Reception dalam Konferensi Internasional LKLB.
Dalam acara yang sama, Ketua Badan Wakaf Pesantren Tebuireng (BWPT), KH Abdul Halim Mahfudz, mengatakan ketika Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk terbaiknya, maka ada hak-hak dasar yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari penciptaan manusia. Hak dasar yang merupakan martabat manusia itu diantaranya hak untuk hidup, hak berkumpul, hak untuk beragama, hak untuk menikmati rahmat Tuhan.
“Kemudian, dibalik itu semua, kita punya kewajiban utama, yaitu menjaga alam, hewan dan tumbuhan serta menghargai sesama manusia. Dalam Islam mengajarkan tidak boleh siapapun mengganggu hak dasar sebagai human dignity setiap manusia. Kalau ada orang merasa berhak untuk menggangngu, maka dia sudah berbuat pelanggaran. Ini pelanggaran agama dan kodrat Tuhan,” tegas Abdul Halim Mahfudz.
Sementara itu, Presiden Dewan Gereja Indonesia, Henriette T Hutabarat-Lebang, mengungkapkan isu-isu HAM, diskriminasi sosial dan pelecehan martabat kemanusian selalu menjadi sorotan pembahasan dalam Sidang Raya DGI yang digelar setiap 5 tahun sekali.
“Secara prinsip diyakini bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, harkat kemanusiaan itu harus dipelihara, apapun latar belakang suku latar belakang budaya dan agama dari setiap orang atau setiap komunitas,” kata Henriette.
Mencermati berbagai konflik yang terjadi di tengah masyarakat, Henriette menambahkan DGI juga mendorong gereja-gereja untuk bekerja sama dengan umat beragama dan berkepercayaan lain untuk membela hak-hak asasi manusia dan menerapkan martabat kemanusiaan itu terutama di tengah-tengah berbagai masalah yang dihadapi.
Sedangkan Direktur Eksekutif World Faiths Development Dialogue, Katherine Marshall, menambahkan semua pihak perlu menemukan cara-cara yang jauh lebih efektif untuk membawa pengetahuan, kebijaksanaan, kekuatan moral, dan kepercayaan serta aset-aset lain yang merupakan bagian dari dunia agama yang sangat beragam dan penuh warna yang dibutuhkan ke dalam agenda-agenda global.
“Kita sudah sering mendengar potensi dan peran aktual yang dapat dan telah dimainkan oleh komunitas-komunitas agama dalam pembangunan perdamaian. Karena itu, mereka harus dapat menemukan cara efektif dan efisien untuk melibatkan semua itu kedalam agenda-agenda global, sehingga dapat terus mempromosikan martabat manusia dan HAM,” terang Katherine.
Lebih lanjut, Direktur The Royal Institute for Inter-Faith Studies Jordan, Renee Hattar, mengungkapkan melalui pendekatan yang layak, inisiatif pendekatan teman dan persahabatan, organisasi berbasis keagamaan dapat mengembangkan dialog agama dan antarbudaya sebagai alat yang efektif untuk melawan intoleransi, ekstremisme, radikalisme dan menempa budaya saling menghormati dan saling pengertian.
“Organisasi-organisasi tersebut dapat mendorong jaringan regional dalam isu-isu agama dan budaya melalui komunikasi dan interaksi yang efektif. Kemudian menekankan peran agama, peran para pemimpin agama dan inisiatif keagamaan dalam mengatasi berbagai isu yang merongrong martabat manusia,” tegas Renee Hattar.
Menutup diskusi, Dekan Sekolah Pendidikan Umum sekaligus Profesor Antropologi di Universitas Brac Bangladesh, Samia Huq, menambahkan langkah yang harus dilakukan untuk menghadapi tantangan global terhadap martabat manusia dengan melibatkan organisasi berbasis agama. [IL/Chr]