Associate Professor di Teachers College, Columbia University, Dr. Amra Sabic-El-Rayess, yang merupakan seorang Muslim penyintas perang Bosnia menceritakan kisahnya yang dituangkan dalam sebuah buku.

Jakarta, LKLB News – Associate Professor di Teachers College, Columbia University, Amerika Serikat, Dr. Amra Sabic-El-Rayess, menyatakan ujaran kebencian telah menjadi persoalan di seluruh dunia. Para pelaku yang terlibat dalam membangun narasi kebencian juga berisiko lebih tinggi untuk melancarkan tindakan kekerasan.

Amra merupakan seorang Muslim penyintas Perang Bosnia yang secara nyata mengalami aksi kebencian dan kekerasan yang ditargetkan. Saat ini, dia bekerja untuk memimpin program bertajuk Reimagine Resilience yang ditujukan membangun resiliensi atau ketahanan lewat pendidikan dalam rangka mencegah kebencian.

“Kami menemukan dari berbagai kelompok di seluruh konteks adalah radikalisasi biasanya dipicu di ruang-ruang sosial, khususnya di sekolah. Hal ini terjadi karena kurangnya pertukaran cerita, minimnya dialog, dan kurangnya kebebasan di ruang kelas,” kata Dr. Amra dalam webinar dalam rangka memperingati Hari Internasional untuk Melawan Ujaran Kebencian yang diadakan oleh Institut Leimena dan Maarif Institute, Selasa (27/6/2023).

Amra mengembangkan teori educational displacement yang mengungkapkan bahwa keterasingan di ruang atau fasilitas pendidikan bisa meningkatkan risiko seorang individu menjadi teradikalisasi. Mereka bisa merasa tidak terhubung, tidak didengarkan, atau tidak dilihat oleh para pendidik sebagai bagian dari suatu komunitas. Dari situlah, mereka mencari sumber-sumber alternatif sehingga kerap dimanfaatkan oleh tenaga radikalisasi.

Amra berupaya mengembangkan respons yang tepat dalam mengatasi keterasingan dalam pendidikan. Dia berangkat dari pengalaman pribadinya yang melarikan diri dari Perang Bosnia.

Kisah Amra untuk bertahan hidup selama 1.200 hari di bawah gempuran militer Serbia, tanpa akses dunia luar termasuk listrik dan makanan, dituliskannya dalam buku berjudul “The Cat I Never Named: A True Story of Love, War, and Survival”.

“Cerita ini menjadi cara saya mendidik generasi muda. Bagaimana saya memiliki ketahanan. Bahkan ketika dihadapkan dengan kebencian, kami membalas dengan rasa kasih sayang dan membangun komunitas yang tidak membalas kebencian,” lanjut Amra.

Dr. Amra menyampaikan pendekatannya untuk membangun resiliensi atas ujaran dan aksi kebencian yang berpotensi pada tindakan kekerasan.

Menentang Asumsi

Amra menegaskan pentingnya storytelling (bercerita) untuk mendorong kesadaran individu memproteksi diri. Menurutnya, sering terjadi masyarakat membuat asumsi tentang gambar, penampilan, atau keyakinan orang lain. Sebaliknya, jika kita menentang asumsi-asumsi tersebut maka kita otomatis menyediakan ruang untuk interaksi dan dialog sehingga bisa melindungi masyarakat kita dari kekerasan dan kebencian.

Storytelling berarti menumbuhkan dialog yang terbuka, interaksi, dan perencanaan untuk pencegahan kebencian. Selain itu, storytelling juga berarti pembangunan narasi untuk menumbuhkan kesadaran diri dan masyarakat,” katanya.

Amra menyebut gambar yang ditampilkan dari halaman depan bukunya adalah Desa Ahmici tahun 1993 dimana terjadi aksi pembantaian kepada ratusan warga sipil Bosnia-Herzegovina. Dalam periode genosida tersebut, dia mengatakan sekitar 80% masjid juga ikut dihancurkan.

Menurut Amra, riset menunjukkan bahwa kekerasan kultural adalah landasan utama dari segala bentuk kekerasan. Kekerasan kultural mencakup ujaran kebencian seperti merendahkan martabat seseorang, mendorong ekstremisme, merendahkan kemanusiaan, dan mengolok-olok suatu identitas tertentu.

“Kalau kita memfasilitasi kelompok etnis, ras, agama untuk diasingkan dalam ruang lingkup pendidikan, maka sebagai masyarakat kita berisiko lebih tinggi terpapar kekerasan,” ujarnya.

Teori educational displacement yang dikembangkan oleh Dr. Amra untuk mengatasi radikalisasi.

Sedangkan, kekerasan struktural merupakan kekerasan yang didukung oleh lembaga-lembaga negara yang bisa berujung kepada kekerasan secara langsung seperti yang terjadi dalam Perang Bosnia yaitu pembunuhan, genosida, dan pembersihan kelompok etnis.

“Hal-hal kekerasan langsung selalu diawali dengan narasi kebencian terhadap suatu kelompok atau identitas,” tandas Amra.

Hari Internasional untuk Melawan Ujaran Kebencian atau International Day on Countering Hate Speech diperingati setiap 18 Juni sesuai ketetapan dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Ujaran kebencian didefinisikan oleh PBB sebagai wacana ofensif yang menargetkan kelompok atau individu berdasarkan karakteristik melekat (seperti ras, agama, atau jenis kelamin) yang dapat mengancam perdamaian sosial. [IL/Chr]