Para peserta The Asian Perspectives on Human Dignity Conference yang terdiri dari para pakar dari berbagai negara di Asia dan sejumlah mahasiswa Brigham Young University (BYU) Hawaii.
Jakarta, LKLB News – Penguatan martabat manusia menjadi fokus pembahasan para perwakilan dari berbagai negara dalam The Asian Perspectives on Human Dignity Conference (Konferensi Perspektif Asia tentang Martabat Manusia) yang diadakan oleh Religious Freedom and Human Dignity (RFHD) Initiative Brigham Young University (BYU) Hawaii, bekerja sama dengan the International Center of Law and Religion BYU Law School pada 17-18 April 2023.
Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho, bersama Senior Fellow Institut Leimena, Dr. Maruarar Siahaan, hadir sebagai narasumber dari Indonesia. Konferensi tersebut digelar dalam rangka memperingati 75 tahun adopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (DUHAM PBB) sekaligus The Punta del Este, yakni Deklarasi Martabat Manusia untuk Setiap Orang di Mana Saja.
“Istilah ‘dignity’ (martabat) termuat dalam kalimat pertama Deklarasi Universal HAM PBB, demikian pula menjadi kalimat pertama Deklarasi Punta del Este tahun 2018 bahwa harkat dan martabat yang sama bagi setiap orang adalah prinsip dasar HAM dan mengingatkan kita bahwa setiap orang bernilai dan layak dihormati,” kata Matius.
Matius membawakan materi berjudul “Building Competencies, Skills, and Ecosystem through Cross-Cultural Religious Literacy to Promote Human Dignity” (Membangun Kompetensi, Keterampilan, dan Ekosistem melalui Literasi Keagamaan Lintas Budaya untuk Memajukan Martabat Manusia). Sedangkan, Maruarar yang merupakan mantan Hakim Konstitusi, menjelaskan tentang “The Universality of Human Dignity and Human Rights: Indonesia Experience” (Universalitas Martabat Manusia dan HAM: Pengalaman Indonesia).
Matius mengatakan pemahaman tentang HAM bisa berbeda-beda khususnya dalam masyarakat yang sangat religius dan majemuk. Persoalan riil yang kadang muncul adalah masyarakat berada dalam pilihan antara Konstitusi atau teks-teks suci keagamaan.
Matius mengutip pendapat Direktur Pusat Internasional untuk Studi Hukum dan Agama BYU, Dr. Brett G. Scharffs, bahwa HAM terlalu dipolitisasi di dunia saat ini dan tidak cukup luas dipandang sebagai hal yang benar-benar universal. Deklarasi Punta del Este bertujuan mengatasi masalah tersebut dengan menekankan banyak cara bahwa martabat manusia adalah konsep yang berguna.
“Terkait hal itu saya menjelaskan tentang program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) di Indonesia,” ujarnya.
Senior Fellow Institut Leimena, Dr. Maruarar Siahaan, hadir bersama Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, untuk menyampaikan perspektif Indonesia tentang martabat manusia.
Relasi dan Kolaborasi
Matius menjelaskan program LKLB yang sedang dikerjakan oleh Institut Leimena bersama berbagai mitra dari dalam dan luar negeri, merupakan sebuah upaya untuk membantu berbagai kalangan berbeda secara agama dan kepercayaan agar bisa saling membangun relasi dan kolaborasi bersama sebagai sesama manusia.
Program LKLB, ujar Matius, didasarkan oleh konsep penting yaitu covenantal pluralism sebagaimana telah dicontohkan oleh bangsa Indonesia sendiri yang memiliki kovenan untuk bersatu sebagai bangsa dalam wujud Sumpah Pemuda, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia tidak mencampuradukkan perbedaan yang ada, sebaliknya menghargai setiap perbedaan, serta memilih untuk bersatu berdasarkan kesepakatan yang sama.
Menurut Matius, kovenan bisa terbentuk jika ada rasa saling percaya (trust) yang diawali dengan pengenalan. Program LKLB memfasilitasi orang dari kelompok agama berbeda untuk saling mengenal lebih jauh dan selanjutnya mampu bekerja sama.
“Ini salah satu sumbangsih besar dari program LKLB bagaimana program ini menegakkan dan memperkuat martabat manusia. Meskipun berbeda agama dan kepercayaan, namun bisa membangun relasi sebagai sesama manusia,” ucapnya.
Sementara itu, Dr. Maruarar menyampaikan harkat dan martabat manusia menuntut kesamaan perlakuan karena kodrat sebagai manusia tidak melihat asal usul budaya, kebiasaan, maupun agamanya. Setiap orang berhak untuk diperlakukan sebagai manusia yang memiliki martabat yang menuntut diperlakukan sama yang satu dengan yang lain.
Pembukaan UUD 1945 secara eksplisit menyebut kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Dasar negara Indonesia yang merdeka dibentuk bukan berdasarkan pada agama tertentu, melainkan negara kebangsaan yang berdasarkan ketuhanan dan perikemanusiaan yang adil dan beradab.
“Harkat martabat manusia adalah bersifat universal, dan sama yang diperoleh karena kedudukan sebagai manusia mahluk ciptaan Tuhan,” kata Maruarar.
Suasana sesi The Asian Perspectives on Human Dignity Conference
Konferensi Perspektif Asia tentang Martabat Manusia menghadirkan para perwakilan antara lain dari Indonesia, Tiongkok, Jepang, Vietnam, Korea, Mongolia, dan Bangladesh untuk menyampaikan presentasi dan diskusi tentang martabat manusia dalam berbagai konteks di negara masing-masing. Sesi pembukaan disampaikan oleh Dr. Brett G. Scharffs dan Wakil Presiden Akademik sekaligus Profesor dan Kepala Departemen Sejarah BYU-Hawaii, Isaiah Walker.
Secara keseluruhan, konferensi tersebut berdampak pada mereka yang hadir karena membantu menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita dapat meningkatkan rasa hormat terhadap martabat manusia sebagai nilai kemanusiaan universal?”
Presentasi dari konferensi tersebut direncanakan akan disusun menjadi sebuah buku sehingga bisa membantu negara-negara yang berjuang untuk meningkatkan martabat manusia dan kebebasan beragama dalam skala global. [IL/Chr]