Staf Khusus Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Arif Jamali Muis, saat memberikan paparan dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, 29 April 2025.

Jakarta, LKLB News – Staf Khusus Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, Arif Jamali Muis, menegaskan pentingnya penguatan pendidikan karakter dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Hal itulah yang melandasi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI berupaya memperkuat pendidikan karakter melalui gerakan tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat meliputi bangun pagi, beribadah, berolah raga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat. 

“Kebiasaan ini secara psikologis akan membentuk pola di dalam otak yang pada gilirannya akan menjadi karakter, sehingga peradaban yang baik dapat terwujud,” kata Arif dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya bertemakan “Menyemai Karakter, Menuai Peradaban: Membangun Kebiasaan Anak Indonesia Hebat” yang diadakan oleh Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI dan Institut Leimena pada Selasa, 29 April 2025.

Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (KAIH) merupakan salah satu terobosan dari Kemendikdasmen RI yang diluncurkan pada Desember 2024. Menurut Arif, gerakan 7 KAIH bukan sebuah kurikulum baru, melainkan upaya untuk mendorong generasi penerus bangsa dalam menerapkan kebiasaan positif sehari-hari, baik di sekolah maupun keluarga.

Arif menyebut teori neurosains yang menyatakan bahwa pembentukan kebiasaan berkaitan dengan bagian otak yaitu ganglia basal, yang berperan penting dalam pembelajaran dan memori sehingga membentuk kebiasaan. Lebih lanjut, Arif mengatakan penerapan 7 KAIH tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah saja, tetapi perlu kolaborasi catur pusat pendidikan terdiri dari sekolah, keluarga, masyarakat, dan media.

“Elemen-elemen ini akan membentuk sebuah ekosistem yang memungkinkan tumbuh suburnya karakter posisif pada anak Ini harus kita lakukan bersama-sama, dengan partisipasi semesta kita bisa mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045,” kata Arif.

Senior Fellow Institut Leimena dan Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Dr. Amin Abdullah.

Senada dengan itu, Senior Fellow Institut Leimena dan Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Amin Abdullah, menegaskan pentingnya integrasi Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) dengan 7 KAIH. Program LKLB yang diinisiasi Institut Leimena bertujuan meningkatkan kompetensi guru untuk berelasi dalam masyarakat yang majemuk. Sejauh ini, program LKLB telah melatih lebih dari 9.600 guru dari 38 provinsi di Indonesia.

Character building implikasinya besar sekali terhadap nation building. Kalau keadaan bangsa sedang tidak baik-baik saja, itu merupakan cerminan dari karakter individunya,” kata Amin.

Amin menyebutkan dua kebiasaan dair 7 KAIH yang bisa diperkuat melalui program LKLB, yaitu beribadah dan bermasyarakat. Dia menjelaskan program LKLB mengajarkan tiga kompetensi utama kepada para guru, yaitu bagaimana guru semakin memahami agamanya sendiri (kompetensi pribadi), namun di sisi lain tetap berempati kepada sesama yang berbeda agama dan keyakinan (kompetensi komparatif), dan pada akhirnya mampu bekerja sama untuk kepentingan bersama (kompetensi kolaboratif).

“Beribadah, love God, itu penting, tapi harus beririsan dengan bermasyarakat. Kombinasi antara LKLB dan kebiasaan anak Indonesia hebat akan membentuk generasi berkarakter unggul yaitu beriman kuat, berpikiran terbuka, dan bertindak penuh empati,” kata Amin.

Guru Al-Qur’an Hadis MAN 1 Magetan Jawa Timur, Fatwa Nur Azizah, saat membagikan pengalamannya dalam mengajarkan toleransi kepada para siswa melalui kunjungan ke rumah ibadah agama lain.

Pengalaman Guru Alumni LKLB

Guru Al-Qur’an Hadis Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magetan, Jawa Timur, Fatwa Nur Azizah, yang juga alumni program LKLB angkatan ke-5, ikut membagikan praktik baiknya dalam memperkuat kebiasaan para siswanya dalam bermasyarakat, khususnya dengan orang lain yang berbeda agama.

Fatwa mengajak murid-muridnya di MAN 1 Magetan untuk mengunjungi sekaligus membersihkan lingkungan sekitar Pura. Kegiatan ini dilakukannya sebagai respons dari kegundahannya selama ini bahwa nilai-nilai toleransi yang kerap diajarkan di sekolah, masih sebatas teori saja.

“Terkadang kita mengajarkan nilai toleransi, tapi tidak mengajarkan bagaimana bertoleransi dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.

Fatwa bermaksud untuk menghadirkan ruang dialog terbuka dimana peserta didik dapat berkomunikasi, mengonfirmasi, dan menumbuhkan empati terhadap orang dari latar belakang agama yang berbeda. Menurutnya, program LKLB telah memberikan pencerahan kepada dirinya dan para guru lainnya tentang bagaimana melakukan kolaborasi antar umat beragama.

Fatwa menegaskan prasangka tentang orang lain yang berbeda agama bisa mengganggu relasi dalam kehidupan bermasyarakat. Itu sebabnya, perjumpaan dan dialog secara langsung akan mampu mengikis hal tersebut.

“Ada seorang anak yang datang ke saya mengatakan, ‘Terima kasih bu, selama ini saya tidak pernah belajar hal-hal seperti ini’. Di situ saya merasa sangat terharu dan hampir menangis, ternyata apa yang saya lakukan mempunyai kesan di hati anak-anak didik saya,” kata Fatwa.

Direktur Eksekutif International Interfaith Research Lab di Teachers College, Universitas Columbia, Amerika Serikat, Dr. Amra Sabic-El-Rayess (kiri) dan Direktur Eksekutif, Arigatou International, Switzerland, Maria Lucia Uribe (kanan).

Pedagogi yang Mempersatukan

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif, Arigatou International, Switzerland, Maria Lucia Uribe, mengatakan urgensi pendekatan pendidikan yang tidak hanya mengajar, tetapi juga membentuk manusia yang utuh dan berpikir reflektif.

Menurutnya, pendidikan abad ke-21 harus lebih dari sekadar transfer pengetahuan, tetapi menjadi pengalaman hidup yang sistematis dan pedagogi yang menumbuhkan dialog antarbudaya, mendorong berpikir kritis, serta memperkuat penghormatan satu sama lain.

“Kita hidup di era konektivitas tinggi, tetapi justru menyaksikan meningkatnya bias, ketakutan terhadap perbedaan, dan fragmentasi sosial. Sekolah seharusnya menjadi ruang perjumpaan yang mempersatukan, bukan memisahkan,” jelas Maria.

Direktur Eksekutif International Interfaith Research Lab di Teachers College, Universitas Columbia, Amerika Serikat, Dr. Amra Sabic-El-Rayess, mengatakan pergeseran pendidikan (educational displacement), yaitu keterasingan di ruang atau fasilitas pendidikan, bisa dialami jika sekolah gagal mengembangkan pendidikan yang memumpuk nilai-nilai kemanusiaan.

“Pengalaman saya sendiri sebagai Muslim Bosnia tahun 1990-an, bagaimana genosida bukan awal dari kekerasan, tapi puncak dari cerita yang disampaikan selama bertahun-tahun, dari generasi ke generasi, yang mengasingkan orang lain, siapa pun dia dalam lokasi geografis dan massa,” kata Amra.

Amra menegaskan pentingnya narasi edukatif tentang empati dan kisah-kisah yang membangkitkan kecintaan terhadap sesama. Kurikulum harus mampu merepresentasikan nilai-nilai kemanusiaan tanpa sekat. [IL/Zul/Syl/Chr]