Para pembicara dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya bertemakan “Perspektif Global dalam Memerangi Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan yang diadakan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda Jakarta dan Institut Leimena, Selasa (22/8/2023).

Jakarta, LKLB News – Masyarakat global perlu bersama-sama menegakkan Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (HAM PBB) 16/18 untuk memerangi intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan. Resolusi itu menjadi kerangka bersama yang menjamin perlindungan kepada setiap warga dunia untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing, serta mencegah terjadinya kekerasan berdasarkan agama.

Resolusi Dewan HAM PBB 16/18 mengenai “Combating intolerance, negative stereotyping and stigmatization of and discrimination, incitement to violence and violence against persons based on religion or belief” telah disahkan pada April 2011. Resolusi ini membentuk Istanbul Process, sebuah platform yang mempertemukan negara-negara setiap tahun dan menjadi platform inklusif yang juga mempertemukan Institusi-institusi Nasional HAM (NHRIs), legislator, hakim, jurnalis, media, serta perwakilan dari organisasi-organisasi HAM nasional dan regional.

“Saya ingin menghormati dan mengakui langkah maju dari masyarakat global, masyarakat internasional dengan memajukan Resolusi 16/18 ini yang merupakan kemenangan bagi multilateralisme. Kita upayakan bersama penegakkan dari resolusi ini,” kata Utusan Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kementerian Luar Negeri Kerajaan Belanda, Duta Besar Bea ten Tusscher, dalam webinar internasional seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diadakan oleh Kedutaaan Besar Belanda di Jakarta bersama Institut Leimena, Selasa (22/8/2023) malam.

Webinar yang mengangkat tema “Perspektif Global dalam Memerangi Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan” itu diikuti sedikitnya 2.100 orang dari sekitar 24 negara. Bea mengatakan pemerintah Belanda, yang sejak 2019 memimpin Istanbul Process, telah melakukan sejumlah inisiatif untuk menindaklanjuti Resolusi 16/18, antara lain menetapkan koordinator nasional untuk melawan diskriminasi dan intoleransi.

Langkah itu berhasil mendorong peraturan atau hukum untuk meninjau aturan hijab dan aturan pendanaan masjid yang dikaitkan alasan memerangi terorisme. Pada Mei 2022, Belanda juga membentuk komisi khusus atas permintaan parlemen nasional yang bertugas menginvestigasi akar dan penyebab insiden diskriminasi, kekerasan, dan intoleransi. 

“Saya berharap ilmu dari Indonesia membuat Istanbul Process lebih baik lagi. Ini proses yang perlu kita dukung bersama,” lanjut Bea.

Utusan Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kementerian Luar Negeri Kerajaan Belanda, Duta Besar Bea ten Tusscher.

Indonesia Terlibat Aktif

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) RI, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, mengatakan resolusi 16/18 merupakan usulan aktif dari 58 negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) bersama AS. Ketika resolusi disahkan, Siti menjabat sebagai ketua Komisi HAM OKI yang bermarkas di Jeddah, Arab Saudi. 

“Indonesia memiliki komitmen sangat kuat sejak awal resolusi ini dirumuskan sampai disampaikan ke Dewan HAM dan Majelis Umum PBB. Indonesia sangat terlibat aktif di dalamnya karena kita memiliki modalitas kuat yang terkandung dalam resolusi ini,” ujarnya.

Ruhaini menambahkan KSP juga melakukan kajian agar Resolusi 16/18 bisa memperkuat kembali toleransi dan harmoni di Indonesia. Presiden Joko Widodo juga memberi arahan agar Indonesia “menetapkan kembali” (reclaim) moderasi beragama sebagai identitas bangsa. 

“Ada satu hal penting bagaimana moderasi beragama dilakukan secara pedagogik. Oleh karena itu, Kementerian Hukum dan HAM dan Institut Leimena saat ini mendapatkan metode komprehensif untuk melakukan pendidikan toleransi lewat Literasi Keagamaan Lintas Budaya,” katanya.

Sementara itu, Duta Besar Keliling Amerika Serikat (AS) untuk Kebebasan Beragama Internasional, Rashad Hussain, menyatakan konstitusi AS memberikan kemerdekaan setiap orang untuk beragama dan mempraktikkan agamanya atau bahkan memilih tidak beragama. Selain itu, pemerintah AS memiliki peraturan perundangan tambahan untuk melindungi masyarakat dari diskriminasi.

“Misalnya ada pegawai dan pemberi pekerjaan menyatakan bahwa Anda tidak bisa beribadah selama bekerja, maka ada peraturan yang mencegah perusahaan/lembaga melakukan hal itu,” kata Rashad yang merupakan seorang Muslim minoritas di AS.

Rashad juga menyinggung undang-undang anti-penistaan agama yang dinilainya bukan ide baik karena justru memupuk lebih banyak lagi penistaan atau ujaran kebencian. Rashad mengapresiasi program Literasi Keagamaan Lintas Budaya oleh Institut Leimena yang justru berfokus kepada pendidikan sebagai akar masalah penistaan agama.

“Alih-alih mengkriminalkan, kita coba mengatasi akar intoleransi dengan meningkatkan pendidikan, program pertukaran, kerja sama antar pemerintah, dan melindungi tempat ibadah,” lanjutnya. [IL/Chr]