Keterangan foto: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Prof. Yasonna H Laoly (kiri atas), Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho (kanan atas), Guru Besar HAM dan Gender Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin (kiri bawah), dan President Lantos Foundation for Human Rights Dr. Katrina Lantos Swett (kanan bawah).

 

Jakarta, 5 Maret 2022 – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Prof. Yasonna H Laoly, menyatakan kebebasan beragama di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah kekerasan terhadap kelompok aliran minoritas agama tertentu.

“Salah satu masalah yang akhir-akhir ini muncul adalah kekerasan terhadap penganut aliran minoritas dari suatu agama, yang dipandang aliran mayoritas sudah menyimpang dari ajaran prinsip agama tersebut,” kata Yasonna dalam sambutan kuncinya pada webinar internasional “Artikel 18 Deklarasi Universal HAM dalam Perspektif Negara dan Agama” yang digagas Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Institut Leimena dalam rangka Hari HAM Sedunia ke-73, Selasa (21/12/2021) malam.

Menkumham menegaskan hak kebebasan beragama harus diakui sebagai hak asasi seperti tertuang dalam artikel atau pasal 18 Deklarasi Universal HAM. Pengakuan tersebut mengharuskan negara tidak dapat melarang agama atau aliran apapun yang masuk dan berkembang di Indonesia, sepanjang sesuai dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak menyinggung prinsip dan kepercayaan umat agama lainnya.

“Adanya kekerasan terhadap kelompok aliran agama minoritas menjadi tanggung jawab negara untuk hadir, memberikan perlindungan, penghormatan bagi warganya termasuk masyarakat dari kelompok minoritas,” kata Yasonna kepada lebih dari 1.000 peserta webinar dari dalam dan luar negeri.

Data Kemenkumham sepanjang 2021 mencatat 13 peristiwa dugaan pelanggaran HAM yang diperoleh dari 21 pengaduan masyarakat. Diantaranya, peristiwa pengeluaran keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muaro Jambi yang menganggap sesat ajaran Darut Tauhid, Surat Keputusan Bersama (SKB) pembatasan ajaran Hare Krisna dan Iskcon karena dianggap sesat, polemik pembangunan gereja di Sukoharjo Jawa Tengah, pemaksaan penggunaan busana Muslim di sekolah di Padang Sumatera Barat, penghentian pembangunan tempat ibadah Ahmadiyah di Kabupaten Garut Jawa Barat, penolakan pembangunan masjid Muhammadiyah oleh warga Nahdlatul Ulama (NU) di Banyuwangi Jawa Timur, dan polemik pendirian gereja di Kabupaten Aceh Singkil.

Menkumham, yang didampingi Direktur Pelayanan Komunikasi Masyarakat Kemenkumham Dr. Pagar Butar Butar, mengatakan secara umum kehidupan kebebasan beragama di Indonesia mengalami kemajuan, dari sisi legal konstitusional dan perlindungan hak kebebasan beragama dibandingkan negara lain. Namun, kemajuan itu menimbulkan masalah lebih kompleks, terutama ruang berekspresi menjadi begitu besar.

“Misalnya, kelompok yang sebelumnya tidak berani berbicara, maka saat ini mulai muncul di publik dan menyampaikan pendapatnya yang memiliki dampak positif maupun negatif,” ujar Yasonna.

Menkumham menyatakan kebebasan beragama juga dijamin dalam Konstitusi Indonesia bahkan jauh sebelum berlakunya Deklarasi Universal HAM pada 10 Desember 1948, antara lain pasal 28E ayat (1) dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Kebebasan beragama sebagai hak asasi tergolong hak non-derogable, artinya secara spesifik dalam perjanjian HAM merupakan hak yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan kondisi apa pun, termasuk keadaan bahaya, seperti perang sipil atau invasi militer.

“Hak yang non-derogable ini dipandang sebagai hak paling utama dari hak asasi manusia. Hak-hak non derogable ini harus dilaksanakan dan harus dihormati oleh negara dalam keadaan apa pun dan situasi bagaimana pun,” tandas Yasonna.

Senior Fellow Institut Leimena sekaligus Hakim Konstitusi tahun 2003-2009 Dr. Maruarar Siahaan (kiri atas), Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pdt. Jacky Manuputty (kanan atas), Senior Fellow University of Washington Dr Chris Seiple (kiri bawah), dan moderator Viona Wijaya (kanan bawah).

Teladan Johannes Leimena

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan otoritas negara seringkali dipertentangkan dengan otoritas agama dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal, keduanya berjalan beriringan, sebagaimana teladan Dr. Johannes Leimena yang menunjukkan bahwa peran sebagai warga negara bertanggung jawab dan nasionalis sejati adalah refleksi dari kecintaan, kesetiaan, dan ketaatan kepada Tuhannya.

“Indonesia yang majemuk ini lahir dari para tokoh pendiri bangsa yang demikian, yang selalu berusaha mencari titik temu antara perspektif negara dan agama, serta kepercayaan yang beragam,” kata Matius.

Senior Fellow Institut Leimena sekaligus Hakim Konstitusi tahun 2003-2009, Dr. Maruarar Siahaan, mengatakan webinar ini merupakan seri rangkaian pendidikan Literasi Keagamaan Lintas Budaya untuk mengukuhkan Pancasila sebagai dasar negara dan landasan berpikir filosofis kehidupan bernegara serta sumber dari segala sumber hukum.

Guru Besar HAM dan Gender Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, mengatakan Indonesia patut bersyukur karena proses pendirian bangsa (nation building) telah disepakati terlebih dulu sebelum pendirian negara (state building). Dalam konteks itu, agama menjadi bagian dalam proses nation building yang disepakati lewat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

“Indonesia mempunyai blessing, hadiah luar biasa, karena agama sudah sejak awal menjadi bagian dari nation building yang bersifat sipil. Ini adalah otonomi dan otoritas sipil dalam mengelola agama,” ujar Prof Siti yang juga tenaga ahli utama kantor staf presiden RI.

Siti mengatakan Indonesia berbeda dari negara Islam, misalnya Afghanistan yang sulit rekonsiliasi karena pembentukan negara mendahului bangsa, sehingga sentimen etnoreligius sangat tinggi. Upaya pihak-pihak yang ingin memberikan semua aspek agama kepada negara harus ditahan karena akan membentuk negara dominan dan otoriter sehingga membahayakan kelompok minoritas agama, mazhab, atau aliran.

“Yang diserahkan kepada negara adalah mengamankan agar tidak terjadi kekerasan berbasis agama dan hal-hal agama terkait tata kelola publik seperti perkawinan, peceraian, ibadah dalam islam yaitu haji, tapi bukan mengatur satu corak berhaji, corak sholat, atau beragama yang spesifik,” tandas Siti.

President Lantos Foundation for Human Rights, Dr. Katrina Lantos Swett, mengatakan sejarah membuktikan bangsa-bangsa yang dibangun atas landasan kehormatan hak asasi fundamental dan kebebasan beragama, berpikiran, bernurani, akan lebih berhasil mewujudkan tujuan masyarakat. Katrina adalah anak penyintas Holocaust Hungaria yang berhasil selamat dari babak gelap kemanusiaan dan bisa memulai hidup baru di Amerika Serikat.

“Tahun 1980, ayah saya orang pertama dan satu-satunya dalam sejarah Amerika, penyintas Holocaust yang terpilih di Kongres Amerika. Pengalaman hidup buruk membawanya mendirikan Kaukus HAM Kongres yang dibentuk menjadi Tom Lantos Human Right Commission dari Kongres Amerika,” ujar Katrina.

Senior Fellow University of Washington, Dr Chris Seiple, mengatakan HAM dimulai dari tempat-tempat terkecil yang dekat dengan kita. Semua orang bisa melibatkan diri dalam penegakkan HAM dengan belajar dan melatih kompetensi pribadi, komparatif, dan kolaboratif.

Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Pdt. Jacky Manuputty, mengatakan ketegasan negara terhadap HAM masih sangat bergantung opini publik mayoritas yang diterima sebagai kebenaran, serta mempertimbangkan ketenangan dan kedamaian dibandingkan aspek penegakan HAM. (IL/Chr)