Jakarta, 21 April 2022 – Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, mengingatkan peran ulama sebagai guru bangsa untuk menyampaikan dakwah dengan penuh kearifan termasuk saat menghadapi perbedaan pendapat atau pandangan. Ulama di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia memiliki peran sangat strategis dalam mencari titik-titik pertemuan untuk persatuan bangsa.
Hal itu disampaikan Nasaruddin saat pembukaan program internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diikuti peserta dari Pendidikan Kader Ulama (PKU) Masjid Istiqlal, Senin (7/3/2022).
“Pendidikan kader ulama adalah harapan bangsa Indonesia di masa depan. Kita akan menjadi guru bangsa. Bukan hanya gurunya umat Islam, tapi gurunya bangsa Indonesia,” ujar imam besar Masjid Istiqlal.
Dia menyebut para kader ulama yang mengikuti program LKLB merupakan “Al Hadi” yang bermakna maha pemberi petunjuk. Peran itu harus dihayati dengan sungguh-sungguh khususnya dalam mewujudkan Islam wasathiyah.
Menurutnya, Islam sendiri memberikan pengakuan kepada agama lain dengan penyebutan Yahudi, Nasrani, bahkan aliran Majusi di Al-Quran. Namun, pengakuan tersebut bukan berarti menjadi pembenaran bagi agama selain Islam.
“Bagi saya seorang Muslim, agamaku satu-satunya paling benar. Tapi saya harus mengakui agama Kristen, Katolik, dan lainnya karena menurut mereka itu paling benar. Lakum dinukum waliyadin (untukmu agamamu dan untukku agamaku). Jangan memaksakan kehendak kita,” kata Nasaruddin.
Nasaruddin menambahkan Indonesia sebagai bangsa yang plural tetap mampu kokoh berdiri karena pemikiran sentripetal yaitu bergerak dari berbagai arah berbeda menuju satu titik yang sama. Indonesia tidak berpikir secara sentrifugal, yaitu dari satu titik ke luar ke arah berbeda-beda. Itu sebabnya, dia mendorong ulama agar selalu berpikir “berbeda” dari orang kebanyakan,
“Kita jangan sibuk mencari perbedaan satu sama lain, tapi mestinya kita harus sibuk mencari pertemuan, persamaan satu sama lain. Bangsa yang plural kalau sibuk mencari perbedaan maka terancam amburadul negeri ini,” ujarnya.
Kiblat Peradaban Islam
Nasaruddin juga menceritakan pertemuannya dengan asosiasi ilmuwan internasional yang berpusat di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA). Pimpinan asosiasi tersebut menilai Indonesia bisa menjadi kiblat dari peradaban dunia Islam. Jika selama ini, buku-buku bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka sudah saatnya buku-buku berbahasa Indonesia diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.
“Ini suatu bentuk pengakuan internasional bahwa ilmuwan Islam di Indonesia sudah saatnya menjadi narasumber untuk seluruh negara-negara dunia Islam,” ujar Nasaruddin.
Imam besar mencontohkan sejumlah negara Islam masih terus menghadapi konflik, seperti Afghanistan, Suriah, Irak, Libia, dan Pakistan. Sebaliknya, Indonesia dengan mayoritas umat Islam justru mampu hidup damai dengan berlandasakan Pancasila.
Nasaruddin mengingatkan teori jari-jari tangan untuk menunjukkan makna toleransi beragama. Toleransi bukan berarti meniadakan perbedaan sebagaimana digambarkan oleh kelima jari tangan, melainkan mencari persamaan yang mengikat semuanya (kalimatun sawa).
“Anda jangan terlalu menekankan aspek perbedaan kita dengan sesama agama-agama Samawi atau Abrahamik religion. Itu keliru. Justru kita harus mempertemukan titik pertemuannya, Al-Quran juga memerintahkan seperti itu,” tambahnya.
Dia mengatakan warga Indonesia harus merasa bangga karena menjadi rujukan internasional dalam hal toleransi beragama. Salah satu proyek keragaman beragama adalah “Terowongan Silaturahmi” untuk menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral.
“Siapapun yang akan belajar toleransi, datanglah ke Indonesia, khususnya ke Masjid Istiqlal. Di situ ada terowongan yang dibangun Pak Imam Besar. Meskipun diprotes pada awalnya, sekarang panen pujian. Jadi jangan takut jika ada protes di awal karena niat kita adalah kemanusiaan,” kata Nasaruddin. (IL/Chr)