Oleh Abdul Rochim

Sebagai lembaga pendidikan berbasis keagamaan, madrasah dan pondok pesantren memiliki peran sangat besar dan penting dalam perkembangan masyarakat. Kondisi yang homogen di madrasah dan pondok pesantren, dimana hanya ada satu agama yaitu Islam, maka menjadi persoalan tersendiri ketika harus berinteraksi secara langsung dengan masyarakat di luar komunitas keagamaannya.

Agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia ada 6 ditambah aliran kepercayaan. Keenam agama tersebut adalah Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan  Konghucu. Hampir di setiap wilayah di Indonesia penduduknya menganut agama berbeda-beda, tidak hanya di perkotaan dengan masyarakatnya yang heterogen tetapi juga di pedesaan. Salah satunya di Desa Jrahi Kecamatan Gunungwungkal Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang dikenal sebagai desa wisata Pancasila. Dalam satu keluarga ada yang menganut agama Kristen dan ada pula yang memeluk agama Islam maupun Buddha.

Lalu bagaimana dengan daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam? Banyak madrasah dan pondok pesantren yang berdiri di sana. Madrasah maupun pesantren memiliki peran yang sangat kuat dalam melakukan transformasi ilmu maupun kebudayaan. Berdasarkan data Direktorat Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2020/2021 terdapat 30.494 pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia. Sementara itu, jumlah madrasah di Indonesia tercatat sebanyak 83.548 madrasah dari berbagai jenjang pendidikan. Banyaknya pondok pesantren dan madrasah di Indonesia berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial di masyarakat.

Penanaman moderasi beragama kerap menjadi sesuatu yang asing bahkan sama sekali tidak diperkenalkan kepada peserta didik mengingat kondisi sosiologis yang homogen. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), moderasi diartikan tidak berlebihan dan tidak kekurangan, pengurangan atau penghindaran kekerasan. Artinya moderasi ialah sikap yang di tengah-tengah, tidak berbenturan dengan kelompok manapun. Dalam kalangan umat Islam dikenal dengan istilah tawasuth, artinya yang ditengah. Sehingga moderasi beragama dapat kita maknai sebagai sikap, perilaku maupun pandangan dalam beragama yang tidak ekstrim, tidak berlebihan dan tidak memaksakan.

Peserta didik di madrasah maupun di pondok pesantren, memiliki kewajiban dan hak yang sama dengan peserta didik di lembaga pendidikan lainnya. Mereka memiliki tanggungjawab dan peran yang sama pula untuk menjaga perdamaian dan persatuan bangsa tanpa membedakan latar belakang suku, ras maupun agamanya. Semua menjadi satu kesatuan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saling hormat menghormati dan menghargai satu sama lain.

Ada beberapa lembaga pendidikan keagamaan yang telah memasukkan unsur – unsur moderasi beragama dalam kurikulum pendidikannya. Hanya saja penerapannya belum tampak secara maksimal. Hal ini dikarenakan warga madrasah maupun pondok pesantren memiliki latar belakang agama yang sama. Tentunya akan berbeda ketika kita berinteraksi secara langsung dengan masyarakat yang latar belakang agamanya berbeda.

Peserta didik diajarkan bagaimana bersikap yang wasath (moderat) namun memiliki pendirian yang tegas. Kehadiran umat Islam di tengah-tengah masyarakat hendaknya menjadi rahmat bagi lingkungan sekitarnya, menjadi penengah, penjaga perdamaian. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah 143.

وَ كَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةَ وَسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ وَ يَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا…

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”

Namun, sejauh ini lebih banyak sebatas teori, yang akan menjadi bekal mereka untuk menjalani hidup di masa yang akan datang, apakah itu di dunia kerja, di kampus bahkan di masyarakat yang mungkin terdapat keberagaman agama yang dianut oleh penduduknya.

Penanaman moderasi beragama ini akan menjadi lebih maksimal dan nyata apabila lembaga pendidikan tersebut memasukkan program kemasyarakatan yang di dalamanya terdapat interaksi langsung dengan masyarakat secara nyata dari latar belakang agama yang berbeda-beda. Semisal mengadakan kemah bersama atau pertukaran pelajar, bukan sekedar bakti sosial seperti penggalangan bantuan bencana dan penyerahannya. Di dalam aktivitas bersama dalam kurun waktu yang agak lama, bersama pemeluk agama yang berbeda-beda kita akan belajar mengendalikan diri, belajar menghargai dan menghormati agama dan pemeluk agama yang lain. Bagaimana jadinya negeri ini jika pemimpinnya intoleran, radikal, ekstrimis dan sejenisnya, pasti pertikaian dan penindasan serta kesewenang-wenangan akan terjadi kapan saja dan dimana saja.

Untuk mewujudkan hal ini, sinergitas antar lembaga pemerintah sangat dibutuhkan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) bersama Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia harus duduk bersama menyusun program yang dapat menjembatani moderasi beragama di lingkungan madrasah dan pondok pesantren serta lembaga pendidikan yang berlatar belakang agama berbeda. Kedua lembaga pemerintah inilah yang menaungi lembaga – lembaga pendidikan di Indonesia. Baik Kemenag maupun Kemendikbud Ristek sama – sama memiliki peran dan tanggung jawab dalam pendidikan dan budaya di Indonesia. Dengan memperbanyak Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) di lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren akan dapat mengurangi sikap intoleransi.

Pengembangan sikap moderasi di kalangan pelajar maupun santri menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi, karena mereka adalah tunas-tunas bangsa yang akan mengisi dan menjadi pelaku serta penentu bangsa Indonesia dan dunia di masa yang akan datang. Sebagai contoh beberapa tahun yang lalu beberapa madrasah maupun pondok pesantren di Jawa Tengah mendapatkan penempatan beberapa sukarelawan Dejavato dari luar negeri untuk belajar budaya dan kepribadian bangsa Indonesia khususnya di pondok pesantren dan madrasah. Salah satunya di Yayasan Madrasah Tarbiyatul Banin Desa Pekalongan Kecamatan Winong Kabupaten Pati. Jika hal ini dapat dikembangkan lebih luas lagi, niscaya keberagaman budaya dan agama tidak menjadi kendala untuk hidup berdampingan dengan damai.

LKLB sebagai sebuah pendekatan berpikir, bersikap, dan bertindak untuk dapat bekerja sama dengan yang berbeda agama dan kepercayaan (kompetensi kolaboratif), berlandaskan pada pemahaman akan kerangka moral, spiritual, dan pengetahuan diri pribadi (kompetensi pribadi) dan orang lain yang berbeda agama dan kepercayaan (kompetensi komparatif). Melalui program pengenalan LKLB bagi guru madrasah/ pesantren/ penyuluh agama diharapkan dapat menguatkan eksistensi dan kolaborasi damai antaragama di Indonesia.

Semoga dengan pemahaman dan penerapan moderasi beragama yang benar di seluruh lapisan masyarakat, negara Indonesia yang Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur dapat menjadi nyata. Indonesia yang menjaga perdamaian dunia sebagaimana amanat UUD 1945 bukanlah sebuah ilusi belaka. Bhinneka Tunggal Ika bukanlah slogan semata, tapi menjadi tali pemersatu bangsa. Amin.

Penanaman moderasi beragama ini akan menjadi lebih maksimal dan nyata apabila lembaga pendidikan memasukkan program kemasyarakatan yang di dalamanya terdapat interaksi langsung dengan masyarakat secara nyata dari latar belakang agama yang berbeda-beda.

Profil Penulis

Abdul Rochim

Alumni LKLB Angkatan 28
Penyuluh Agama Kemenag Pati,
Jawa Tengah

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *