Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Alkhairaat, Dr. Abdul Gafar Mallo, saat menyampaikan pidato sambutan dalam pembukaan workshop Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Palu, Sulawesi Tengah.

Jakarta, LKLB News – Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Alkhairaat, Palu, Sulawesi Tengah, Dr. Abdul Gafar Mallo, berencana untuk mengintegrasikan Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) ke dalam mata kuliah. Pasalnya, lembaga pendidikan keagamaan penting untuk semakin mengembangkan pembelajaran ke arah interaksi lintas agama sebagaimana didorong dalam materi-materi LKLB.

“Kita berharap ke depannya, pengembangan lembaga pendidikan khususnya pendidikan keagamaan tentu tidak hanya berbasis teks-teks keagamaan, tetapi bisa ada interaksi,” kata Dr. Abdul Gafar saat membuka workshop penyusunan program dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diikuti 39 guru di bawah yayasan pendidikan Alkhairaat pada 13-15 Oktober 2022 di Palu.

Abdul Gafar mengatakan pelatihan dan workshop LKLB membuka pemahaman guru tentang pentingnya interaksi antar agama. Dia mengingat tragedi konflik Poso di Sulawesi Tengah pada akhir 1998 sampai sekitar tahun 2000/2001, sangat melekat sebagai peristiwa kelam bangsa. Menurutnya, semua pihak berharap, LKLB bisa menjadi kerangka khususnya bagi lembaga pendidikan untuk membangun harmoni dengan Tuhan dan orang lain yang berbeda agama.

“Fakultas agama memang secara khusus belum ada mata kuliah LKLB, tapi pelan-pelan kita mulai coba integrasikan. Nanti kita lihat di mata kuliah mana karena sudah ada beberapa teman dosen yang mengikuti kegiatan pelatihan,” kata Abdul Gafar.

Workshop LKLB yang diadakan di Palu merupakan kerja sama antara FAI Universitas Alkhairaat Palu, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, dan Institut Leimena. Panitia pelaksana workshop melibatkan sejumlah dosen FAI yaitu Neny Kurniati Lisfa (Wakil Dekan I), Dr. Muh. Haerullah (Wakil Dekan II), Muh Faisal (Wakil Dekan III), dan Min’anur (Kasubag Akademik). Sejumlah dosen FAI Universitas Alkhairaat juga terlibat langsung dalam pelatihan LKLB sehingga sudah memahami konten tersebut dengan baik.

“Daerah Sulawesi Tengah ini, beberapa tahun silam, kalau saya ke Jakarta yang selalu ditanya, bagaimana Poso, Pak? Padahal di Sulteng ada 13 kabupaten/kota. Saya jawab, sudah aman. Tentu sudah aman,” ujarnya.

Dia menambahkan kegiatan LKLB bisa memainkan peran lebih besar dan luas untuk membangun interaksi lebih dalam dengan siapa pun. Kesadaran untuk membangun hubungan baik dengan mereka yang berbeda agama itulah yang bisa menumbuhkan harmoni di dalam masyarakat.

“Saya kira kerangka harmoni ini harus dibangun dalam pembelajaran,” lanjutnya.

Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Dr. Inayah Rohmaniyah.

Mahasiswa Baru Terpapar Radikalisme

Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Dr. Inayah Rohmaniyah, mengatakan guru merupakan agen perubahan dalam masyarakat, termasuk dalam menjaga kehidupan berbangsa yang majemuk. Inayah menyebut hasil penelitian UIN Sunan Kalijaga sekitar 3-4 tahun lalu ditemukan bahwa 11% mahasiswa baru yang masuk ke Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, telah terpapar radikalisme.

“Bukan hanya itu, bisa dilihat di media, bagaimana kekerasan terjadi di sekolah. Bukan hanya kekerasan fisik, tapi juga kekerasan seksual dan radikalisme di sekolah. Ada apa dengan ini semua?” kata Inayah yang juga menjadi fasilitator workshop LKLB.

Inayah mendorong para guru bukan sekadar mentransfer ilmu kepada para siswa. Guru harus bisa melakukan transformasi diri agar mampu mentransformasi para murid. Artinya, guru memiliki tuntutan lebih berat dan konkret untuk mendorong perubahan di dalam masyarakat.

Dia mengkritisi pendidikan Indonesia yang hanya melihat dalam perspektif tunggal dan mengedepankan low order of thinking. Kondisi itu rentan membentuk karakter peserta didik yang labil serta tidak mampu berpikir secara objektif dan komprehensif.

“Problem pendidikan kita salah satunya mentradisikan ‘cara berpikir rendah’, tidak membiasakan nalar kritis, sehingga anak-anak mudah marah, gampang melakukan kekerasan, gampang disulut, dan tidak bisa berpikir luwes atau kaca mata kuda. Di sini peran guru luar biasa,” kata Inayah.

Menurutnya, workshop LKLB difokuskan kepada penyusunan RPP dan program karena nantinya akan bermanfaat secara berkelanjutan untuk sekolah. Guru juga dilatih agar terbiasa memasukkan nilai-nilai LKLB ke dalam mata pelajarannya.

“Bapak ibu bisa saja pensiun, tapi RPP tidak pernah pensiun karena merupakan sistem yang akan melembagakan idealisme kita,” ujar Inayah.

Para peserta dan fasilitator workshop LKLB di Palu, Sulawesi Tengah.

Bertemu Prof Lukman Tahir

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan program LKLB berfokus kepada guru sebagai tokoh penting untuk menjaga dan mengembangkan wajah Indonesia ke depan. Di awal pengembangan program LKLB, Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Alwi Shihab, yang menjembatani kerja sama antara Institut Leimena dan Universitas Alkhairaat.

“Sering kali Indonesia ini dijaga oleh orang-orang seperti bapak dan ibu yang kadang tidak selalu tampak di luar, tapi bekerja luar biasa di lapangan,” kata Matius.

Setiba di Palu, Matius sempat bersilaturahmi dengan Sekretaris Yayasan Alkhairaat, Prof Lukman Tahir, yang membahas dua hal terkait LKLB. Pertama, Indonesia memiliki konsensus atau kesepakatan bangsa yaitu Pancasila yang didahului oleh Sumpah Pemuda. Kesepakatan untuk bersatu menunjukkan tokoh-tokoh muda Indonesia sangat visioner mengingat saat itu belum terbentuk negara Indonesia.

“Anak-anak muda ini punya visi luar biasa. Mereka bisa memikirkan, menyepakati sesuatu yang belum ada, bahkan tidak tahu bahwa 17 tahun kemudian pada 1945, Indonesia akan merdeka,” kata Matius.

Sekretaris Yayasan Pendidikan Alkhairaat sekaligus Guru Besar Bidang Filsafat dan Pemikiran Islam di Universitas Islam Negeri Datokarama Palu, Prof. Lukman Tahir (kedua dari kiri) bersama Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho (paling kanan), Koordinator Program Alumni Institut Leimena, Daniel Adipranata (paling kiri), dan Dr. Inayah Rohmaniyah.

Matius mengatakan hal kedua yang dibahas bersama Prof Lukman adalah keprihatinan meningkatnya politik identitas dan polarisasi/perpecahan terutama menjelang Pemilu 2024. Ancaman itu bukan fenomena lokal di Indonesia, tetapi dialami pula oleh banyak negara lain.

Berdasarkan survei dari Pew Research Center di 17 negara ekonomi kuat, persepsi polarisasi sangat tinggi disebabkan beberapa faktor utama seperti prevalensi politik atau partai politik, suku, dan agama. Kemajuan media sosial juga berdampak kepada rentannya perpecahan antar masyarakat.

“Media sosial mempunyai efek karena saat kita membuka Twitter, Instagram, dan lainnya, pasti ada artificial intelligence yang bisa membaca profil kita sehingga iklan atau informasi yang ditawarkan sesuai kesukaan kita. Tujuan sebenarnya ekonomi, tapi punya efek samping preferensi politik, agama, atau suku tertentu,” ujar Matius.

Matius mengharapkan program LKLB menjaga kesepakatan Indonesia untuk selalu bersama di tengah ragam perbedaan. Institut Leimena sendiri berasal dari nama Dr. Johannes Leimena yaitu tokoh Sumpah Pemuda dan orang kepercayaan Presiden I RI, Soekarno. Dr. Leimena pernah menjadi Wakil Perdana Menteri Indonesia dan Menteri Kesehatan.

“Semoga apa yang kita bisa lakukan bersama melalui LKLB ini pada akhirnya bisa diteruskan kepada anak-anak didik, generasi penerus bangsa,” ujarnya. [IL/Chr]