Saya memang orangnya tidak mudah mengambil kesimpulan, men-judge (menghakimi) orang seperti apa. Tapi saya justru kemudian menggali.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti

Jakarta, 21 Desember 2021 – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed. mengingatkan pentingnya perjumpaan dan dialog dalam memperkuat literasi keagamaan lintas budaya. Kalangan pendidik, baik sebagai guru, pemimpin agama, tokoh masyarakat, atau aktivis keagamaan, perlu bersikap terbuka untuk mendengarkan dan belajar dari orang-orang yang berbeda.

Prof Mu’ti menceritakan pengalamannya saat berjumpa dengan tokoh-tokoh lintas agama di sejumlah negara, antara lain pemeluk agama Katolik, Hindu, Yudaisme, bahkan Jainisme, Baha’i, dan Zoroastrianisme.

“Saya pribadi setiap kali bertemu dalam forum-forum lintas agama di tingkat dunia, merasakan bagaimana yang saya pelajari itu tidak cukup. Banyak hal baru yang kita lihat dan perlu kita pelajari dari pertemuan, perjumpaan kita dengan masyarakat yang sangat berbeda,” kata Prof Mu’ti saat menyampaikan sambutan kunci pada Program Internasional Pelatihan Guru Madrasah dan Pesantren untuk Literasi Keagamaan Lintas Budaya.

Program tersebut merupakan kerja sama Institut Leimena dengan Maarif Institute, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, RBC Institute A Malik Fadjar, dan Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah, yang telah diikuti oleh 4 angkatan dengan jumlah peserta 742 orang.

Prof Mu’ti mengakui proses interaksi atau perjumpaan (encounter) tidak selalu mudah, namun justru menjadi kunci untuk pengembangan literasi keagamaan seseorang. Pasalnya, dunia berkembang sangat dinamis serta semakin minim sekat jarak dan waktu, sehingga pertemuan dengan orang dan kelompok berbeda menjadi keniscayaan.

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu mengisahkan pertemuannya dengan pemeluk agama Hindu saat berada di Bali untuk mengikuti kelas persiapan ke Australia. Teman Hindu tersebut menilai adanya kesamaan antara umat Hindu dan Islam.

“Saya tanya, ‘samanya dimana?’ Dia menjawab, ‘sama-sama menyembah patung. Bedanya orang Islam patungnya berupa Ka’bah, kalau kami berupa patung-patung. Nah itu striking me, membuat saya tersentak dengan pemahaman itu,” ujar Prof Mu’ti.

Alih-alih merasa tersinggung, Prof Mu’ti justru menyelami lebih dalam pemahaman orang tersebut. Dia menanyakan konsep Ketuhanan dalam agama Hindu, sekaligus menjelaskan pemaknaan sholat menghadap Ka’bah kepada orang tersebut.

“Saya memang orangnya tidak mudah mengambil kesimpulan, men-judge (menghakimi) orang seperti apa. Tapi saya justru kemudian menggali,” ujar Prof Mu’ti.

Ilustrasi Literasi Keagamaan Lintas Budaya (sumber: iStock)

 

Pengalaman di Inggris

Prof Mu’ti juga menceritakan pengalamannya saat mengikuti kursus singkat di Inggris dimana pertama kalinya dia bertemu orang Yahudi serta mengujungi sinagoge. Dia memanfaatkan perjumpaan tersebut untuk menanyakan berbagai hal terkait ajaran Yahudi termasuk atributnya seperti kippah (topi berbentuk setengah bola) dan Bintang Daud (Star David).

Dia baru mengetahui bahwa pemakaian tutup kepala adalah cara umat Yahudi untuk menjaga kesucian diri, terutama saat akan masuk ke sinagoge. Umat Yahudi juga sangat disiplin soal waktu dan makanan, sehingga selalu meminta makanan khusus dalam setiap forum internasional.

Saat perjalanan ke Frankfurt, Jerman, Prof Mu’ti bertemu dengan dua penganut Yahudi yang selalu memakai topi dan berjenggot panjang. Sosok “jenggot panjang” juga dilihatnya dari rohaniwan Gereja Ortodoks Rusia.

“Jadi jangan dikira yang brewokan itu Sunnah Nabi. Tidak juga, mereka juga jenggotnya panjang-panjang,” kata Prof Mu’ti sambil berkelakar.

Prof Mu’ti juga pernah mengikuti pertemuan kerja sama umat Islam dan Yahudi di Masjid Al-Hikmah, Den Haag, Belanda. Masjid tersebut ternyata bekas gereja yang dibeli oleh umat Islam di sana.

“Gereja itu sudah tidak berfungsi karena tidak ada jemaatnya, maka dijual oleh pendetanya. Kenapa umat Islam membeli gereja itu? Supaya tidak mengajukan izin. Kalau mendirikan baru harus izin dan prosesnya sangat sulit. Tapi kalau membeli sekolah, pabrik, atau gereja, mudah sekali. Tinggal dialihfungsikan saja, apalagi ketika alih fungsinya sama untuk kepentingan keagamaan,” ujar Prof Mu’ti.

Prof Mu’ti menegaskan 3 alasan yang mendasari pentingnya peningkatan literasi keagamaan. Pertama, kesadaran bahwa kita hidup dalam masyarakat majemuk (multikultural dan multireligius). Kedua, pertemuan dengan orang berbeda seharusnya semakin mendorong seseorang mendalami agamanya. Ketiga, perkembangan teknologi membuat anak-anak kini tidak lagi hidup dalam “alam hampa”, sehingga membutuhkan bimbingan orangtua dalam pemahaman keagamaan.

“Inilah mengapa program yang digagas Institut Leimena bersama Maarif Institute dan berbagai pihak menjadi bagian dari upaya kita senantiasa memperbarui dan menyegarkan pengalaman mengenai agama kita, serta mengenal orang-orang di sekitar kita,” ujar Prof Mu’ti. (IL/Chr)