Semua manusia adalah manusia berprasangka, artinya selalu berusaha memahami berdasarkan apa yang diberitahukan kepada kita, bukan dengan berbicara kepada orang tersebut dan berusaha memahami bagaimana mereka berpikir tentang diri mereka.
Dr. Chris Seiple, Senior Fellow University of Washington
Jakarta, 9 Desember 2021 – Literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) pada dasarnya adalah kerangka kerja untuk melibatkan orang lain dalam penyelesaian masalah atau tantangan bersama dengan sikap saling menghormati. Senior fellow dari University of Washington, Dr. Chris Seiple, berhasil membumikan konsep LKLB lewat pengalaman praktisnya ketika berhubungan dengan orang-orang yang sangat berbeda latar belakang.
Dr. Chris menyatakan praktik LKLB hanya terjadi jika kita mau “menyebrang” atau bergerak ke arah orang yang berbeda dari kita. Dr. Chris menunjukkan bagaimana kerangka LKLB menolong dirinya untuk menjalin persahabatan tanpa prasangka, sebaliknya berpegang pada kaidah “LOVE” yaitu Listen (mendengar), Observe (mengamati), Verify (memverifikasi), dan Engange (terlibat/berpartisipasi).
“Semua manusia adalah manusia berprasangka, artinya selalu berusaha memahami berdasarkan apa yang diberitahukan kepada kita, bukan dengan berbicara kepada orang tersebut dan berusaha memahami bagaimana mereka berpikir tentang diri mereka,” kata Dr. Chris dalam salah satu sesi pada Program Internasional Peningkatan Kapasitas Guru Madrasah dan Pesantren untuk LKLB.
Program LKLB yang berjalan sejak awal Oktober 2021 merupakan kerja sama Institut Leimena dengan para mitra antara lain Maarif Institute, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Masjid Istiqlal, dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Program ini telah diikuti sekitar 8 angkatan dengan total sekitar 1.000 peserta.
Dr. Chris mengatakan LKLB adalah mengenai Anda, orang lain, dan apa yang kita lakukan bersama. Di dalamnya terdapat 3 kompetensi yakni pribadi (apa yang aku percaya), komparatif (apa keyakinan orang lain), dan kolaboratif (bagaimana kita dapat bekerja sama).
“Artinya Anda harus berpikir tentang diri sendiri, kemudian Anda harus mendengarkan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka sendiri, dan kemudian kita dapat berbicara tentang apa yang kita lakukan bersama. Karena kita saling menghormati, maka relasi kita menjadi praktis dan berkelanjutan,” ujar Dr. Chris yang juga President Emeritus of the Institute for Global Engagement (IGE).
Dr. Chris mengisahkan perkenalannya dengan Akram Khan Durrani yaitu seorang gubernur Muslim dari provinsi perbatasan barat laut Pakistan. Perbedaan keduanya sangat jelas yaitu gubernur tersebut seorang Pashtun (salah satu etnis di Pakistan), sedangkan Dr. Chris adalah keturunan Jerman, Denmark, dan Inggris yang berasal dari Eropa. Sang gubernur adalah Muslim Pakistan, sedangkan Dr. Chris adalah Kristen Amerika. Gubernur tersebut bekerja untuk pemerintah secara top-down, sementara Dr. Chris bekerja untuk organisasi non-pemerintah yang bergerak bottom-up.
“Dia bukan cuma Muslim, tapi Muslim Deobandi, yang merupakan tradisi yang berasal dari India. Saya seorang Protestan, sebuah tradisi yang berasal dari Jerman dan Martin Luther,” kata Dr. Chris.
Menurut Dr. Chris, LKLB bukan berarti menyetujui dalam hal teologis. Namun, kita masih perlu melakukan sesuatu karena adanya satu kepentingan bersama. Misalnya, warga negara dari satu negara yang sama, tinggal di desa yang sama, atau sebagai sesama penduduk Asia Tenggara yang menghadapi masalah bersama.
“Nah, kami menemukan cara untuk berinteraksi dan membangun rasa hormat di tengah perbedaan yang mendalam, perbedaan yang tidak akan bisa dipertemukan secara teologis, juga politis, dalam banyak hal,” katanya.
Dr. Chris menegaskan LKLB bukan sinkretisme ataupun sekularisme. Pemahaman akan perbedaan juga tidak bertujuan untuk saling merendahkan, melainkan untuk menghormati esensi identitas dan keyakinan orang lain.
“Saya dapat memegang keyakinan saya dan Anda dapat memegang keyakinan Anda,” katanya.
Dr. Chris menambahkan literasi bukan berarti kefasihan atau sebaliknya kebutaan. Literasi sudah cukup untuk mengatakan bagaimana kita bisa menunjukkan rasa hormat kepada rekan atau teman kita. Dia mengakui tidak akan pernah bisa mengerti orang Asia, demikian pula sebaliknya, orang Asia tidak bisa memahami orang Amerika. Namun, keduanya bisa mengetahui secukupnya untuk menunjukkan rasa hormat sehingga dapat bekerja sama untuk mencapai sesuatu.
“Dengan kata lain, literasi agama adalah tentang kerendahan hati. Ini adalah tentang mendengarkan. Ini adalah keinginan untuk mendengarkan, mengamati, memverifikasi, melakukan pekerjaan, dan kemudian membangun relasi,” ucapnya.
Menurut Dr. Chris, ada tiga keterampilan yang selalu muncul dalam tiga kompetensi LKLB, baik internal dan eksternal, yaitu negosiasi, evaluasi dan komunikasi. “Ini selalu muncul dalam kompetensi yang Anda coba bangun,” ujarnya. (IL/Chr)