Jakarta, 15 Mei 2022 – Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Dr. Alwi Shihab, mengingatkan alumni program internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) untuk memiliki jiwa besar dalam menghadapi berbagai perbedaan di dalam agama Islam. Sikap menghormati pandangan orang lain bukan berarti mengikuti atau setuju, melainkan menjaga keselarasan hidup bersama agar damai dan harmonis.

“Mengapa urusan-urusan kecil menjadi sebab kita mengkafirkan (orang lain)? Itu hal yang perlu kita kurangi sekarang. Kita perlu berjiwa besar untuk menerima perbedaan dan jangan menggunakan ungkapan, ucapan yang bisa menyakiti hati masing-masing,” kata Prof Alwi dalam kelas upgrading bertema “Bincang Ilmu dengan Alwi Shihab” yang digelar dalam dua sesi pada 1-2 Maret 2022.

Kelas upgrading ini merupakan pendalaman dari Sesi Kompetensi Pribadi (Islam) dalam program LKLB. Sesi pertama diikuti 142 guru mengangkat topik “Ini Sebab Terjadinya: Perbedaan dan Konflik dalam Islam”. Sesi kedua diikuti 139 guru dengan topik “Interaksi antara Islam dan Ahli Kitab”. Alumni LKLB yang ingin mengikuti kelas upgrading diwajibkan terlebih dulu mendengar 6 judul podcast Alwi Shihab terkait kedua topik tersebut, yang bisa diakses oleh publik lewat Perpustakaan Digital Warga Negara (https://www.warganegara.org/ atau https://www.youtube.com/c/WargaNegara).

“Banyak sekali terjadi konflik karena motivasi politik, agama dibawa-bawa. Pandangan-pandangan yang saling memaki di masa lalu, kembali dihidupkan untuk mengajak umat Islam yang tidak sejalan dengan kelompok tertentu agar memaki mereka,” kata Prof Alwi yang pernah menjadi utusan khusus presiden Indonesia untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Menurut Prof Alwi, banyak konflik dan perbedaan mazhab atau pandangan keagamaan di dalam Islam telah menimbulkan keprihatinan tersendiri dari para ulama di dunia. Dia mencontohkan fenomena Islamofobia yang muncul di negara-negara Barat disebabkan adanya kelompok-kelompok radikal yang mengeluarkan fatwa keras untuk memerangi sesama umat Islam yang berbeda pandangan dengan mereka.

Prof Alwi menjelaskan para tokoh Islam baik ulama dan kepala pemerintahan telah membuat kesepakatan bernama Risalah Amman (The Amman Message) yang diinisiasi oleh Raja Abdullah II dari Yordania berisi seruan toleransi dan persatuan umat Islam. Risalah Amman antara lain memuat tentang definisi seorang Muslim, sikap Muslim kepada yang berbeda, serta bagaimana sikap terhadap mereka yang mengkafirkan kelompok lain.

Risalah Amman mengakui 8 mazhab dalam Islam yaitu 4 mazhab Sunni (Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafi’i), 2 mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), Ibadi, dan Zahiri. Selain itu, Risalah Amman juga melarang penyebutan kafir kepada pengikut ajaran Ash`ari, Tasawwuf asli, dan Salafi sejati.

“Kedelapan mazhab ini diterima sebagai bagian dari keluarga besar Islam dan tidak boleh satu diantaranya mengkafirkan yang lain supaya hubungan antar mazhab bisa damai,” kata Prof Alwi.

Prof Alwi menambahkan Risalah Amman juga menyatakan Rasulullah pernah bersabda, barang siapa percaya kepada Allah. Kiblatnya percaya kewajiban salat, puasa, haji, percaya para rasul termasuk dalam rukun Islam dan rukun iman, maka mereka umatku yang selamat. Risalah Amman telah diadopsi dalam Konferesi OKI di Jeddah, Arab Saudi dengan mengundang sekitar 500 ulama Islam di dunia yang menyerukan risalah itu menjadi bagian dari kurikulum serta mengajarkan sesama umat Islam sebagai saudara.

“Al-Quran sudah mengatur agar kita bekerja sama, berlomba-lomba untuk kebaikan, menyejahterakan dan memakmurkan dunia ini,” lanjut Prof Alwi.

Moderator dan presenter Sesi 1 dan 2 Kelas Upgrading Bertema “Bincang Ilmu dengan Alwi Shihab” pada 1-2 Maret 2022.

Al-Quran sebagai Dasar

Salah satu presenter sesi pertama, Guru SMKN Bone Sulawesi Selatan (Sulsel), yang merupakan alumni angkatan ke-7 LKLB, Rahman, mempertanyakan pernyataan Prof Alwi dalam podcastnya agar tidak mensakralkan pendapat ulama.

“Ini tidak lazim dalam dunia pesantren, dimana sangat erat apa kata ulama, ustadnya. Bagaimana menyikapi hal itu karena kita di Indonesia mayoritas banyak pesantren sistem pembelajaran seperti itu?” ujar Rahman.

Terkait hal itu, Prof Alwi menegaskan Al-Quran tetap menjadi dasar dari semua pandangan termasuk ulama. Dia mengatakan penafsiran Al-Quran memang tidak semua sama, namun tentu saja tidak boleh jauh dari teks Al-Quran. “Yang menjadi masalah, kadang-kadang hadits dilontarkan kepada masyarakat, tanpa diberitahu bahwa hadits ini lemah. Kita harus menggunakan akal sehat saat membaca hadits,” ucapnya.

Kelas upgrading kali ini kembali melibatkan partisipasi alumni dari berbagai angkatan secara aktif. Moderator sesi pertama adalah Guru MTs Muhammadiyah Sengkang Sulsel, Ardi, sedangkan moderator sesi kedua yaitu Guru Bahasa Arab MA Al-Ikhlas Ujung Kabupaten Bone Sulsel, Esse.

Sedangkan, selain Rahman, presenter sesi pertama lainnya yaitu Kepala RA Al Multazam HJ. Sitti Takko Kabupaten Maros Sulsel, Yesimiyati dan Guru MAN Insan Cendekia Aceh Timur, Ikhwani. Presenter sesi kedua adalah Kepala Madrasah MTsS Uminda Sulsel Arwati, Guru MAN 4 Banjar Kalimantan Selatan Ahmad Paishal Amin, dan Penyuluh Agama KUA Kecamatan Parongpong Bandung, Umbara Kusuma. (IL/Chr)