Oleh: Salahuddin Abdul Rahman
Indonesia adalah negara majemuk. Setiap individu yang tinggal di negara ini harus berhadapan dengan keragaman dan kemajemukan yang mengakar dan menyusup ke setiap sudut ruang kehidupan. Tak terkecuali dalam hal kepercayaan dan budaya. Disisi lain, kita sering merasakan bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah pada umumnya tidak mencerminkan dan menghidupkan pendidikan multikultural yang baik. Dampaknya, konflik sosial seringkali dikeluhkan oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Hal semacam ini menjadi pemantik konflik yang mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental, sehingga konflik sosial kekerasan sedikit sulit diatasi, sebab dipahami sebagai suatu bagian dari seruan agamanya.
Secara resmi Indonesia menganut berbagai agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, beragamnya agama ini menjadikan seseorang berhadapan langsung dengan pluralitas. Negara Indonesia yang berdasar pada Pancasila mengandung wujud agar setiap warga negara wajib memeluk satu agama. Agama itu supaya diimani, dihayati dan diamalkan sebaik-baiknya.
Dalam catatan sejarah, Indonesia hingga saat ini telah mengalami banyak konflik yang disebabkan oleh beragam masalah mulai dari kondisi ekonomi, suku atau etnis, penindasan, hingga konflik agama. Agama merupakan salah satu pemicu konflik yang cukup besar di Indonesia. Hal tersebut terbukti dengan terjadinya berbagai macam peristiwa-peristiwa yang mengguncang indonesia, diantaranya; 1) Kerusuhan Sampit (1998), 2) Kerusuhan Poso (2000), 3) Kerusuhan di Ambon (1999), 4) Kerusuhan Lampung Selatan (2012). Sejumlah kasus intoleransi kembali terjadi di tahun 2018, sejumlah pihak mengecam keras aksi kekerasan agama karena dianggap menodai keberagaman dan mencederai ajah demokrasi di Tanah Air.
Berdasarkan peristiwa-peristiwa tersebut dapat kita ketahui bahwa kemajemukan yang ada di Indonesia berpotensi menghasilkan konflik di masyarakat, utamanya konflik agama yang sejak dulu tidak ada habisnya karena mengklaim kebenarannya masing-masing.
Menyikapi permasalahan di atas, program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang digagas Institut Leimena hadir sebagai lembaga yang menyongsong perdamaian masa depan. Program LKLB memiliki berbagai kegiatan dan inovasi bagi para alumninya. LKLB mewadahi setiap insan yang hendak menerapkan sikap saling memahami sesama manusia, dengan mengedepankan sikap inklusif. Hal ini menjadi angina segar bagi para pendidik, khususnya agama Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia guna meningkatkan kemampuan, wawasan, dan pengetahuan mengenai bagaimana hidup menjadi manusia yang religius namun dapat hidup damai dengan orang lain.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Oleh karena itu, peran guru terutama guru Pendidikan Agama Islam (PAI) tidak berhenti hanya pada transfer of knowledge kepada peserta didik tetapi juga transfer of value, yaitu menanamkan nilai-nilai ajaran Islam guna membina karakter, perilaku, serta akhlak peserta didik agar menjadi insan yang lebih baik.
Melalui LKLB, guru PAI mendapatkan informasi dan pengetahuan untuk menyebarkan kedamaian dengan mengedepankan sikap inklusif yang saling menerima, sehingga guru PAI memiliki peranan yang sangat penting dalam menginternalisasikan nilai-nilai Islam kepada peserta didik. Guru PAI diharapkan mampu membangun sikap inklusif di samping kesalehan individu pada diri peserta didik sehingga tercipta ukhuwwah Islamiyah antara peserta didik dengan sesama peserta didik baik yang seagama maupun beda agama, peserta didik dengan guru di sekolah, maupun peserta didik dengan masyarakat di luar sekolah.
Dalam beragama, setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda-beda terhadap keberagamaannya dalam hal ini respon keagamaan. Menurut teolog Alan Race, hubungan antar agama memunculkan interaksi keberagamaan atau yang sering disebut dengan respon keagamaan yang meliputi eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme, dan interpenetrasi (interpenetration).
Respon keagamaan tersebut masing-masing memiliki pengertian yang berbeda-beda. Pertama, eksklusivisme ialah keyakinan yang menganggap bahwa agama yang diyakininya adalah yang paling benar selain itu salah. Kedua, inklusivisme yaitu lawan dari eksklusivisme bahwa mengakui agama yang diyakini sebagai yang paling benar, tetapi memberikan kesempatan bagi pemeluk agama lain untuk menyatakan agamanya juga benar.
Ketiga, pluralisme merupakan suatu pandangan yang menganggap bahwa semua agama adalah benar, anggapannya bahwa semua agama mempunyai tujuan yang sama walaupun dengan penampilan yang berbeda-beda. Keempat, interpenetrasi ialah menganggap bahwa agamanya merupakan yang paling benar, akan tetapi kebenarannya didapatkan dengan cara memahami agama-agama lain.
Islam juga mengenal paham inklusif, sebagaimana yang diungkapkan oleh cendekiawan Islam, Dr. Alwi Shihab, yang juga merupakan pembicara utama dalam program LKLB mengungkapkan dalam tulisannya bahwa konsep pendidikan Islam inklusif harus dibangun dengan landasan pemahaman mengenai perbedaan yang merupakan sunnatullah. Berdasarkan konsep keberagamaan tersebut, inklusivisme menjadi paham yang diperlukan untuk menyikapi kemajemukan masyarakat Indonesia. Orang yang berpaham inklusivis walaupun mengakui bahwa nilai dan kebenaran agama lain, tetapi tetap memegang teguh bahwa nilai dan kebenaran agamanya sebagai yang paling lengkap.
Oleh karena itu, guru PAI melalui pelatihan dalam LKLB banyak dibekali pengetahuan dan wawasan tentang kehidupan yang berbasis lintas budaya, sehingga tidak boleh hanya berkonsentrasi pada persoalan teoritis yang bersifat kognitif semata, tetapi sekaligus juga mampu mengubah pengetahuan yang bersifat kognitif menjadi nilai-nilai yang diinternalisasikan dalam diri anak sehingga dapat berperilaku secara konkret agamis dalam kehidupan sehari-hari.
Guru PAI harus kreatif, bersifat terbuka, inklusif, menyenangkan, dan mampu memahami kondisi siswa dengan baik, hal ini agar nilai-nilai Islam yang guru sampaikan dapat diinternalisasikan dengan baik dalam diri peserta didik. Berkaitan dengan hal ini, guru PAI harusnya mulai berkecimpung berbagai kegiatan yang difasilitasi Institut Leimena lewat program LKLB agar mampu menerapkan proses interaksi yang bersifat edukatif terhadap peserta didik. Dengan demikian maka peserta didik sebagai anak bangsa akan terdidik sejak dini untuk menjaga persatuan di Negara Republik Indonesia ini.
Islam juga mengenal paham inklusif, sebagaimana yang diungkapkan oleh cendekiawan Islam, Dr. Alwi Shihab, yang juga merupakan pembicara utama dalam program LKLB. Dr. Alwi mengungkapkan dalam tulisannya bahwa konsep pendidikan Islam inklusif harus dibangun dengan landasan pemahaman mengenai perbedaan yang merupakan sunnatullah.
Profil Penulis
Salahuddin Abdul Rahman
Alumni LKLB Angkatan 11
Guru SMAN 4 Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan
0 Comments