Ketua Badan Wakaf Pesantren Tebuireng (BWPT), K.H. Abdul Halim Mahfudz, Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mayjen TNI Nisan Setiadi, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, Wakil Presiden Asosiasi Lintas Agama G20, Dr. Katherine Marshall, dan Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Alwi Shihab.

Jakarta, LKLB News – Ketua Badan Wakaf Pesantren Tebuireng (BWPT), K.H. Abdul Halim Mahfudz, menyebut intoleransi dan radikalisme agama semakin menguat karena tumbuhnya ide-ide eksklusivisme di masyarakat. Kyai Nahdlatul Ulama (NU) yang biasa disapa Gus Iim itu menyoroti kemunculan sejumlah permukiman khusus umat Muslim di beberapa daerah dan pergaulan kelompok masyarakat yang homogen.

“Intoleransi dan radikalisme semakin menguat karena ada beberapa bidang penyebabnya yaitu agama, pergaulan sosial, apalagi yang menggunakan media sosial,” kata Abdul Halim dalam webinar internasional yang diadakan BWPT dan Institut Leimena dengan topik “Peran Pesantren Dalam Literasi Keagamaan Untuk Mencegah Perpecahan dan Memperkuat Kerjasama Antar Umat Beragama”, Selasa (22/11/2022) malam.

Abdul Halim mengatakan ide-ide eksklusivisme sebenarnya dipengaruhi oleh paham agama dari Timur Tengah yaitu Wahabisme dari Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Penyebarannya mempengaruhi terutama anak-anak muda lewat kelompok-kelompok kecil atau pengajian untuk mahasiswa, pelajar, maupun profesional.

Namun, Abdul Halim menegaskan bahwa pengaruh Wahabisme dan Ikhwanul Muslimin tidak bisa masuk ke pesantren karena lembaga pendidikan berbasis agama itu memiliki metode dan materi pengajaran sendiri. Pesantren adalah lembaga pendidikan asli Indonesia yang terdiri dari asrama/pondok, masjid, santri, dan fasilitas pengajaran. Beberapa pesantren didirikan ratusan tahun lalu, bahkan sebelum Belanda tiba di Batavia tahun 1596.

Pesantren tertua di Indonesia adalah Pesantren Al Kahfi Somalangu di Kebumen yang telah berusia 546 tahun. Beberapa pesantren lainnya juga berusia ratusan tahun yaitu Luhur Dondong di Semarang (413 tahun), Nazhatut Thullab di Sampang, Madura (320 tahun), Sidogiri di Pasuruan (304 tahun), Bahrul Ulum Tabakberas di Jombang (197 tahun), dan Tebuireng (123 tahun).

“Di pesantren, para santri diajarkan mengenai teks-teks Islam klasik di bawah pengawasan wali yang disebut sebagai Kyai. Pesantren bertujuan memperdalam ilmu Al-Quran khususnya lewat kajian bahasa Arab, hadits, hukum, dan logika,” ujarnya kepada sedikitnya 850 peserta webinar.

Abdul Halim menambahkan eksklusivisme semakin membagi masyarakat dalam kantong-kantong sosial dan ekonomi. “Misalnya di Bogor ada perumahan khusus orang-orang Muslim dimana mereka pada waktu salat, rumahnya diketuk dan diminta salat berjamaah, kemudian tidak menerima penghuni non-Muslim,” ujarnya.

Di sisi lain, penyebaran paham-paham Islam dari Timur Tengah berhasil menemukan momentum seiring dengan perkembangan media sosial karena memberikan kemudahan dan kebebasan dalam penyebaran paham-paham Islam eksklusif yang kerap kali berujung kepada hoax, misinformasi, fitnah, atau insinuasi.

Penafsiran Teks Agama

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar, dalam sambutannya yang dibacakan oleh Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI Nisan Setiadi, menyatakan isu-isu radikalisme, ekstremisme, intoleransi dan sejenisnya telah marak, muncul dari sifat merasa benar dan yang lain salah, bahkan mengkafirkan. Dalam konteks masyarakat Indonesia, penyebutan tujuan syariat tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai yang dibawa agama seperti keadilan (‘adalah), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasuth), dan toleransi (tasamuh).

“Pesantren harus bisa meluruskan kekeliruan seseorang dalam menafsirkan teks agama yang seringkali membuat orang memiliki pandangan sempit bahkan menciptakan tindakan ekstrem dalam beragama,” kata Boy dalam sambutannya.

Boy menegaskan ajaran toleransi dalam Islam tidak sekadar mempersilakan masing-masing menganut agamanya (lakum diinukum wa liyadiin), tapi ikut memelihara tempat peribadatan, tidak memaki, apalagi melukai dan mencederai orang lain.

“Di sinilah pesantren harus berperan memenuhi prinsip Islam, wasathiyah, dengan tidak ekstrem kanan atau kiri,” lanjutnya.

Boy menambahkan saat ini terdapat 26.976 pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara berdasarkan data dari Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. Indonesia sebagai negara mayoritas berpenduduk Islam diproyeksikan oleh Global Religious Futures 2021 akan memiliki 229,62 juta umat Islam. Angka itu sebesar 10,51% dari total penduduk Muslim di dunia.

“Dengan kondisi sebagai negara mayoritas Muslim, keberadaan Indonesia dengan keanekragaman ras, suku, agama, dan budayanya memiliki kekhasan juga dalam sistem pendidikannya. pesantren merupakan salah satu sistem pendidikan tertua khas indonesia yang terus berkembang hingga saat ini,” ujar Boy dalam naskah sambutannya.

Penandatanganan Deklarasi Toleransi antara BWPT dan BNPT di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, pada 22 Oktober 2022, yang dihadiri juga oleh Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho.

Deklarasi Toleransi

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan Deklarasi Toleransi yang ditandatangani para tokoh termasuk Kepala BNPT di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur pada 22 Oktober 2022 merupakan deklarasi yang sederhana namun padat makna. Deklarasi tersebut memiliki nilai penting karena merupakan inisiatif Pesantren Tebuireng yang didirikan pada tahun 1899 oleh Hadratussyaikh Kyai Haji Hasyim Asy’ari, seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang juga adalah tokoh pendiri Nahdlatul Ulama.

“Inisiatif Badan Wakaf Pesantren Tebuireng ini sejalan dengan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB), yakni program pelatihan para guru dan pendidik agama yang tengah dilaksanakan Institut Leimena bersama dengan berbagai lembaga pendidikan dan keagamaan,” kata Matius.

Matius menyebut program LKLB bertujuan memperkuat nilai-nilai persatuan dan keutuhan berbangsa, bernegara, dan ruh toleransi bagi Indonesia. Sejak dimulai tahun 2021, setidaknya 2,800 guru dari 33 provinsi di Indonesia telah lulus dari program ini.

Menurut Matius, inisiatif penting BWPT lewat deklarasi tersebut ditambah percakapan dengan Kyai Abdul Halim dan Kepala BNPT, Boy Rafli Amar, menyadarkan bahwa peran pesantren secara umum dalam literasi keagamaan untuk mencegah perpecahan dan memperkuat kerjasama antar umat beragama, perlu mendapat perhatian dan dukungan kalangan yang lebih luas.

“Tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di kalangan internasional. Hal ini karena tantangan yang dihadapi masyarakat majemuk, seperti Indonesia, tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga banyak dari luar negeri, dalam bentuk pengajaran-pengajaran dan ideologi-ideologi yang dapat merusak kerukunan antar umat beragama,” kata Matius.

Dalam konteks itulah, webinar internasional yang diadakan BWPT dan Institut Leimena mencoba meletakkan peran pesantren dalam konteks menjaga keutuhan bangsa dengan menangkal ideologi-ideologi ekstremisme yang memecah belah, serta mengembangkan literasi keagamaan yang memperkuat kerja sama antar umat beragama yang berbeda. [IL/Chr]