Sebagai organisasi masyarakat baik Institut Leimena maupun Maarif Institute tidak punya penjara atau polisi tapi kita punya kewajiban moral. Segala kemampuan intelektual dan hati nurani yang kita miliki tentu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menegakkan keadilan dan kedamaian.
Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Syafiq A. Mughni, Ph.D.
Penguatan eksistensi dan kolaborasi damai antar umat beragama memerlukan langkah yang terencana dan konstruktif. Salah satu pendekatan yang efektif lewat peran guru atau pendidik untuk menanamkan nilai-nilai toleransi di tengah realitas kehidupan bangsa yang majemuk.
Atas dasar tersebut, Institut Leimena bekerja sama dengan Maarif Institute serta didukung oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah, RBC Institute A. Malik Fadjar, dan Templeton Religion Trust, mengadakan Program Internasional Peningkatan Kapasitas Guru Madrasah dan Pesantren dalam Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB).
Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Syafiq A. Mughni, Ph.D., dalam ceramah kuncinya saat membuka program tersebut, Senin (4/10/2021), mengatakan pendidikan adalah wahana penting untuk mencapai kebajikan hubungan lintas agama dan lintas budaya.
“Bagi masyarakat Muhammadiyah khususnya dan masyarakat umat beragama pada umumnya tentu harus menjadi pijakan bumi dimana kita injak dan kita junjung bersama, dan kemudian kita mendayung diantara kehidupan plural itu sehingga kita bisa mencapai tujuan bersama yang kita cita-citakan,” kata Prof Syafiq.
Program peningkatan kapasitas guru madrasah dan pesantren dirancang dalam model pelatihan sinkronus (online) dan asinkronus (offline/mandiri). Pelatihan sudah berlangsung untuk 4 angkatan pada 4-8 Oktober 2021 diikuti 225 guru, kemudian angkatan ke-2 pada 11-15 Oktober 2021 diikuti 239 guru, selanjutnya angkatan ke-3 pada 25-29 Oktober 2021 diikuti 194 guru, dan angkatan ke-4 pada 1-5 November 2021 diikuti 119 guru.
Prof Syafiq mengingatkan perbedaan, pluralitas, atau heterogenitas adalah fitrah (given) yang dibawa sejak nenek moyang bangsa Indonesia sampai saat ini.
“Sebagai organisasi masyarakat baik Institut Leimena maupun Maarif Institute tidak punya penjara atau polisi tapi kita punya kewajiban moral. Segala kemampuan intelektual dan hati nurani yang kita miliki tentu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menegakkan keadilan dan kedamaian,” ujar Prof Syafiq.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan LKLB adalah pendekatan baru untuk membangun rasa memahami, menghormati, dan persahabatan yang tulus antarumat beragama.
“Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, madrasah dan pesantren memiliki peran penting dan akan ikut menentukan wajah kerukunan umat beragama di masa depan,” kata Matius.
Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abdul Rohim Ghazali, menyatakan guru adalah komponen penting dalam proses pendidikan. Sebagus apa pun materi pelajaran, tapi akan sia-sia jika disampaikan oleh guru yang tidak memiliki kapasitas.
Pembukaan oleh Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd. Rohim Ghazali, M.Si, Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho, Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah Alpha Amirrachman, M.Phil., Ph.D. dan ceramah kunci oleh Ketua PP Muhammadiyah Prof. Syafiq A. Mughni, Ph.D.
Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah H.R. Alpha Amirrachman, M.Phil, Ph.D, berharap program peningkatan kapasitas ini bisa mendorong para guru mengintegrasikan prinsip LKLB dalam pengajaran di kelas.
“Kita belajar dari siapa saja, di mana saja. Insyaallah, ilmu yang kita dapat bisa bermanfaat untuk kehidupan kita, kehidupan madrasah kita, dan kehidupan anak-anak didik kita kelak di kemudian hari,” kata Alpha.
Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah, Dr Maskuri, menambahkan warga perserikatan Muhammadiyah harus selalu memiliki cara berpikir tidak miopik atau sempit, sebaliknya luas dan luwes agar bisa bergaul dengan masyarakat berbeda budaya, agama, dan lainnya.
“Literasi keagamaan lintas budaya meskipun istilah baru, tapi bagi Muhammadiyah bukan hal asing karena KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah pergaulannya sangat luas tidak terbatas tokoh internal agama Islam tapi lintas di luar agama Islam,” ujar Dr. Maskuri.
Selama pelatihan lima hari, peserta diajak untuk memahami LKLB melalui tiga kompetensi yaitu kompetensi pribadi, kompetensi komparatif, dan kompetensi kolaboratif. LKLB secara sederhana dirangkum sebagai “You, The Other, and What You Do Together”.
Artinya, bagaimana kita memahami spiritualitas atau ajaran agama kita sendiri dalam berhubungan dengan orang lain (You), selanjutnya bagaimana kita memahami kerangka moral dan spiritual orang lain sebagaimana pemahaman orang tersebut (The Other), dan terakhir, memahami titik temu untuk bisa membangun kerja sama dan kolaborasi dengan orang yang berbeda (What You Do Together).
Peserta diajak memetakan tiga kompetensi melalui sesi-sesi dibawakan oleh Prof. Dr. Alwi Shihab (Senior Fellow Institut Leimena), Prof. Dr. M. Amin Abdullah (Guru Besar Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta), Dr. Chris Seiple (Senior Research Fellow), Rabi Dr. David Rosen (Board of Directors King Abdullah bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue), Pdt. Dr. Henriette T. Hutabarat Lebang, MA (Ketua Umum Lembaga Alkitab Indonesia), Dr. Muhbib Abdul Wahab (Dosen UIN Syarif Hidayatullah), Drs. Unang Rahmat MM (Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah), Dra. Yayah Khisbiyah, M.A (Lektor Kepala Universitas Muhammadiyah Surakarta), dan masih banyak lagi.
Program pelatihan ini diharapkan bisa membuka titik temu untuk membangun kerja sama dan kolaborasi antar umat beragama. Secara khusus, nilai-nilai LKLB bisa tertanam dalam diri peserta didik agar tercipta kebaikan untuk masyarakat, bangsa, dan negara. (IL/Yan/Chr)