Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd. Rohim Ghazali (moderator), Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin, Utusan Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Kementerian Luar Negeri Kerajaan Belanda, Bea ten Tusscher, Penasihat Senior untuk Asia Timur Pasifik dan Asia Selatan Kantor Kebebasan Beragama Internasional, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Tina Mufford, serta Pendiri Sekretariat Kebebasan Beragama Internasional, Greg Mitchell.

Jakarta, LKLB News – Kehadiran pemerintah sangat diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan bagi seluruh warga negara tanpa memandang agama dan kepercayaannya. Pemerintah bisa melibatkan berbagai lembaga lintas agama dan budaya agar tercipta masyarakat multiagama yang damai, inklusif, dan mampu berkolaborasi.

Penasihat Senior untuk Asia Timur Pasifik dan Asia Selatan Kantor Kebebasan Beragama Internasional, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Tina Mufford, dalam Sesi Panel 3 Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Hotel Kempinski, Jakarta, Senin (13/11/2023), mengatakan persoalan perdamaian, inklusi, dan hak asasi manusia (HAM) sangat relevan dibahas dalam situasi saat ini dimana dunia dalam kondisi kompleks karena terdapat disinformasi dan retorika kebencian yang meningkat secara daring dan luring.

“Ini berarti bahwa kita tidak bisa berdiskusi terkait keadilan dan inklusi jika tidak mendukung hak-hak sebagai warga maupun non-warga. Itulah mengapa ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk hadir melindungi setiap orang yang ada di dalam batas-batas wilayahnya,” kata Tina Mufford dalam sesi bertajuk “The Importance of Equal Citizenship for an Inclusive and Collaborative Multi-Faith”.

Menurut Tina, ada banyak cara untuk bisa meningkat inklusi dan kesetaraan bagi manusia. Di Amerika Serikat (AS) sendiri, mempunyai kesemaan dengan Indonesia. AS juga dikuatkan dengan keberagaman. Jika Indonesia memiliki motto Bhineka Tunggal Ika, maka AS juga memiliki motto E Pluribus Unum yaitu kesatuan dalam keberagaman.

Dengan motto ini, AS membentuk Kantor Inklusi dan Kesetaraan dengan tujuan membentuk tenaga kerja yang lebih inklusif akan menguatkan kebijakan luar negeri AS berdasarkan tiga pilar yaitu internasionalitas, transpransi dan akuntabel.

“Ini bisa memastikan merekrut dan mempertahankan tenaga kerja yang beragam, memerangi diskriminasi dan menjadi contoh teladan bagi nilai-nilai inti berdasarkan prinsip keberagaman, inklusi dan aksesibilitas,” lanjut Tina.

Paparan para narasumber dalam Panel 3 Konferensi Internasional LKLB.

Selain itu, Pemerintah AS juga membentuk Komite Kebijakan Antar Etnis Linta Budaya pada Desember 2022. Komite berdiri untuk mengatasi isu diskriminasi dan xenophobia. Komite juga bekerja untuk menyusun strategi nasional untuk memerangi antisemitisme dan Islamofobia.

“Bekerja sama dengan tokoh masyarakat, legislatif, dan anggota masyarakat lainnya, Pemerintah menetapkan dan menegaskan tidak ada tempat bagi kebencian bagi semua orang di wilayah AS,” ungkap Tina.

Tina menambahkan pentingnya memerangi kebencian dan menumbuhkan rasa toleransi lintas agama. Artinya, meski kita tidak meyakini atau tidak menerima keyakinan seseorang, tetapi kita bisa sepenuhnya menghormati hak mereka untuk hidup sesuai dengan keyakinan mereka. 

“Saya ingin menekankan sekali lagi, bagaimana kebencian menjadi penghambat dari inklusi. Tindakan kekerasan atas dasar kebencian tidak akan mendorong perdamaian dan menegakkan hak satu kelompok. Kita bertanggung jawab untuk memerangi kebencian dalam segala bentuk, kemudian mendorong kesetaraan dan inklusi bagi semua pihak,” kata Tina.

Tina Mufford membagikan pengalaman kehadiran pemerintah dalam isu kebebasan beragama di Amerika Serikat.

IRF Roundtable

Pendiri dan Ketua Sekretariat Kebebasan Beragama Internasional (IRF Secretariat), Greg Mitchell, mengatakan kegiatan IRF Roundtable tidak akan terjadi tanpa dukungan pemerintah. Dalam meja bundar tersebut, para tokoh pemuka lintas agama berdiskusi, komunitas agama bertemu secara rutin untuk berbagi cerita dan tantangan yang dihadapi. Setelah mengetahui berbagai masalah, kemudian mencoba bersatu dan beraksi sebagai masyarakat yang setara dan inklusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

“Kami juga melibatkan pemerintah dalam upaya ini dari berbagai komunitas lintas agama dan juga elemen pemerintah. Kita bekerja sama secara konstruktif. Ini adalah advokasi lintas agama. Kami juga bekerja sama dengan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kebijakan publik dan mengatasi berbagai masalah sosial,” jelas Greg Mitchell.

Senada dengan itu, Utusan Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Kementerian Luar Negeri Kerajaan Belanda, Bea ten Tusscher, mengatakan kebebasan  untuk mengekspresikan pikiran, nurani dan agama harus bebas dari rasa takut dan kekurangan. Namun, tetap dibutuhkan negara hukum untuk menciptakan masyarakat yang damai dan inklusif dimana kesetaraan warga negara diperlakukan secara adil.

Di Belanda sendiri, untuk mendorong kesetaraan warga negara, pihaknya aktif melawan intoleransi dan diskriminasi. Pemerintah Belanda bekerja aktif melawan rasisme dan diskriminasi, bahkan sejak 2021 telah memiliki koordinator nasional yang menjalankan

Program untuk mendorong kesetaraan dan inklusi. Selain itu, dibentuk komisi negara yang melakukan investigasi tindakan diskriminasi dan rasisme.

“Apa yang kami lakukan di Uni Eropa juga menarik. Baru-baru ini ditunjuk satu utusan khusus (special envoy), untuk memberantas kebencian anti-Muslim. Meski belum mendapatkan dukungan penuh, saya berusaha mendukungnya. Jadi kita perlu terus mendorong toleransi dan kesepahaman untuk mendukung integrasi dan inklusi dalam melawan ujaran kebencian,” tutur Bea.

President of G20 Interfaith Forum Association, Cole Durham, Jr., dan Senior Fellow Institut Leimena sekaligus salah satu hakim konstitusi pertama Indonesia, Maruarar Siahaan, menyimak paparan narasumber.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin menegaskan kewarganegaraan yang setara berhubungan erat dengan proses pembentukannya. Jika di banyak negara, bangsa muncul setelah negara, Indonesia melewati jalur berbeda, yaitu bangsa sudah ada sebelum negara.

“Pada tahun 1928, suatu bangsa bernama Indonesia sudah dinyatakan keberadaannya di Indonesia. Ini diprakarsai oleh begitu banyak kelompok etnis yang besar di Indonesia,” ujar Ruhaini.

Namun, dalam perkembangannya, kerumitan masalah sebagai bangsa semakin lama semakin meningkat karena pengkotak-kotakan. Indonesia menghadapi tantangan harus berusaha keras untuk menggabungkan semua bagian-bagian yang berbeda supaya solid atau bersatu. 

“Karena itu, moderasi agama dan budaya diarusutamakan oleh pemerintah bersama masyarakat sipil. Salah satu mekanisme, satu metodologi yang digunakan oleh Institut Leimena, dalam hal literasi keagamaan lintas budaya dalam rangka mengusung dan menegakkan melanjutkan moderasi beragama,” kata Ruhaini. [IL/Chr]