Oleh Sunarwan

Bung Karno mengingatkan bahwa tiap-tiap negara merdeka bukan berarti nationale staat. Demikian pula bukan semua negeri di tanah air kita yang merdeka di zaman dahulu adalah nationale staat. Diingatkannya bahwa bangsa ini hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan Majapahit. Di luar itu, bangsa ini tidak mengalami nationale staat. Meskipun merdeka, Mataram bukanlah nationale staat. Kerjaan Pajajaran juga bukanlah nationale staat. Prabu Sultan Agung Tirtayasa dengan kerajaannya di Banten meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis yang merdeka itu bukan satu nationale staat. (Wawan Tunggul Alam, 2002). Nationale staat menurut Bung Karno adalah keseluruhan wilayah Indonesia saat ini yang sebagaimana telah ada sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit, dengan berbagai kultur, budaya, etnis dan bahasanya menyatu dalam kesatuan yang utuh.

Cinta tanah air menjadi prasyarat atas keberlangsungan sebuah negara. Sayid Muhammad mendefinisikan tanah air (al-wathan) sebagai tanah di mana kita lahir dan tumbuh berkembang di sana, memanfaatkan tumbuhan dan binatang ternaknya, mencecap air dan udaranya, tinggal di atas tanah dan di bawah kolong langitnya, serta menikmati berbagai hasil bumi dan lautnya sepanjang masa. Semua fasilitas tersebut membuat manusia menyerahkan jiwa, raga dan harta bendanya untuk mengabdi pada tanah airnya dengan mendatangkan kebaikan, mengembangkan perekonomian dan memajukannya. (Al-Sayyid Muhammad dalam Lanny Octavia, 2014). Jika seseorang mencintai tanah airnya, ia akan senang jika tanah air tersebut dalam kondisi baik di semua dimensi: sosial, ekonomi, budaya, politik, ekologi dan sebagainya. Sebaliknya, ia akan merasa sedih dan prihatin jika tanah airnya dalam kondisi mengenaskan. Ia akan merasa prihatin manakala melihat interaksi social, politik bahkan ekonomi dan budaya di dalam masyarakat dipenuhi dengan hoaks, berita bohong, saling mencaci-maki,yang pada akhirnya akan meruntuhkan nilai-nilai luhur persaudaraan dan akhirnya akan melemahkan persatuan diantara anak bangsa.

Menurut Syekh Mustafa al-Ghulayaini, nasionalisme (al-wathaniyyah) adalah satu naluri manusia universal. Orang yang sungguh-sungguh mencintai tanah airnya akan membuktikannya dengan sikap dan perbuatan yang positif bagi tanah air dan penduduknya, misalnya dengan memajukan npendidikan dan ilmu pengetahuan yang menjadi kunci menuju kemerdekaan yang sejati yaitu kemerdekaan ekonomi dan politik. (Syaikh Musthafa al-Ghulayaini dalam Lanny Octavia, 2014).

Khazanah Nilai Cinta Tanah Air dari Pesantren

Para ulama pesantren telah merumuskan konsep persaudaraan yang terjalin antar sesama Muslim (ukhuwwah Islamiyyah), antar sesama anak bangsa (ukhuwwah wathaniyyah) dan antar sesama manusia (ukhuwwah basyariyyah atau ukhuwwah insaniyyah). Konsep persaudaraan ini dirumuskan oleh KH. Achmad Siddiq, pimpinan Pondok Pesantren as-Siddiqiyyah di Jember, Rais ‘Aam PBNU tahun 1984-1991 dan sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim pada tahun 1950. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian menyebarluaskan, memberi pemaknaan lebih mendalam dan menerapkan konsep tersebut dalam pergaulan sosial yang lebih luas, di mana seluruh ulama pesantren pun di kemudian hari pun ikut mengamini langkah tersebut.

Persaudaraan sebangsa dan senegara (ukhuwwah wathaniyyah) merupakan ruh bagi cinta tanah air. Para kiai pesantren menyadari bahwa bangsa Indonesia berasal dari berbagai suku, bahasa, adat-istiadat dan agama serta keyakinan/kepercayaan, dan meskipun berbeda-beda, mereka semua saling bersaudara. Sebagai saudara sebangsa, kalangan pesantren tidak memusuhi perbedaan atau mereka yang dipandang berbeda, karena bangsa ini dibangun secara bersama-sama. Pesantrenpun menunjukkan kecintaan terhadap tanah air dengan turut serta dalam perjuangan meraih kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. (Lanny Octavia, 2014). Bahkan sejarah mencatat perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Surabaya yang pada akhirnya melahirkan Hari Pahlawan adalah buah dari gerakan perlawanan santri dalam hal ini pesantren dan semua komponen bangsa yang disemangati dan dikobarkan dengan Fatwa Resolusi Jihad oleh Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dari Pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang, Rais Akbar Nahdlatul Ulama.

Kesetaraan dalam Agama dan Keindonesiaan

Kesetaraan merupakan hal yang tidak terelakan dalam negara bangsa yang multikultur seperti Indonesia. Perbedaan warna kulit, bahasa, jenis kelamin, suku, ras, agama, budaya, dan golongan adalah kehendak Allah SWT yang tak mungkin bisa dinafikan manusia. Kemajemukan Indonesia adalah fitrah, sebagaimana halnya dengan kodrat penciptaan alam semesta dan seluruh isinya yang beraneka rupa. Perbedaan tidaklah ditujukan agar manusia saling berselisih, merendahkan atau menjatuhkan satu sama lainnya. Namun, supaya manusia saling mengenal, memahami dan melengkapi. Semua manusia memiliki kedudukan yang sama-setara-dihadapan Allah, dan satu-satunya pembeda adalah ketakwaannya. Dengan kata lain, kemuliaan seseorang tidaklah ditentukan oleh hitam-putih kulitnya, jenis kelaminnya, asal-usul keturunannya ataupun criteria fisik lainnya, melainkan oleh kualitas spiritualnya. (Lanny Octavia, 2014). Hal ini sebagaimana makna dari Q.S. al-Hujurat ayat 13.

Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, prinsip kesetaraan dilanjutkan oleh para penggantinya termasuk Khalifah Umar ibn al-Khattab. Di masa kepemimpinannya, Umar ibn al-Khattab memilih para pejabat dan pegawai pemerintahan berdasarkan kemampuan mereka, tanpa mempertimbangkan faktor kekerabatan, pertemanan dan kekayaannya. (Jabbar). Umar ibn al-Khattab juga menegakkan hukum tanpa pandang bulu, sebagaimana ia tunjukkan ketika menjatuhkan hukuman pada putra Amru ibn al-‘Ash. Pada saat itu, putra Amr ibn al-‘Ash yang kalah dalam lomba berkuda, memukul seorang penduduk Mesir dan berlindung di balik kedudukan ayahnya yang menjabat sebagai Gubernur Mesir kala itu. Umarpun memanggil Amru ibn al-‘Ash dan putranya, dan menegakkan qishash. Umar berkata, “Wahai ‘Amru, sejak kapan engkau memperbudak manusia? Padahal mereka terlahir dari rahim ibu mereka dalam keadaan merdeka.” Pandangan Umar ibn al-Khattab tentang kesetaraan dan kebebasan manusia tersebut bisa dikatakan melampaui zamannya, di mana perbudakan masih dianggap lumrah dan legal. Begitupun di bidang yang lain semua orang memiliki kesetaraan yang sama.

Kesetaraan dalam konteks keindonesiaan harus dimaknai dalam lintas agama dan keyakinan. Islam, sebagai agama rahmat, menjadi tolok ukur dalam mengimplementasikan kerahmatan tersebut lewat berbagai aspek dan tata nilai dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Islam sebagai Rahmat

Sejauh yang dapat ditelusuri dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, kita menemukan fakta-fakta historis bahwa prinsip-prinsip kemanusiaan Islam (baca: kerahmatan Islam) tidak hanya muncul sebagai wacana yang dikotbahkan Nabi SAW di mana-mana, melainkan juga telah menjadi sikap dan perilaku keseharian beliau dan para sahabat-sahabatnya. Bahkan, Tuhan sungguh-sungguh memberikan kesaksian atas perilaku pribadi Nabi SAW tersebut dan menyatakan sebagai akhlak yang paling luhur. (Muhammad, 2011). Fakta lain tentang kerahmatan Islam ditunjukkan oleh apa yang dikenal kaum Muslimin sebagai “Piagam Madinah” atau “Traktat Madinah” sebuah konstitusi yang dideklarasikan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah. Para sarjana hari ini sering menyebut Piagam ini merupakan traktat atau perjanjian konstitusional tentang hak-hak asasi manusia universal yang pertama di dunia.

Salah satu inti piagam ini menyatakan, “Orang Islam, Yahudi, dan warga Madinah yang lain, bebas memeluk agama dan keyakinan mereka masing-masing. Mereka dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah. Tidak seorangpun dibenarkan mencampuri urusan agama orang lain. Orang-orang Yahudi Madinah yang menandatangani (menyetujui) piagam ini berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan serta tidak diperlakukan zalim. Orang Yahudi bagi orang Yahudi dan orang Islam bagi orang Islam. Jika di antara mereka berbuat zalim (aniaya, melanggar hokum), hal itu akan menyengsarakan diri mereka sendiri dan keluarganya. Setiap penindasan dilarang. Mereka sama-sama wajib mempertahankan negerinya dari serangan musuh. (Muhammad, 2011).

Al-Qur’an menyatakan, diciptakan-Nya manusia berbeda suku bangsa untuk saling mengenal (lita’arafu). Keragaman menggerakkan persatuan. Keragaman juga merupakan sarana untuk kemajuan peradaban. Karena peradaban tercipta salah satunya dengan kekayaan sudut pandang dan intelektualitas banyak manusia dan perbedaan-perbedaan. Dengan saling mengenal perbedaan, kita bisa belajar membangun peradaban. Dengan saling tahu perbedaan, maka sikap saling menghargai dan menghormati akan terbangun, dan proses belajar akan tercipta. Kesalahpahaman sering terjadi karena kita belum saling mengenal keragaman di antara kita. Namun, tidak cukup interaksi hanya untuk mengenal yang lain, merekapun harus juga mengenal kita. Interaksi kedua belah pihak akan melahirkan tidak hanya simpati tapi juga empati. Kalau kita meminta orang lain memahami kita, maka pihak lainpun meminta hal yang sama. Langkah awalnya persis seperti pesan Al-Qur’an, saling mengenal. 

Para leluhur masyarakat Nusantara sejak berabad-abad lalu telah mencetuskan bahwa walaupun berbeda-beda, tetapi kita tetap satu (bhinneka tunggal ika). Semboyan tersebut bisa ditemukan dalam Kitab Sutasoma karya Empu Tantular yang ditulis abad ke-14 pada era Kerajaan Majapahit. Indonesia beruntung telah memiliki falsafah bhinneka tunggal ika sejak dahulu ketika negara Barat masih mulai memperhatikan tentang konsep keberagaman. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keberagaman. Warisan kebudayaan yang berasal dari masa-masa kerajaan Hindu, Buddha dan Islam tetap lestari dan berakar di masyarakat.

Atas dasar ini, para pendiri negara sepakat untuk menggunakan bhinneka tunggal ika yang berarti “berbeda-beda tapi tetap satu jua” sebagai semboyan negara. Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman dan perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama, dan berbagai perbedaan lainya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku dan agama semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang dengan mengambil peran masing-masing. 

Pandangan negara-bangsa (nation-state) harus terus dirawat dalam bingkai kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bermasyarakat satu prasyarat dalam menjaga dan mewujudkan berbangsa dan bernegara penuh toleransi, kedamaian, saling menghargai satu sama lainnya. Semua ini sejatinya harus dimulai dari lembaga pendidikan dimana kita masing-masing mengabdi bukan?

Kesetaraan dalam konteks keindonesiaan harus dimaknai dalam lintas agama dan keyakinan. Islam, sebagai agama rahmat, menjadi tolok ukur dalam mengimplementasikan kerahmatan tersebut lewat berbagai aspek dan tata nilai dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Profil Penulis

Sunarwan

Alumni LKLB Angkatan 5
Guru MIN 2 Kota Madiun, Jawa Timur

 

1 Comment

  1. Ahmad Yasin

    Alhamdulillaah…
    Pondasi pendidikan Islam adalah ibtidak Iyah, dari sanalah awal pengenalannya.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *