Para peserta workshop penyusunan program dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasiskan Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diadakan di Palu, Sulawesi Tengah, 13-15 Oktober 2022.
Jakarta, LKLB News – Iringan lagu lawas “Kemesraan” tiba-tiba terdengar dari dalam Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID) Pniel di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (14/10/2022) sore. Tentu saja tidak ada kegiatan ibadah hari itu, namun lagu itu dinyanyikan secara spontan sebagai penutup dari kunjungan lapangan 39 guru peserta workshop Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diadakan oleh Institut Leimena bersama Universitas Alkhairaat dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.
Suasana hangat dan nyaman tampak dari wajah para guru saat mengulang bagian refrein lagu tersebut. Meskipun, hampir semua guru mengaku belum pernah masuk ke gereja atau tempat ibadah agama lain.
“Perjalanan kunjungan ke dua gereja pada kegiatan LKLB memberi kesan yang sangat melekat pada saya karena untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya masuk ke gereja,” kata pengawas di Pondok Pesantren Hidayatullah, Palu, Chadijah Alhasny.
Para peserta workshop kali ini berasal dari madrasah dan pondok pesantren di bawah yayasan pendidikan Alkhairaat, Palu. Selain mengunjungi GPID Pniel, para guru juga singgah ke Gereja Katolik Santa Maria Bunda Hati Kudus di Jalan Tangkasi, Kota Palu.
Chadijah mengatakan suasana tenang dirasakan di dalam gereja, sama halnya ketika dirinya masuk ke dalam masjid. Menurutnya, setiap agama memiliki esensi keyakinannya masing-masing, namun semuanya bermuara kepada kebaikan sehingga penting untuk saling menghargai satu sama lain.
“Saya menjadi lebih paham dan lebih berdamai dengan perbedaan karena ternyata perbedaan itu indah,” ujar Chadijah.
Sejumlah peserta workshop LKLB berdiskusi dengan Pastor Fransiskus Wolter Mandagi, Pr di Gereja Katolik Santa Maria Bunda Hati Kudus, Palu.
Pastor Paroki Gereja Katolik Santa Maria Bunda Hati Kudus, Pastor Fransiskus Wolter Mandagi, Pr, mengungkapkan rasa syukur atas kedatangan para guru peserta workshop penyusunan program dan rencana pelaksanaan pembelajaraan (RPP) berbasis LKLB. Gereja Santa Maria saat ini memiliki sekitar 2.700 jemaat yang tersebar di beberapa daerah termasuk desa-desa yang cukup jauh.
“Kami sangat terbuka hati menerima saudara saudari terkasih untuk datang belajar, mencari tahu, gereja Katolik itu seperti apa. Mungkin kami tidak bisa menjawab secara keseluruhan, tapi kami berusaha menerangkan apa itu agama Katolik, ada apa dengan Bunda Maria, salib, atau altar,” ujar Pastor Fransiskus.
Pastor Fransiskus mengutip ungkapan Paus Yohanes XXIII dalam Konsili Vatikan ke-2 tahun 1958 yakni “aggiornamento” yaitu gereja Katolik dipanggil untuk membuka pintu selebar mungkin agar gereja bisa berada bersama umat yang lain, sekalipun berbeda agama, suku, bahasa, budaya, dan lain-lain.
Sementara itu, Ketua Majelis GPID Pniel, dr. Roberthy D. Maelissa, mengatakan jemaat GPID Pniel Palu terdiri dari 472 kepala keluarga dengan sedikitnya 1.582 umat. GPID menjadi salah satu bangunan yang terdampak gempa dan tsunami Palu pada 2018.
“Dulu ini kami namakan gereja sementara karena waktu itu tidak bisa dipakai akibat terdampak gempa dan tsunami,” kata Roberthy yang berprofesi dokter spesialis bedah.
Peserta dan fasilitator workshop LKLB di Gereja Katolik Santa Maria Bunda Hati Kudus, Palu.
Kompetensi Komparatif
Koordinator Program Alumni LKLB dari Institut Leimena, Daniel Adipranata, mengatakan kunjungan ke gereja bertujuan memberikan pengalaman bagi para guru dalam menerapkan LKLB khususnya kompetensi komparatif. LKLB menekankan relasi lintas agama berdasarkan tiga kompetensi yaitu pribadi (memahami dengan baik agama sendiri), komparatif (mengenal agama lain dari kacamata pemeluk agama itu sendiri), dan kolaboratif (bekerja sama untuk kebaikan).
“Jika kita ingin mempelajari sesuatu, belajarlah dari ahlinya. Misalnya, ingin belajar Matematika dari ahli Matematika, belajar Geografi dari ahli Geografi, demikian pula kalau kita mau mengenal agama lain juga harus dari penganutnya. Gali dari sumber pertama, bukan dari sumber lain seperti YouTube karena bisa distorsi,” kata Daniel.
Daniel mendorong para guru secara terbuka bertanya kepada pastor, suster, atau pendeta, yang mereka temui di gereja. Para guru juga diberikan kesempatan berdiskusi secara lebih bebas karena dibagi dalam kelompok-kelompok kecil.
Diskusi dalam kelompok-kelompok kecil di GPID Pniel Kota Palu.
Guru MTs Alkhairaat Biromaru, Ernawati, mengatakan perasaannya campur aduk saat hendak berkunjung ke gereja. Keraguannya seketika sirna setelah menerima sambutan dan berdialog langsung dengan para pemuka agama di gereja.
“Pihak gereja memberikan penjelasan yang sangat akurat dan mendetail tentang siapa Tuhan mereka, bagaimana mereka memegang teguh ajaran mereka dengan penuh keyakinan,” kata Ernawati.
Senada dengan itu, Guru MTs Alkhairaat Pandere, Ahmad Afandi, mengatakan kunjungan ke gereja Katolik dan gereja Protestan di Palu memberikan banyak pengalaman tentang perbedaan agama yang bertujuan saling memahami dan toleransi.
Guru MI Alkhairaat Kawatuna, Siti Nurrasyidah, menambahkan perasaan gugup saat awal kunjungan terhapus dengan sambutan ramah dari pihak gereja.
“Setelah mengetahui dan mempelajari agama selain agama kita, ternyata tidak semenakutkan yang saya pikirkan. Pengertian (awal) saya, tidak perlu mengetahui agama lain, tapi ternyata hal itu penting agar kita berwawasan luas tanpa adanya saling anti dan menjauhi,” kata Siti.
Rasa-rasanya, testimoni para guru peserta workshop LKLB usai kunjungan ke dua gereja hari itu benar-benar terangkum dalam lirik lagu yang mereka nyanyikan: Kemesraan ini janganlah cepat berlalu. Kemesraan ini inginku kenang selalu. Hatiku damai, jiwaku tentram di sampingmu. Hatiku damai, jiwaku tentram bersamamu… [IL/Chr]
Sangat bermanfaat
Banyak yang saya dapati
Berkat penjelasan ini saya sangat memahami apa itu moderat
Literasi keagamaan lindas budaya.sangat bermanfaat