
Staf Khusus Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Arif Jamali Muis, dalam Temu Wicara I: Insersi Kurikulum Cinta, 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, dan Pembelajaran Mendalam dengan Pendekatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Jakarta, Kamis, 15 Mei 2025.
Jakarta, LKLB News – Seiring penerapan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (7 KAIH) dan pembelajaran mendalam (deep learning) oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI, sekolah bisa melakukan implementasi Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) secara luas baik melalui intrakukurikuler seperti modul dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), atau melibatkan aktivitas kokurikuler yang mendukung proses pembelajaran formal di kelas.
Hal itu disampaikan oleh Staf Khusus Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Arif Jamali Muis, dalam Temu Wicara I: Insersi Kurikulum Cinta, 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, dan Pembelajaran Mendalam dengan Pendekatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Jakarta, Kamis, 15 Mei 2025.
“Kelihatannya yang baru disentuh oleh Institut Leimena adalah aspek intrakurikuler, seperti integrasi LKLB dalam RPP atau modul ajar. Integrasi intrakurikuler dan kokurikuler ini akan membawa LKLB lebih dalam ke pemahaman anak-anak, sehingga sejalan juga dengan pendekatan pembelajaran mendalam,” kata Arif.
Intrakurikuler adalah kegiatan pembelajaran formal di kelas, sedangkan kokurikuler adalah kegiatan tambahan di luar jam pelajaran yang masih berkaitan dengan materi pelajaran, tapi dilakukan dengan cara lebih praktis dan aplikatif.
Arif mengatakan insersi LKLB dalam pembelajaran di kelas (intrakurikuler) yang dilakukan guru dan sekolah selama ini, perlu dipertahankan. Namun, ada kesempatan lebih jauh mengimplementasikan LKLB melalui kokurikuler.
“LKLB bisa diintegrasikan dengan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, yaitu dalam kebiasaan beribadah dan bermasyarakat. Dua kebiasaan itu erat kaitannya dengan kompetensi LKLB, yaitu pribadi, komparatif, dan kolaboratif,” ujarnya.
Dengan pengalamannya sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum, Arif mengisahkan kerap diminta memasukkan aspek tertentu ke dalam pembelajaran. Misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendorong pendidikan anti korupsi diterapkan dalam kurikulum, serta Dinas Lingkungan Hidup yang menekankan aspek sekolah Adiwiyata.
Itu sebabnya, dia optimistis integrasi LKLB ke dalam pebelajaran yang mencakup aspek intrakurikuler sekaligus kokurikuler akan lebih jauh menyentuh nurani peserta didik.
“Integrasi LKLB dalam kokurikuler menjadi penting mengingat pelaksanaannya melibatkan guru lintas mata pelajaran. Misalnya dalam satu sekolah membuat proyek tentang kepedulian sosial. Nah, para guru yang berkaitan seperti PAI (Pendidikan Agama Islam), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), Bahasa, itu saling berinterkoneksi dan akan jauh lebih bermakna bagi anak-anak,” kata Arif.

Para guru dan kepala sekolah yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi, dan Maluku, hadir dalam Temu Wicara yang diadakan Institut Leimena untuk merancang kurikulum atau pembelajaran berbasiskan LKLB.
Pembiasaan Toleransi
Arif juga memperkaya pemaparan dengan bercerita tentang pengalaman pribadinya dalam mengajarkan toleransi. “Saya percaya bahwa toleransi adalah hasil dari kebiasaan berinteraksi dengan orang yang berbeda,” ungkap Arif.
Ia bercerita bahwa anaknya, saat akan melanjutkan jenjang SMP, sengaja tidak memilih sekolah yang besar. “Ini karena dia ingin merasakan punya teman yang berbeda agama dengannya,” tutur Arif, yang menyetujui keinginan anaknya tersebut.
Arif suatu ketika bertanya kepada anaknya tentang bagaimana rasanya memiliki teman yang berbeda keyakinan. Anaknya menjawab bahwa itu hal biasa, tidak ada masalah. “Anak saya menganggap itu sudah jadi hal yang biasa, bahkan bisa guyonan, karena sudah terbiasa dengan mereka yang berbeda,” ucapnya.
Bagi Arif, pengalaman ini menunjukkan bahwa mengajarkan toleransi, termasuk melalui LKLB, tidak cukup hanya lewat teori di kelas. Kebiasaan berinteraksi dan berdialog dengan orang yang berbeda justru perlu ditanamkan dalam proses pembentukan karakter anak.
Senada dengan itu, Analis dari Pusat Penguatan Karakter Kemendikdasmen, Dr. Kosasih Ali Abu Bakar, menekankan urgensi penanaman karakter lewat pembiasaan. Kosasih menilai banyak tantangan yang dihadapi saat ini antara lain karakter generasi stroberi, generasi nokturnal (merujuk kepada kebiasaan tidur hingga larut malam dan bangun siang hari), pornografi, hingga judi online yang menjebak hampir sejuta pelajar. Itu sebabnya, program 7 KAIH ditujukan sebagai upaya pembiasaan positif peserta didik sejak dini.
“Pembiasaan akan melahirkan kebiasaan, dari kebiasaan terbentuk kepribadian, dan kepribadian menumbuhkan peradaban,” kata Kosasih. [IL//Zul/Chr]