Oleh Jumriani, S.Sos., M.Si.

Benar kata pepatah “kalau jodoh tidak akan kemana”, akan dipertemukan kapanpun dan dimanapun pada waktunya. Sama halnya aku dan LKLB. Jujur, saya sudah lama  mencari program edukasi yang bisa menunjang pekerjaan saya sebagai seorang dosen mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan. Awalnya saya dapat share link pendaftaran LKLB dari teman. Sempat ragu, karena waktu itu program LKLB ditujukan untuk guru agama, guru madrasah, pesantren dan penyuluh. Tapi dengan niat baik saya tetap mendaftar. Alhamdulillah, setelah submit pendaftaran,  direspon dan diterima sebagai peserta angkatan ke-24.

Luar biasa”, kata itulah yang pertama kali terucap saat mengikuti program sesi pertama. Ibarat orang yang sedang lapar dan haus, tiba-tiba mendapat suguhan makanan dan minuman  favorit. Bisa dikatakan, secara praktik sebenarnya materi LKLB sudah diterapkan. Tapi kendalanya adalah ketika ingin menyampaikan dan berbagi ke orang lain itu tidak semudah yang dilakukan sendiri. Banyak keraguan yang kemudian terjawab gamblang di LKLB. Dengan narasumber yang begitu inspiratif, dari latar belakang keilmuan, agama dan kewarganegaraan yang berbeda. Benar-benar mewakili  lintas agama dan budaya.  Tentu saja ilmu yang saya peroleh  membuat saya semakin yakin dan lebih percaya diri mengajar di depan mahasiswa.

Alhamdulillah, saya terlahir dalam keluarga yang moderat. Ayah dan ibu juga muslim yang taat. Seingat saya, ayah dan ibu tidak pernah melarang saya bergaul dengan teman yang berbeda agama. Masih ingat dulu waktu zaman sekolah SMP dan SMA. Bahkan yang pertama kali berkunjung ke rumah untuk mencicipi hidangan lebaran adalah teman-teman saya yang beragama Kristen dan Budha. Ibu senang menyuguhi kami hidangan lebaran. Saling mengucap selamat hari raya baik Idul Fitri, Natal dan Waisak. Tidak ada sekat antara kami dalam berteman.

Hal ini berlanjut setelah menikah, bertemu dengan suami juga yang sangat moderat. Bahkan suami saya berkawan karib dengan seorang warga negara Amerika yang tinggal di Bone Sulawesi Selatan. Sejak menikah tahun 2002 saya mengenal keluarga Mr. David, namun sayangnya awal tahun 2019, mereka  harus pulang ke negaranya.  Dalam pertemanan kami sangat akrab. Bahkan setiap hari raya Idul Fitri beliau dan istrinya pasti datang ke rumah dengan membawa kue kismis yang sangat enak yang dibuat sendiri. Dan yang uniknya, ketika mereka membawa hantaran kue ke rumah kami, selalu disertakan resep kue yang berisi bahan-bahan apa saja yang digunakan membuat kue itu. Katanya biar kami tahu bahwa kue itu dari bahan halal dan kami bisa mencoba membuatnya sendiri di rumah. Sampai segitunya beliau menjaga hubungan pertemanan kami.

Yang uniknya lagi, selama kurang lebih 17 tahun bergaul akrab dengan keluarga Mr. David beliau minta dibimbing untuk mempelajari bahasa Bugis dan huruf Lontara Bugis dan sebaliknya kami juga belajar Bahasa Inggris Accent Amerika. Bertukar pikiran dalam hal bahasa dan agama, ternyata tidak mempengaruhi apapun terhadap keyakinan kami, dimana orang atau teman – teman di sekitar kami yang sering khawatir tentang itu. Pernah suatu hari beliau memberi kami buku-buku berbahasa Inggris yang kata suami saya itu berisi tentang perjalanan atau pelajaran agama Nasrani. Waktu itu saya sempat berpikir dan berkata ke suami saya “Nggak apa-apa ini pa?” kata suami saya “nggaklah, selama kita yakin dengan keyakinan agama kita sendiri (kompetensi pribadi dalam LKLB) pikiran itu tidak akan ada dalam benak kita”.

Intinya bergabung di LKLB semakin membuka pikiran dan wawasan saya terhadap pergaulan lintas agama dan budaya. Apalagi saya tidak memungkiri pernah terjebak dalam keraguan ketika media sosial yang kemudian gencar mengintervensi kehidupan kita. Dulunya saya asik saja berteman dengan teman-teman berbeda agama, tiba tiba di medsos seperti Instagram, FaceBook, WhatsApp dan Youtube bermunculan statement-statement yang mendiskriminasi, mengharam-haramkan, mengkafir-kafirkan saudara baik seagama maupun berbeda agama. Siapa yang ikut bergaul dengan agama lain, mengucap selamat hari raya terhadap agama lain maka kita akan masuk ke dalam golongan mereka. Saya yang dari latar belakang ilmu sosial (bukan agama/ pesantren) akhirnya merasa ragu, benarkah yang dikatakan mereka dalam medsos itu? Sementara yang saya rasakan, yang saya alami tidaklah demikian. Bahkan sebelum bergabung di LKLB, ketika mengajar depan mahasiswa kemudian mendapat pertanyaan semacam itu, hanya bisa menjawab seadanya dengan dalih toleransi saja.

Pertanyaan ini kemudian muncul, apa yang kau cari dalam LKLB? Ibarat selama ini saya duduk di sebuah bangku yang datar, LKLB itulah kemudian menjadi sandaran saya untuk bisa duduk rileks, berpikir rasional untuk menghubung-hubungkan antara fakta (apa adanya) dan apa yang seharusnya. Program-program dan literasi dalam LKLB sangat membantu membuka wawasan kita akan perbedaan lintas agama dan budaya.. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi rasa curiga dan prasangka buruk, lebih bijak ketika mendapat informasi, dan tidak mudah ikut-ikutan hal yang tidak rasional. Intinya lebih percaya diri bahkan bisa menatap tegak seraya berkata “tidak ada alasan bagi kita untuk saling memusuhi. Tidak ada ketakutan bagi kita untuk saling berpegangan tangan. Meski berbeda dalam agama dan budaya, kita ini manusia yang sama. Perbedaan tidak untuk ditolak karena perbedaan adalah keniscayaan. Perbedaan tidak juga untuk diseragamkan karena perbedaan adalah anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa untuk disyukuri. Tapi perbedaan itu untuk “diterima”. Konsep penerimaan inilah yang harus kuat. Dengan ini kita sadar bahwa, bukankah kita juga berbeda dari orang lain? Mengapa kita harus menuntut kesamaan? Bukankah kalau demikian orang juga akan berhak menuntut kita sama dengan mereka? Tidakkah kita keberatan jika itu terjadi?

Nikmati semangkuk es buah campur! Rasakanlah sendiri buah-buah setiap suapannya! Tidaklah berubah rasa jeruk jadi rasa semangka saat kita mengunyah jeruk. Tidaklah kemudian rasa papaya berubah jadi apel ketika kita mengunyah pepayanya. Semua buah tetap dengan rasanya masing-masing meskipun potongan-potongan buah itu berbaur dalam wadah es buah.  Inilah perumpamaan yang sederhana tapi sangat masuk akal untuk dipahami yang kami dapat dalam program LKLB. Terimakasih atas adanya program LKLB. Terimakasih telah membuka mata dan hati kami, menghapus segala keraguan dalam diri kami. Apa yang saya alami sejalan dengan prinsip LKLB yakni menguatkan keimanan, menghargai perbedaan, dan bekerjasama untuk kemaslahatan bersama. Semoga nilai-nilai kebaikan dalam LKLB tetap tersampaikan melalui tulisan tulisan sederhana kami.

LKLB itulah kemudian menjadi sandaran saya untuk bisa duduk rileks, berpikir rasional untuk menghubung-hubungkan antara fakta (apa adanya) dan apa yang seharusnya. Program-program dan literasi dalam LKLB sangat membantu membuka wawasan kita akan perbedaan lintas agama dan budaya.

Profil Penulis

Jumriani, S.Sos., M.Si.

LKLB -24073 (ID Alumni)
Dosen, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bone

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *