Sesi pembukaan workshop LKLB kerja sama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama Institut Leimena.
Semarang, LKLB News – Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI sekaligus Guru Besar Hak Asasi Manusia (HAM) dan Gender Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, menekankan pentingnya pembelajaran di sekolah yang mengedepankan sensitivitas terhadap hak kebebasan beragama dan supremasi hukum. Disadari, tantangan untuk menjaga kemajemukan bangsa semakin kompleks terlebih dengan masifnya media sosial yang berpotensi sebagai sarana menyuburkan diskriminasi dan stigmatisasi.
Prof. Ruhaini menilai penting bagi guru mewaspadai gejala intoleransi yang kadang dianggap lazim dalam kehidupan bermasyarakat. Dokumen UNESCO berjudul “Tolerance: The Threshold of Peace”, menyatakan gejala atau perilaku intoleransi meliputi antara lain bahasa (penghinaan atau bahasa yang merendahkan/eksklusif yang merendahkan), stereotip, menggoda/mengejek, prasangka, pengkambinghitaman (menyalahkan peristiwa traumatis atau masalah sosial pada kelompok tertentu), pengasingan (berperilaku seolah-olah orang lain tidak ada), diskriminasi, dan segregasi.
“Pemanfaatan di ruang publik harus sama antara agama dan keyakinan berbeda, gender berbeda, ras berbeda. Ini penting sekali kita sampaikan kepada anak-anak didik kita,” kata Prof. Ruhaini dalam workshop guru lintas agama mengenai Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diadakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bersama Institut Leimena di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (17/3/2022).
Dalam acara ini, Plt Direktur Jenderal HAM Kemenkumham Dr. Dhahana Putra turut menyampaikan sambutan lewat rekaman video. Peserta lokakarya merupakan gabungan guru beragama Islam dan Kristen, yaitu sebagian besar para guru madrasah di bawah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah dan para guru dari Sekolah Kristen Tritunggal Semarang.
Prof. Ruhaini mengatakan upaya menumbuhkan sensitivitas bisa dimulai dengan mengembangkan kemampuan guru dalam LKLB. Ada tiga kompetensi LKLB. Pertama, mendorong seseorang memahami agamanya sendiri terutama dalam relasinya dengan orang yang berbeda agama (kompetensi pribadi). Kedua, mengenal agama lain dan pandangan agama tersebut terhadap orang yang berbeda agama (kompetensi komparatif). Ketiga, mencari titik temu agar dapat berkolaborasi dengan orang yang berbeda agama (kompetensi kolaboratif).
“Literasi Keagamaan Lintas Budaya adalah sesuatu yang mestinya diwajibkan di seluruh sekolah karena sifatnya sangat Indonesia dan menjadi modalitas kita sebagai bangsa yang beragam,” kata Prof. Ruhaini yang pernah menjabat Staf Khusus Presiden Joko Widodo Bidang Keagamaan Internasional.
Plt Direktur Jenderal HAM Kemenkumham, Dhahana Putra, memberikan sambutan lewat rekaman video.
Prof. Ruhaini menambahkan kebebasan beragama bukan berarti bebas seenaknya melainkan harus berpedoman kepada supremasi hukum. Itulah sebabnya, narasi-narasi LKLB juga dibutuhkan sebagai pintu masuk untuk menegakkan supremasi hukum.
“Misalnya, kita mengajar Matematika, jadikan LKLB sebagai entry point seperti dalam soal cerita. Di kampung ada 10 orang pergi ke gereja, 25 orang pergi ke masjid, lalu sekian ke Pura, dan lainnya. Tujuannya agar anak-anak sensitif terhadap perbedaan dan melihatnya sebagai keniscayaan,” kata Ruhaini.
Direktur Penguatan dan Diseminasi HAM Kemenkumham, Sri Kurniati Handayani Pane.
Kesadaran Multikultural
Direktur Penguatan dan Diseminasi HAM Kemenkumham, Sri Kurniati Handayani Pane, mengatakan guru harus mendorong kesadaran multikultural dengan membangun semangat empati, kesetaraan, dan toleransi kepada peserta didik. Dia menekankan setiap orang dengan latar belakang apapun memiliki persamaan dalam haknya sebagai warga negara.
“Tidak boleh satu kelompok mendominasi dan melanggar hak kelompok yang lainnya. Kelompok mayoritas tidak boleh menlakukan hegemoni kepada kelompok minoritas. Semua ini menjadi penting dalam pendidikan sehingga tidak ada diskriminasi atas dasar ras, etnis, agama maupun gender,” ujar Sri Pane.
Sri Pane mengakui keragaman di Indonesia seringkali menumbuhkan konflik dan kekerasan. Oleh sebab itu, pendidikan harus mampu mendorong adanya etika untuk membangun konsensus dalam masyarakat.
“Kebutuhan akan konsensus ini bertujuan untuk menghormati perbedaan tanpa melanggar prinsip dari kesamaan, dan hak individu. Selain itu, pendidikan multikultural harus mampu mendorong sikap yang inklusif, toleransi dan terbuka terhadap berbagai keragaman,” kata Sri Pane.
Para peserta workshop LKLB terkait Kebebasan Beragama dan Supremasi Hukum di Semarang.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menjelaskan lokakarya LKLB kali ini yang diadakan pada 17-19 Maret 2023, merupakan lokakarya ke-6 LKLB yang diadakan Institut Leimena bersama sejumlah mitra. Dalam lokakarya kali ini, para guru difokuskan untuk mengembangkan program dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk memperkukuh kebebasan beragama dan supremasi hukum.
“Bapak ibu guru di sini adalah lilin-lilin agar kita bisa bersama-sama menerangi bangsa ini kepada penegakkan hukum,” kata Matius.
Dalam workshop LKLB kali ini juga hadir narasumber internasional yaitu Senior Fellow University of Washington, Dr. Chris Seiple, yang akan berbicara lewat zoom pada Sabtu (18/3/2023). Pada Sabtu siang, para guru peserta workshop juga akan diajak mengunjungi dua tempat ibadah di Semarang yaitu Masjid Agung Kauman dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Stadion, untuk melakukan dialog lintas agama. [IL/Chr]