Oleh Renny Veronika M.

Bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat majemuk dengan berbagai macam kebudayaan. Kemajemukan dapat meningkatkan jiwa nasionalisme siswa  karena pemahaman akan perbedaan bukan kelemahan, sebaliknya kekuatan yang perlu ditanamkan. Perbedaan adalah realitas sosial yang memang sudah seharusnya terjadi dalam kondisi masyarakat heterogen. Namun, jika dikaitkan dengan permasalah bangsa seperti persoalan SARA dan kurangnya nasionalisme, maka sangat tepat jika siswa diberikan penguatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB).

Keberadaan ikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa sangat perlu untuk digiatkan kembali dalam konstruksi masyarakat Indonesia sekarang terutama pada siswa. LKLB mengajak siswa untuk memaknai bahwa kemajemukan merupakan suatu keniscayaan. Keragaman agama, kepercayaan, etnis dan budaya tak seharusnya ditolak atau dipaksakan, tetapi disikapi dengan sikap menghargai, toleransi, dan empati sosial terhadap keberagaman.

Selain itu pendekatan multikultural sangatlah diperlukan masyarakat beragam seperti bangsa Indonesia, karena diharapkan ada pengakuan terhadap kesetaraan dalam perbedaan. Setiap agama dan kebudayaan mempunyai cara hidupnya sendiri yang harus dipahami dari konteks masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan.

Dalam penerapan prinsip multikultural, masyarakat Dayak Kalimantan Tengah memiliki Huma Betang yaitu sebuah hunian, rumah tradisional. Rumah panjang berbentuk panggung yang dibangun di atas tiang yang cukup tinggi, Huma Betang dapat menampung penghuni sekitar 100 jiwa. Di dalam Huma Betang, terdapat kamar atau ruangan untuk tempat tinggal, dan dapur. Di ruangan depan tempat untuk menerima tamu atau sebagai ruang pertemuan dan biasanya pintu rumah dan tangga untuk ke dalam rumah hanya satu saja.

Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah memiliki kebudayaan unik dan menyimpan nilai-nilai persatuan yang direpresentasikan dalam hunian tradisional Huma Betang. Ikon masyarakat Dayak ini masih berdiri dan tetap lestari ratusan tahun lamanya. Huma Betang dibangun dengan bahan dasar yang kuat. Selain itu, setiap penghuninya juga senantiasa melestarikan dan merawat hunian tersebut sebagai ikon budaya Dayak.

Huma Betang dapat dilihat sebagai sebuah konsep pembangunan makro dengan integrasi berbagai macam unsur yang dapat mendukung pelaksanaan pembangunan. Perlambangan konsep tersebut berupa rumah besar dengan fungsi sebagai tempat tinggal masyarakat dengan corak pluralitas agama serta budaya. Masyarakat tersebut tinggal di dalam sebuah rumah besar yang terdiri dari sejumlah kamar sebagai wujud dari kebersamaan dengan dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Bakas Lewu.

Dalam Huma Betang terdapat konsep masyarakat multikulturalisme karena penghuninya terdiri dari bermacam agama dan kepercayaan. Konsep ini juga berlaku dalam ideologi masyarakat Indonesia yang mengakui serta mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik individual dan kebudayaan. Huma Betang menggambarkan mosaik Indonesia yang mencakup kebudayaan-kebudayaan di masyarakat dalam lingkup lebih kecil dan terwujudnya masyarakat dengan lingkup lebih besar.

Berdasarkan pemahaman tersebut maka dapat dilihat bahwa keberadaan masyarakat multikultur di Indonesia sejalan dengan ideologi Bhinneka Tungal Ika. Kenyataan bahwa kebhinekaan Indonesia tidak hanya terdapat dalam suku, agama, dan ras, tapi mencakup juga evolusi kebudayaan baik dari yang simple hingga mempunyai kompleksitas tinggi. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk terkadang masih bisa mengalami perpecahan baik karena isu politik maupun agama serta sosial. Kepentingan golongan tertentu berusaha menekan anggota lainnya sehingga menciptakan konflik.

Konflik berkepanjangan mampu mengancam keutuhan Indonesia sebagai suatu bangsa.  Penyebabnya adalah fenomena konfigurasi pemilahan sosial yang cenderung menuju kepada subjective conflict. Penerjemahan objective conflict menuju ke ranah subjektif sering terjadi di masyarakat Indonesia. Pemilahan sosial ini mengarahkan ke rawan konflik. Batas-batas budaya tercipta dari adanya segregasi sosial di masyarakat. Sebenarnya multikulturalisme jika bisa diterapkan dengan sempurna akan mendinginkan suasana serta terciptanya rasa penerimaan dan toleransi antar individu masyarakat. Pada akhirnya, rasa kebhinekaan akan tetap terpatri di konstruksi sosial masyarakat Indonesia.

Kearifan lokal pada masyarakat Dayak Kalimantan Tengah tampak pada falsafah yang sangat dijunjujung tinggi yaitu belom bahadat.  ‘’Belom Bahadat”  adalah perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum  alam”). Apabila telah  mampu melaksanakan perilaku hidup “belom bahadat”, maka akan teraktualisasi dalam wujud “Belom Penyang Hinje Simpei” yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama.

Kondisi plural juga terjadi di masyarakat Dayak yang tinggal di Huma Betang seperti keberagaman agama. Hal ini bukanlah menjadi penghalang dalam kerukunan antar penghuni. Ada falsafah yang tidak kalah penting yaitu minimalisasi gesekan sosial antar individu yang tinggal di Huma Betang yakni musyawarah. Kepemimpinan terdapat di konstruksi sosial masyarakat Dayak. Pemimpin dihormati karena merupakan sosok representatif dari masyarakat. Pengambilan keputusan dalam menghadapi suatu masalah dapat dilihat dari pola perilaku yang diambil ketika terjadi konflik tersebut. Pola tersebut tidak lepas dari musyawarah untuk mencapai mufakat. Menghargai pendapat serta mendengarkan sisi lain dari suatu permasalahan, dan adanya pemimpin yang bijak, merupakan representasi dari kebhinekaan.

Selain tindakan represif maupun kuratif yang dilaksanakan pada saat terjadi masalah, terdapat pula tindakan preventif yang dilakukan warga Huma Betang. Tindakan preventif yang dilakukan contohnya adalah mengajarkan dari kecil kepada anak mengenai hidup dengan sopan santun dan beradab. Pembelajaran tersebut secara tidak langsung akan menjadi panduan hidup seorang anak menuju proses kedewasaan. Sifat-sifat luhur yang ditanamkan dari kecil akan menjadi penghias kehidupan penuh rukun dan tentram. Keberadaan falsafah-falsafah di atas sudah seharusnya diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat di zaman modern ini. Penyelesaian konflik baik agama, suku dan ras dapat dengan mudah tercapai jika masyarakat Indonesia mempunyai itikad dalam refleksi kearifan lokal. Mau mengenal, memahami, belajar hidup bahagia bersama secara harmoni, toleransi dan kolaborasi akan mampu menumbuhkan sikap nasionalisme dalam diri karena telah memahami keberadaan nilai-nilai mulia dari keberadaan masyarakat multikultural.

Bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat majemuk dengan berbagai macam kebudayaan. Kemajemukan dapat meningkatkan jiwa nasionalisme siswa  karena pemahaman akan perbedaan bukan kelemahan, sebaliknya kekuatan yang perlu ditanamkan. 

Profil Penulis

Renny Veronika M.

Alumni LKLB Angkatan 5
Guru Sosiologi MAN Kotawaringin Timur,
Kalimantan Tengah

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *