LKLB memiliki penekanan untuk mencari benang merah dari hubungan lintas agama. Bukan mencari benang kusutnya.

Khairun Nisa Br Manik (Guru Al Quran dan Hadits MAN 1 Medan, Sumatera Utara)

Jakarta, 20 November 2021 – Literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) telah memberikan wawasan baru dalam memahami keyakinan pribadi serta hubungannya dengan orang lain. Alih-alih mendangkalkan agama, LKLB justru memperluas sudut pandang pemahaman agama tentang perbedaan dan keragaman.

Hal tersebut terungkap lewat testimoni sejumlah peserta angkatan ke-5 program peningkatan kapasitas guru madrasah dan pesantren yang merupakan kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan Institut Leimena. Program berlangsung 5 hari pada 8-12 November 2021.

Guru mata pelajaran Al Quran dan Hadits di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Medan, Khairun Nisa Br Manik, berpendapat LKLB memiliki penekanan untuk mencari benang merah dari hubungan lintas agama. “Bukan mencari benang kusutnya,” katanya saat penutupan program hari Jumat (12/11/2021).

Alumni UIN Sunan Kalijaga itu menyebut pelatihan tentang LKLB memberikan spektrum baru dalam relasi lintas agama dan budaya yang sebenarnya telah ada di Indonesia.

“Saya sangat senang sekali mendengar bahwa kita harus bisa memahami orang lain sebagaimana dia memahami dirinya sendiri. Ini sesuatu yang harus terus kita latih dalam diri kita serta memberi keteladanan kepada orang lain,” ujar Khairun

Khairun mengajak para peserta pelatihan LKLB untuk menyebarluaskan ilmu yang didapatkan kepada sesama guru, serta memulai dengan menjadi teladan di madrasah dan pesantren.

“Saya merasa pelatihan ini sangat luar biasa sekali dengan materi dan pemateri sangat dahsyat, tokoh-tokoh dalam dan luar negeri,” lanjut Khairun.

Senada dengan itu, Wakil Kepala Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 3 Tasikmalaya, Jawa Barat, Dadang, mengaku terharu sekaligus bangga karena menyadari peran guru lebih dari sekadar menyampaikan pengetahuan, tetapi juga melakukan transformasi perubahan pola pikir dan sikap peserta didik.

“Kami yakin sepenuhnya, ini (LKLB) betul-betul merupakan pencerahan yang bisa membuka hati, pikiran, dan wawasan betapa pentingnya toleransi,” kata Dadang.

Menurutnya, LKLB sebagai pendekatan berpikir, bersikap, dan bertindak dalam menjalin hubungan dan kerja sama dengan orang berbeda agama, merupakan ilmu yang berharga bagi para guru.

“Ini memberikan kesempatan mereka (peserta didik) untuk betul-betul mendalami pemahaman mereka, sehingga mereka punya kesempatan lebih meyakini keyakinan mereka sendiri, sehingga mata hati mereka terbuka, tidak lagi picik dalam memandang orang yang berkeyakinan lain,” ujar Dadang.

Dadang menjelaskan LKLB akan melahirkan sikap tasamuh dalam menjalani kehidupan di tengah keragaman agama dan budaya. Jika seseorang semakin memahami toleransi beragama maka dia bisa lebih saling menghargai, menghormati, bahkan menyayangi.

Pengalaman relasi lintas agama dan budaya juga pernah dialaminya secara langsung saat berinteraksi dengan seorang relawan guru dari Colorado, Amerika Serikat (AS). Dadang mengatakan kehadiran relawan tersebut, yang mengajar bahasa Inggris selama 1,5 tahun di sekolahnya, menunjukkan tali silaturahmi sebenarnya bisa dilakukan dengan siapa saja.

“Dia orang Kristen, tapi baik sekali, menghargai, dan kami pun sangat menghargai dia,” tambah Dadang.

Rumah Betang, rumah adat Kalimantan Tengah yang unik (sumber: indonesia.go.id)

Sementara itu, Guru MAN Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, Alivermana Wiguna, mengatakan pelatihan LKLB membuka wawasan untuk memahami agama Islam (kompetensi pribadi), serta memahami agama lain dari pemeluk agama itu sendiri yaitu Yahudi dan Nasrani (kompetensi komparatif).

“Semua ini sangat membuka cakrawala dan pemahaman kami tentang agama,” ujar Alivermana.

Alivermana menambahkan masyarakat Dayak, Kalimantan Tengah, juga memiliki kearifan lokal dalam membangun relasi antar agama dan budaya, yaitu Rumah Betang. Dia menggambarkan Rumah Betang sebagai nilai kebersamaan suku Dayak dimana mereka bisa hidup bersama dalam satu rumah dengan segala perbedaannya.

“Saya mengajak guru madrasah, para pejuang moderasi. Mudah-mudahan kita bisa membangun moderasi beragama di madrasah kita, khususnya kita awali dengan pemahaman Islam yang moderat dan toleran kepada sesama pemeluk agama Islam. Lalu kita bawa lagi moderasi dan toleransi kepada kawan-kawan kita yang berbeda agama,” kata Alivermana.

Ketua Program Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Suka, Dr. Dian Nur Anna, mengatakan program peningkatan kapasitas guru dalam LKLB memperkuat eksistensi dan kolaborasi antar agama di Indonesia.

“Dengan demikian diharapkan bapak ibu guru madrasah dan pesantren terdorong untuk mengintegrasikan prinsip LKLB dalam pengajarannya,” ujar Dr. Dian. (IL/Chr)