Oleh Firdaus Amir

Indonesia terdiri dari masyarakat yang begitu plural dengan beragam suku, agama dan ras namun tetap hidup berdampingan dalam interaksi sosial kebangsaan. Ada setidaknya 300 etnis di Indonesia dengan budayanya masing-masing, lebih dari 250 bahasa daerah, serta terdapat berbagai penganut agama dan kepercayaan.

Pluralitas Indonesia menjadi suatu tantangan krusial bagi setiap penganut agama untuk berinteraksi dan hidup berdampingan di tengah perbedaan. Apabila kita melirik kepada kondisi belakangan ini, ada beberapa sebab yang menyebabkan terjadinya konflik di dalam masyarakat antara lain sikap intoleran, kepentingan politik, sikap fanatik, termasuk kurangnya literasi dan pemahaman terhadap perbedaan. 

Banyak kasus-kasus terkait kemajemukan Indonesia yang pernah terjadi di Indonesia. Misalnya, konflik Poso pada tahun 1998 yang disebabkan oleh kepentingan politik elite lokal sehingga menyebabkan banyak orang harus kehilangan nyawa. Sebagaimana disampaikan oleh salah seorang ulama bernama Yahya Al Amri, bahwa konflik Poso menjadi catatan sejarah yang jelas dan sebagai bahan pembelajaran terbaik bagi bangsa kita. Berdasarkan data antara tahun  2017-2019 setidaknya ada 27 kasus konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia baik konflik komunal (antar agama) maupun sektarian (intra agama).  Penyebabnya karena sikap intoleransi, fanatisme, dan pemahaman yang keliru. 

Selain itu, banyak negara di dunia sedang berjuang menyelesaikan konflik yang dipicu agama. Sebut saja Myanmar, Iran, maupun yang lainnya. Ada banyak dampak buruk dan kerusakan yang ditimbulkan yang kemudian menjadi penyesalan. Maka ini seolah menjadi mimpi kita bahwa tantangan itu adalah sesuatu yang harus kita antisipasi sebagai langkah preventif dalam rangka merawat dan menjaga keberlangsungan bangsa dan negara agar hidup damai, harmonis dan rukun.

Jika kembali kepada esensi maka sesungguhnya kita menemukan agama dan budaya punya fungsi yang sangat positif dalam kehidupan. Agama dan budaya menjadi satu sistem nilai yang seolah menjadi pupuk perekat persaudaraan baik karna nilai nyang diajarkan, sejarah, atau petunjuk hukum. Apabila hal itu ditanamkan dengan baik dalam pribadi setiap manusia maka kejadian yang tidak kita harapkan akan jauh dari kenyataanya.

Kemudian, agama juga menjadi tuntunan yang punya fungsi kontrol melalui keteladanan terhadap tokoh ataupun petunjuk nash, maka tentu tidak ada agama di dunia ini terkhusus di Indonesia yang kemudian mengajarkan perpecahan, perselisihan, maupun pertikaian semuanya mengajarkan nilai-nilai kebaikan, persatuan, dan perdamaian dan itulah yang menjadi tuntunan. Sedangkan budaya, adalah satu sistem nilai yang tumbuh dalam satu kelompok, golongan, daeah yang kemudian dapat dinilai dari sebuah tontonan (dalam arti yang luas). Tidak ada budaya diindonesia yang pada esensinya mengajarkan pertikaian, pertumpahan darah, maupun perselisihan. Justru budaya hadir sebagai satu nilai yang menyatukan, memberikan kebaikan, termasuk menjadi tontonan terhadap penilaian kebaikan personal.

Dari beberapa sudut pandang demikian kita seolah mendapati bahwa ada yang keliru dalam cara pandang dan bersikap. Sebab banyak hal yang tidak diharapkan mengapa justru terus terjadi sampai hari ini? Inilah yang menjadi banyak pertanyaan yang tentu memerlukan jawaban. Pendekatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya hadir sebagai sebuah solusi untuk mengurai misinformasi, menjadi jawaban terhadap kurangnya literasi, menjadi obat dari tipisnya toleransi dan menjadi pupuk penanaman nilai kebersamaan dan persatuan yang dipupuk sejak dini dengan sikap yang arif dan bijaksana serta objek yang tepat.

Kami mencatat setidaknya ada 4 solusi yang dibutuhkan dalam rangka menekan angka konflik maupun untuk mengantisipasi terjadinya konflik antar agama maupun budaya yaitu:

  1. Penguatan edukasi keberagaman di institusi pendidikan maupun tokoh masyarakat. Hal ini bertujuan mencegah sikap intoleran maupun ekstrimisme di kalangan kaum muda agar tidak menjadi bibit konflik agama maupun budaya di masa depan. Sementara itu, edukasi tokoh masyarakat berperan untuk mencegah paham intoleransi bagi masyarakat yang minim akses terhadap institusi pendidikan formal.
  2. Kejelasan aturan dan keseriusan pemerintah dalam menjaga persatuan dan kesatuan. Ini berarti tidak hanya sekedar mengeluarkan produk hukum tetapi juga mengawasi perkembangannya sampai lapisan terbawah sebagai kontrol efisiensi aturan dan regulasi.
  3. Pemantapan riset dan dialog antar agama sebagai upaya penumbuhan pengetahuan secara objektif dari setiap penganut agama dan menjadi pola ilmiah dalam melihat sisi keagamaan juga kebudayaan.
  4. Penguatan Sosialisai umat beragama. Bukan saja ditujukan kepada Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB), tetapi sampai akar rumput agar sosialisasi lebih inklusif dan bertumbuh rasa persatuan dalam kebhinekaan.

Dari empat poin penting tersebut program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) telah mengaplikasikannya dalam berbagai kegiatan seperti pelatihan, workshop, dan sinergi dengan berbagai mitra. Ini tentu mejadi harapan agar dampak dan manfaat ke depannya dapat benar-benar terasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang tercinta ini. Pemerintah dalam hal ini juga telah serius melaksanakan berbagai macam program seperti Kampung Moderasi Beragama yang telah diluncurkan oleh Kementrian Agama RI di ribuan titik seluruh Indonesia dan kegiatan Dialog Kebangsaan.

Semua program bisa menjadi sesuatu yang tidak berarti jika tidak didukung oleh masyarakat. Maka tugas kita untuk melanjutkan dan menumbuhkan nilai-nilai kebaikaan di lingkungan keluarga, tetangga, maupun dunia secara luas.

Pluralitas Indonesia menjadi suatu tantangan krusial bagi setiap penganut agama untuk berinteraksi dan hidup berdampingan di tengah perbedaan.

Profil Penulis

Firdaus Amir

Alumni LKLB Angkatan 28
Sekretaris Ikatan Khatib Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Mimika dan Guru SMP Yapis Ranting Mimika, Papua

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *