Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menjelaskan tentang Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang sedang dikembangkan oleh Indonesia di hadapan sejumlah diplomat dari Indonesia dan Belanda, diaspora Indonesia di Belanda, serta masyarakat setempat dalam Dialog Lintas Agama yang diadakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag, Belanda.
Den Haag, LKLB News – Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag, Belanda, mengadakan Dialog Lintas Agama ke-9 yang dihadiri oleh sejumlah pejabat pemerintahan, pimpinan lembaga, akademisi, serta tokoh media dan pemuda dari Belanda dan Indonesia. Dialog bertemakan “Literasi Iman untuk Mempromosikan Saling Percaya, Toleransi, dan Keberagaman: Inklusi Pemuda dan Peran Penting Media” tersebut dibuka oleh Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, Mayerfas, dan Kepala Divisi Selatan dan Asia Tenggara Kementerian Luar Negeri Kerajaan Belanda, Annemarie van der Heijden.
Dalam sambutan kunci yang disampaikan secara daring, Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Siti Nugraha Mauludiah, menyatakan masyarakat berada dalam tantangan dinamika geopolitik dimana intoleransi semakin meningkat dan politik nasional berlebihan mempersempit ruang toleransi, Di belahan dunia tertentu, terjadi peningkatan gerakan nasionalis dan sikap anti-migrasi, sebaliknya penerimaan terhadap perbedaan semakin menurun.
“Kita memang perlu membangun literasi keagamaan lintas budaya dan kolaborasi multi-agama berdasarkan inklusivitas. Komunikasi dan kerja sama dengan orang-orang dari agama dan budaya berbeda menjadi lebih penting dari sebelumnya,” kata Siti kepada audiens yang hadir dalam Dialog Lintas Agama di Aula KBRI Den Haag, Selasa (14/5/2024).
Dialog Lintas Agama ini melibatkan sekitar 10 pembicara termasuk Direktur Eksekutif Institut Leimena sebagai satu-satunya narasumber dari Indonesia yang hadir langsung di KBRI Den Haag untuk menyampaikan paparan berjudul “Literasi Keagamaan Lintas Budaya: Studi Kasus Indonesia Hidup Berdampingan Antaragama Secara Damai”. Dari pemerintah Belanda, sambutan kunci disampaikan oleh Utusan Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kemlu Kerajaan Belanda, Bea ten Tusscher.
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI, Siti Nugraha Mauludiah, menyampaikan sambutan via Zoom.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, sebagai pembicara pertama dalam dialog tersebut, menegaskan pentingnya peran masyarakat dalam upaya membangun toleransi. Dia mengutip pernyataan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa, Volker Turk, dalam sesi ke-55 Dewan HAM PBB pada 8 Maret 2024, yang sangat merekomendasikan inisiatif kemasyarakatan yang efektif untuk membangun masyarakat dimana ekspresi kebencian telah menjadi tidak bisa diterima secara sosial sehingga membutuhkan literasi iman inklusif.
“Program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) di Indonesia adalah contoh inisiatif kemasyarakatan untuk mempromosikan literasi iman yang inklusif,” kata Matius.
Itu sebabnya, ujar Matius, Institut Leimena menggandeng berbagai lembaga dalam pelaksanaan program LKLB, yang saat ini sudah mencapai sedikitnya 25 mitra lembaga pendidikan, keagamaan, bahkan pemerintah. Dia mengatakan program LKLB sendiri menjadi contoh kolaborasi multi-agama yang melibatkan 20 lembaga Islam, 7 institusi Kristen, dan kemitraan baru sedang dalam proses dengan umat Buddha, lembaga Hindu, dan Konghucu.
“Program literasi keagamaan lintas budaya ini kami mulai akhir 2021, awalnya kepada guru madrasah, namun saat ini sudah meluas kepada guru agama lain dengan jumlah alumni pelatihannya mencapai hampir 8.000 guru dari 37 provinsi di Indonesia,” kata Matius.
Para peserta dan pembicara Dialog Lintas Agama ke-9 di KBRI Den Haag, Belanda.
Peran Aktor Non-Negara
Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kemlu RI, Siti Nugraha menambahkan Dialog Lintas Agama antara Indonesia dan Belanda yang dimulai sejak tahun 2006 atau selama 18 tahun terakhir, telah berkembang dari platform yang digerakkan pemerintah menjadi platform yang lebih berbasis komunitas. Forum ini juga semakin memberikan partisipasi lebih luas dan peran utama aktor non-negara dalam dialog. Di sisi lain, dia berharap Dialog Lintas Agama Indonesia dan Belanda dapat mengarah pada kemungkinan proyek nyata berbasis komunitas khususnya mengenai moderasi beragama di Indonesia.
Menurutnya, tujuan utama Dialog Lintas Agama, ketika pertama kali diperkenalkan oleh Kemlu RI tahun 2004 adalah meningkatkan toleransi beragama dan saling pengertian antar umat beragama tentang pentingnya hidup rukun dan damai. “Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun tanggung jawab semua orang,” ucap Siti.
Siti menegaskan pemain utama Dialog Lintas Agama adalah aktor non-negara seperti pemimpin agama, akademisi, pemuda, lembaga pemikir, media, dan komunitas akar rumput. Peran mereka dalam menjembatani pemahaman, toleransi, dan persatuan di antara orang-orang yang berbeda keyakinan sangatlah penting.
“Pemerintah adalah fasilitator yang meletakkan landasan dan jalan. Pemerintah harus mendukungnya, sedangkan rakyat yang menjadi aktor, pemainnya,” ujarnya.
Utusan Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kementerian Luar Negeri Kerajaan Belanda, Bea ten Tusscher, memuji inisiatif LKLB di Indonesia.
Utusan Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kemlu Kerajaan Belanda, Bea ten Tusscher, memuji Indonesia yang mempromosikan dialog lintas agama di semua tingkatan, terutama Asia, tetapi juga di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
“Saya melihat peran besar Indonesia dalam mempromosikan dialog lintas agama di seluruh dunia karena Anda memiliki banyak pelajaran untuk dibagikan kepada negara lain,” kata Bea.
Dubes Bea menyebut dirinya merasa sangat terkesan saat hadir dalam Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diadakan Institut Leimena bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada November 2023 yang dihadiri perwakilan negara-negara asing, pejabat pemerintah, termasuk menteri.
“Indonesia patut bangga dengan apa yang telah diraihnya dan mau berbagi. Kami sebagai orang Belanda masih bisa belajar dari Anda. Hal ini semakin dibutuhkan di dunia yang penuh dengan intoleransi, provokasi, dan proliferasi,” kata Bea.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda, Mayerfas.
Dubes RI untuk Kerajaan Belanda, Mayerfas, menyampaikan keberagaman agama dan budaya di Indonesia sudah teruji sejak awal keberadaannya. Indonesia telah menerapkan pengendalian diri atau toleransi, bekerja sama, dan hidup berdampingan secara damai.
“Seringkali akar penyebab kesalahpahaman dan ketidaktahuan mengesampingkan prinsip inti kesetaraan, solidaritas, dan yang terpenting, kemanusiaan,” kata Mayerfas.