Oleh Sayidah Sholihah

Pada tanggal 28 Maret sampai dengan tanggal 1 April 2022 adalah waktu pertama saya mengenal Lintas Keagamaan Lintas Budaya (LKLB). Dua pekan sebelumnya, saya mendapat mandat dari Ketua Majelis Pendidikan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah Kabupaten Purworej,o untuk mewakili guru Muhammadiyah di Purworejo mengikuti pelatihan LKLB. Pelatihan diadakan dengan cara webinar yang diselenggarakan oleh Institut Leimena dan Maarif Institute. Pelatihan ini dalam rangka program Peningkatan Kapasitas Guru Madrasah/Pesantren/ISMUBA dalam Literasi keagaamaan Lintas Budaya. 

Webinar saya ikuti dengan menyimak satu persatu narasumber memberikan materi dengan baik. Pengisi materi berasal dari dalam dan luar negeri. Di dalam webinar, disediakan terjemahan secara langsung, sehingga saya dapat mengikuti dengan baik. Saya termasuk peserta angkatan ke-15 pada tahun 2022. Setelah mengikuti program tersebut saya menjadi lebih paham tentang LKLB, dan lebih mengenal tentang agama dan budaya lain.

LKLB adalah hal yang baru bagi pemikiran saya. Saya yang dari kecil berada dalam lingkungan dengan satu agama dan satu suku, tidak pernah merasakan tentang perbedaan. Saya tumbuh dengan lingkungan yang beragama Islam dengan adat Jawa yang sama, sehingga di lingkungan tidak pernah ada yang membuat konflik antar agama suku dan ras. Hal ini dilanjutkan dengan lingkungan pendidikan saya yang masih dalam satu agama dan satu suku yaitu agama Islam dan suku Jawa. Pendidikan Taman kanak-kanak sampai jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) masih berada dalam satu agama dan suku yang sama.

Ketika saya menempuh pendidikan perguruan tinggi di Yogyakarta, saya baru merasakan pengalaman lintas budaya. Namun, pengalaman lintas agama belum saya rasakan, karena saya kuliah di perguruan yang seratus persen mahasiswanya adalah muslim. Di sini, saya belum banyak merasakan perbedaan karena masih satu lingkup yaitu agama Islam. Mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah memberikan saya cerita dan pemahaman bahwa mereka berbeda dengan saya selama ini, dan inilah yang membuat saya pertama mengenal lintas budaya.

Berteman dengan orang-orang dari berbagai suku, seperti suku Sunda, suku Palembang, dan suku lainnya, membuat saya lebih kenal tentang budaya mereka. Adat istiadat yang melahirkaan budaya sering saya diskusikan dengan teman-teman. Tidak hanya dari Sunda, tetapi juga ada dari daerah lain seperti suku Batak, Minang, Lombok, dan suku lain. Bercerita tentang sukunya masing masing, membuat saya banyak belajar dan menambah wawasan tentang keberagaman budaya di Indonesia. 

Keberagaman suku yang berbeda ini membekas di hati saya, sehingga tertanam tentang budaya suku lain. Semua wawasan yang saya punya dapatkan dari pengalaman itu, saya kantongi sebagai bekal saya hidup merantau. Ketika saya akan merantau, belum terpikirkan dengan siapa saya bergaul dan mempunyai lingkungan seperti apa. Di dalam benak saya, saya berpikir bahwa semua orang akan sama seperti saya, yang akan selalu menghormati orang lain, agama lain, suku lain, dan tidak ada diskriminasi, sebab pemahaman saya yang belum pernah menemukan satu keberagaman yang berbeda dan terjadi konflik.

Pada tahun 2003, saya menetap di Bekasi dan mempunyai rumah di sebuah perumahan membuat saya banyak beradaptasi. Mempunyai tetangga non-muslim, membuat saya agak sedikit canggung dalam bergaul. Namun, kebetulan tetangga kami mempunyai suku yang sama, yaitu suku Jawa. Hal tersebut membuat kami dapat berkomunikasi dengan baik, terutama karena sama-sama bisa mengobrol dengan bahasa Jawa. Sayapun merasakan hal yang tidak jauh dari kehidupan sebelumnya. Setelah beberapa tahun bertetangga akhirnya kami berpisah karena tetangga pindah tugas ke Jawa tengah. 

Setelah kepergian tetangga yang beragama Nasrani dan bersuku Jawa tersebut, saya mempunyai tetangga baru yang mengontrakdi rumah tersebut. Satu keluarga yang beragama Nasrani dan bersuku Ambon. Pertama menahu tentang tetangga baru, membuat hati saya ciut. Banyak cerita yang telah beredar tentang kehidupan tetangga ini, seperti sering bersalah paham dengan tetangganya. Saya tidak tahu salah siapa, tetapi saya juga tidak mau tahu banyak tentang kehidupan mereka sebelumnya. Saya mempunyai prinsip selagi saya baik dengan orang, pasti orang itu akan baik dengan saya, berdasarkan ayat alquran tentang tasamuh atau toleransi. Hal itu yang menjadi acuan bagaimana saya bergaul dengan tetangga yang non mulim. 

Suatu saat saya mendapat peringatan dari orang lain, untuk berhati hati bertetangga dengan si “A” karena suatu saat dapat meledak. Mendapat peringatan ini, saya berusaha menjadi tetangga yang baik karena di dalam Islam juga diajarkan bagaimana menjadi tetangga orang yang tidak seakidah dengan kita. Alhamdulillah, selama bertetangga selama tiga tahun, kami aman-aman saja. Saya malah dapat belajar banyak tentang daerah Ambon dan sukunya. Kami merasa seperti keluarga, karena hubungan kami yang baik dengan keluarga mereka. Mereka selalu menyapa dengan baik, begitu juga saya sebaliknya. Kami saling bantu membantu dalam kemanusiaan yang tidak bersinggungan dengan akidah kita. Dengan prinsip saya akan menghormati orang lain maka orang lain akan menghormati saya itu yang menjadi landasan kehidupan bertetangga saya di daerah orang sebagai perantau.

Saling Menghormati Perbedaan

Waktu terus berjalan dan kini saatnya tetangga yang berasal dari Ambon untuk pindah ke blok lain karena kontraknya di rumah tersebut sudah habis. Kami sekarang saling berjauhan, tetapi kami masih sering komunikasi menanyakan kabar. Komunikasi kami terputus setelah mereka keluar perumahan dan tinggal anak anaknya, sehingga kami kehilangan jejak. Rumah tetangga kini dikontrak oleh orang Tionghoa yang beragama Nasrani. Saya sudah cukup berpengalaman mempunyai tetangga yang non-muslim sehingga saya sudah cukup tahu harus bersikap bagaimana. Namun, tentunya saya masih harus kembali untuk belajar beradaptasi dengan budaya yang baru.

Dilihat dari postur tubuh bentuk wajah serta warna kulit kami sangat berbeda. Saya orang Jawa dengan kulit sawo matang, terasa kelihatan gelap dibandingkan dengan tetangga baru yang beretnis Tionghoa. Kami sangat saling menghormati perbedaan ini. Kami sering berkomunikasi untuk mencari persamaan sehingga kita tidak mempermasalahkan perbedaan. Biarkan agama kita berbeda, tetapi kita saling menghormati. Walaupun beretnis Tionghoa dan non-muslim, tetapi mereka tidak memakan babi karena juga dilarang oleh kepercayaannya. Mereka sehari-hari berusaha membuat produk makanan: seperti kue dan susu kedelai. Saya amati dan saya teliti dalam pembuatannya dan saya pastikan halal dalam semuanya sehingga saya berani mengonsumsi semua produknya.

Dari komunikasi kami, saya menjadi tahu bagaimana keyakinannya. Ketika suatu saat saya katakan bahwa saya tidak dapat mengucapkan tentang hari natal, mereka dapat memahami bahwa prinsip dan keyakinan orang muslim juga berbeda beda. Saya dengan mereka tetap saling menghormati, hidup damai berdampingan saling tolong menolong dalam bidang kemanusiaan. 

Suatu saat saya pernah ditegur teman muslim saya, “Mengapa kamu akrab dengan non-muslim?” saya menjelaskan bahwa keakraban saya hanya habblum minnanash, hanya sebatas hubungan manusia tanpa mengganggu hubungan dengan Allah. Mereka tidak mengganggu akidah dan ibadah saya, begitu juga saya tidak mengganggu mereka dalam beribadah. Saya hanya membantu mereka dalam hal kemanusiaan apabila memang mereka membutuhkan pertolongan. Hal yang wajar ketika saya mempunyai makanan yang lebih saya berikan kepada mereka selaku tetangga yang paling dekat. 

Mempunyai tetangga yang berbeda agama, suku, dan ras membuat saya belajar praktik ilmu tasamuh yang selama ini saya pelajari. Tasamuh atau toleransi sangat di ajarkan dalam agama Islam. Dengan prinsip agamamu ya agamamu, dan agamaku ya agamaku, kita dapat hidup berdampingan dengan non-muslim. Toleransi diajarkan dalam Islam, tetapi jangan membuat kita kebablasan, seperti yang pernah kita dengar ada bacaan sholawatan di gereja dan ada juga paduan suara menyanyikan di dalam masjid. Toleransi bukan berarti kita sebebas-bebasnya berhubungan dengan agama lain. Marilah kita saling menghormati dengan batas agama yang diperbolehkan. Mari kita banyak belajar agama lain untuk menjadi wawasan kita dalam menghormati agama lain, terbatas pada apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. 

Di dalam Islam juga dilarang menikah beda agama, oleh karena itu kita sebagai orang Muslim tetap menjalankan. Tidak boleh beralasan toleransi atau tasamuh menjadikan kita lupa aturan dan jangan asal asalan dalam beragama. Semua agama pasti mengajarkan bersikap baik  dan berbuat baik, tetapi prinsip akidah yang membedakan kita dengan agama lain.

LKLB adalah hal yang baru bagi pemikiran saya. Saya yang dari kecil berada dalam lingkungan dengan satu agama dan satu suku, tidak pernah merasakan tentang perbedaan.

Profil Penulis

Sayidah Sholihah

Alumni LKLB Angkatan 15
Guru SMP Muhammadiyah Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *