Senior Fellow Institut Leimena (IL), Dr. Alwi Shihab, menjadi narasumber dalam temu media IL bersama Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden dan Senior Fellow IL, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Wakil Bidang Pendidikan dan Pelatihan Masjid Istiqlal, Dr. Mulawarman Hannase, dan Direktur Eksekutif IL, Matius Ho di Jakarta, 10 Juni 2024.

Jakarta, LKLB News – Sebanyak 8.055 pendidik dari 37 provinsi di Indonesia telah lulus sebagai alumni pelatihan Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diadakan oleh Institut Leimena dan 32 mitra lembaga pendidikan dan keagamaan selama kurun waktu sekitar 2,5 tahun. Pelatihan LKLB membekali para pendidik di Indonesia, yang terdiri dari guru sekolah/madrasah dan penyuluh agama, agar memiliki kompetensi dalam membangun toleransi dan kolaborasi damai lintas agama.

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menyampaikan dalam situasi dunia yang semakin terpecah belah dan terpolarisasi maka dibutuhkan adanya pendekatan pendidikan yang menekankan kepada penguatan kerja sama dan solidaritas. Itu sebabnya, program LKLB menjadi sangat signifikan terutama bagi para guru sebagai pemeran utama dalam dunia pendidikan.

“Literasi Keagamaan Lintas Budaya adalah upaya kita bersama untuk membangun rasa saling percaya antar penganut agama berbeda. Ini adalah modal sosial untuk kemajuan bangsa Indonesia,” kata Matius Ho dalam acara temu media yang diadakan di Jakarta, Senin (10/6/2024).

Matius mengatakan LKLB merupakan penguatan dari dialog lintas agama karena tidak hanya bertujuan saling membangun pemahaman dan toleransi, tetapi juga mendorong kerja sama lintas agama secara konkret. LKLB melatih pendidik untuk memiliki tiga kompetensi yaitu kompetensi pribadi, kompetensi komparatif, dan kompetensi kolaboratif.

Kompetensi pribadi artinya bagaimana umat beragama dapat memahami agamanya dengan baik dan bagaimana agamanya mengajarkan untuk memperlakukan orang yang berbeda dengan dirinya. Sedangkan kompetensi komparatif mendorong kita untuk memahami agama lain dari sudut pandang pemeluk agama itu sendiri.

“Saya perlu memahami agama yang berbeda dari kacamata pandangan dari si penganut agama itu sendiri. Jadi kalau saya ingin memahami Islam, maka saya perlu bertanya pada Pak Alwi Shihab, bukan mencari dari buku orang Kristen yang bicara mengenai Islam, karena nanti tidak tepat bahkan bisa negatif,” kata Matius.

Program LKLB yang dimulai sejak bulan Oktober 2021 berkembang sangat positif dengan total peserta pelatihan mencapai 9.969 pendidik. LKLB telah dikenal sebagai contoh pendekatan pendidikan dari Indonesia untuk membangun kohesi sosial. Institut Leimena menggandeng berbagai mitra dalam pelaksanaan program LKLB antara lain 20 lembaga Islam, 7 institusi Kristen, dan kemitraan baru dengan umat Buddha, lembaga Hindu, dan Konghucu.

Para awak media mendengarkan penjelasan dari para narasumber.

Senada dengan itu, Senior Fellow Institut Leimena sekaligus Mantan Menteri Luar Negeri dan Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Dr. Alwi Shihab, mengatakan program LKLB melatih para guru untuk mengembangkan interaksi harmonis, saling menghormati, dan kolaborasi positif lintas agama.

“Guru berada di garda terdepan untuk melindungi komunitasnya dari pengaruh intoleransi beragama dan ekstremisme. Sayangnya, kita mengamati bahwa meningkatnya radikalisme di lembaga-lembaga pendidikan dikaitkan dengan model penafsiran, pemahaman, dan pengajaran, serta aliran pemikiran tertentu,” kata Alwi Shihab yang juga Senior Fellow Institut Leimena.

Alwi menambahkan intoleransi masih tumbuh subur di Indonesia bukan semata disebabkan kebencian, melainkan karena kesalahpahaman ajaran agama. Itu sebabnya, LKLB menjadi semakin penting untuk disampaikan kepada guru agar bisa meneruskan kepada para siswa sebagai calon pemimpin bangsa di masa depan.

“Apabila mereka tidak dilengkapi dengan pengetahuan yang baik, maka dia bisa menjadi pemimpin yang intoleran. Tentu saja, toleransi itu bukan saja di bidang keagamaan, tetapi juga dibidang politik, sosial budaya dan lainnya,” ujar Alwi.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI dan Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin.

Senada dengan itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI dan Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, membenarkan bahwa masyarakat Indonesia seolah-olah bangsa terbuka dan toleran, tetapi kenyataanya seringkali terjadi gesekan di bawah. Persoalannya bukan kepada adanya kebencian, namun ketidakpahaman terhadap ajaran agama.

“Kesalahpahaman atau ketidakpahaman ini memicu intoleransi, yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dialami negara-negara Islam di dunia. Untuk itu, perlu ada pedagogi yang memuat kurikulum tentang moderasi beragama, dan di sinilah pentingnya LKLB,” kata Ruhaini.

Menurutnya, toleransi tidak bisa hanya diajarkan secara kognitif, tetapi harus menyentuh sebagai tindakan sehingga LKLB sangat tepat masuk dalam proses pembelajaran. LKLB mampu memberikan guru pengalaman langsung tentang keberagaman lewat perjumpaan dan dialog dengan orang yang berbeda agama, termasuk bisa menanyakan secara mendalam tentang ajaran agama yang berbeda.

“LKLB menjadi pedagogi yang sangat tajam untuk melandaskan moderasi beragama yang masih bersifat konseptual,” ujar Ruhaini. [IL/Chr]