Tiga pakar Islam yang juga Senior Fellow Institut Leimena sekaligus pengajar program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB), dari kiri ke kanan: Prof. Amin Abdullah, Dr. Alwi Shihab, Prof. Siti Ruhaini Dzuhayatin, menjadi narasumber dalam diskusi dengan akademisi Vietnam dari Institut Etnisitas dan Agama Akademi Nasional Politik Ho Chi Minh.

Jakarta, LKLB NewsSejumlah pakar Islam melakukan pertemuan dengan lima akademisi Vietnam yang berasal dari lembaga pengkaderan pemimpin Vietnam dari Institut Etnisitas dan Agama di bawah Akademi Nasional Politik Ho Chi Minh. Salah satu topik diskusi yang menarik dalam pertemuan itu mengenai karakteristik Islam di Indonesia yang berbeda dengan Islam di negara-negara lain seperti Arab dan Timur Tengah.

Pakar yang hadir adalah Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Dr. Amin Abdullah, Menteri Luar Negeri 1999-2001, Dr. Alwi Shihab, dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Uzbekistan dan Kyrgyzstan, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin. Kelima akademisi Vietnam berada di Indonesia pada 1-3 Mei 2025 untuk mempelajari program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diadakan oleh Institut Leimena dan berbagai lembaga pendidikan, keagamaan, dan pemerintah Indonesia.

“Ketika kita bicara dialog antar agama, kerukunan antar agama, kerja sama antar agama, itulah Indonesia. Indonesia tidak bisa disebut negara sekuler seperti Barat karena tradisinya menjunjung tinggi agama, tapi pendiri bangsa, Ir. Soekarno mengatakan bahwa ketuhanan di Indonesia adalah ketuhanan yang berkebudayaan, berbudi luhur,” kata Amin Abdullah.

Amin, yang merupakan peraih Habibie Prize 2024 untuk bidang filsafat, agama, dan kebudayaan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyatakan, 87 persen penduduk Indonesia beragama Islam, namun para pendiri bangsa tidak menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Menurutnya, karakter Islam di Indonesia berbeda dengan negara lain, karena Islam di Indonesia tumbuh dari tiga pilar kebangsaan, yaitu etnoreligius, deklarasi Sumpah Pemuda tahun 1928, dan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa.

Prof. Dr. Hoang Thi Lan dari Institut Etnisitas dan Agama di bawah Akademi Nasional Politik Ho Chi Minh, Vietnam, menyampaikan pertanyaan terkait sejarah Islam di Indonesia dan perkembangannya.

Amin menjelaskan Indonesia berasal dari komunitas etnoreligius yang tumbuh sangat kuat selama berabad-abad. Fakta bahwa Indonesia terdiri dari 17.000 pulau yang memiliki berbagai macam bahasa, aliran kepercayaan, dan adat istiadat, membuat masyarakatnya terbiasa hidup dalam kemajemukan. Puncaknya pada tahun 1928 saat para pemuda Indonesia mendeklarasikan Sumpah Pemuda, yaitu satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, dilanjutkan dengan perumusan Pancasila.

“Di Indonesia organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama berusia lebih tua dari negara, namun saat ada usulan untuk menghapus kata ‘menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam sila ke-1 Pancasila, bisa terjadi titik temu,” kata Amin.

“Jika saat itu umat Islam di Indonesia rigid, eksklusif, maka tidak akan ada Indonesia sebagai negara modern,” lanjut mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.

Kunjungan ke rumah ibadah dalam workshop Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (3/5/2025), menjadi salah satu agenda observasi akademisi Vietnam ke Indonesia.

Masalah Penafsiran
Mantan Menlu RI, Dr. Alwi Shihab, mengatakan Islam pada hakikatnya hanya satu karena memiliki kitab suci dan Nabi yang sama. Namun, perbedaan terjadi karena penafsiran yang berbeda, bahkan kadang bisa menyebabkan konflik berdarah. Alwi mencontohkan perang yang terjadi antara Irak dan Iran yang berlangsung selama delapan tahun. Konflik senada juga pernah terjadi antar agama berbeda, seperti Perang Salib antara umat Islam dan Kristen.

“Kalau kita menelusuri sejarah, kita akan melihat tidak ada satu agama pun yang membenarkan konflik berdarah. Tapi hal itu terjadi sampai sekarang karena perbedaan penafsiran dan yang menjadikan konflik lebih sulit diatasi adalah afiliasi politik,” kata Alwi.

Alwi mengatakan program LKLB yang diadakan Institut Leimena berusaha memberikan pencerahan bahwa paling utama adalah tidak boleh memusuhi suatu agama. Dia menambahkan tiga kompetensi yang diajarkan dalam program LKLB yaitu pertama, kompetensi pribadi, artinya setiap penganut agama harus benar-benar memahami dan mengerti ajaran agamanya.

Kedua, kompetensi komparatif, yaitu mencari titik temu dalam perbedaan agama dengan menumbuhkan empati satu sama lain. Ketiga, kompetensi kolaboratif, yaitu titik temu yang ada harus menjadi landasan untuk bekerja sama.

“Banyak feedback dari peserta LKLB bahwa mereka lebih nyaman berhubungan dengan kelompok lain setelah memahami tiga kompetensi itu,” kata Alwi yang juga mantan Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Dubes RI untuk Uzbekistan dan Kyrgyzstan, Siti Ruhaini, mengatakan energi yang dibutuhkan Indonesia untuk bisa hidup berdampingan jauh berkali-kali lipat dibandingkan Vietnam yang sifatnya lebih homogen. Di Indonesia, agama menjadi hal penting, sehingga dibutuhkan adanya sistem demokrasi agar tidak tercipta perang klaim kebenaran masing-masing agama. [IL/Chr]