Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Alwi Shihab, dalam webinar internasional kerja sama Institut Leimena dan Pesantren Tebuireng.

Jakarta, LKLB News – Pakar hubungan lintas agama dan Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Alwi Shihab mengatakan umat beragama perlu memiliki kompetensi untuk mencegah fanatisme buta dan aksi kekerasan dalam menyikapi perbedaan pandangan. Dalam Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB), salah satu yang dilatih adalah kompetensi pribadi yaitu bagaimana seseorang mempelajari ajaran agamanya sendiri dengan merujuk kepada sumber utama.

“Kompetensi pribadi paling dasar sebagai usaha untuk mencapai hasil maksimal dalam memahami ajaran agama masing-masing. Bagi seorang Muslim, harus kembali kepada prime source yaitu Al-Qur’an,” kata Alwi dalam webinar internasional yang diadakan oleh Badan Wakaf Pesantren Tebuireng (BWPT) dan Institut Leimena dengan topik “Peran Pesantren Dalam Literasi Keagamaan Untuk Mencegah Perpecahan dan Memperkuat Kerjasama Antar Umat Beragama”, Selasa (22/11/2022) malam.

Alwi mengatakan Al-Qur’an telah memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat komprehensif dan luas dalam berhubungan dengan pihak lain secara bersahabat. Allah SAW, ujarnya, menginginkan umat Muslim menjalankan agama secara moderat dan menghindari ekstremisme baik ke kiri atau kanan.

“Kita diajarkan tidak mencederai agama lain yang tidak sesuai agama kita. Janganlah sekali-kali umat Islam menciderai dan mencaci agama lain,” ujar Alwi yang merupakan utusan khusus presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerjasama Islam pada 2016-2019.

Alwi mengingatkan umat Islam agar berhati-hati dengan pandangan ulama terutama yang mengajarkan intoleransi terhadap umat beragama lain. Sebab, Al-Qur’an dan keteladanan Nabi Muhammad SAW sendiri menunjukkan sikap toleransi yang tinggi.

“Ada kelompok yang tidak memperkenankan gereja dibangun di Cilegon atau tidak mau menerima pembangunan masjid Muhammadiyah di Aceh, itu semua sama sekali tidak Islami,” ujarnya.

Kunjungan guru madrasah peserta workshop LKLB ke Gereja Katolik Santa Maria Palu, Sulawesi Tengah, akhir Oktober 2022, sebagai upaya meningkatkan saling pemahaman antar agama dengan mempelajari langsung dari penganut agama itu sendiri.

Alwi juga mencontohkan seorang ustad yang menyitir hadis Nabi bahwa mereka yang memakai celana atau jubah di bawah tumit akan masuk neraka, sehingga mendorong orang-orang memakai ‘celana cingkrang’. Menurutnya, ucapan itu sangat berbahaya karena tidak disampaikan sesuai konteks bahwa hadits itu dimaksudkan untuk mereka yang berpakaian dibarengi arogansi serta menunjukkan kemewahan.

Hal senada kerap terjadi saat perayaan Hari Raya Natal karena munculnya fatwa yang melarang ucapan “Selamat Hari Natal”. Menurut Alwi, ucapan selamat bagi Nabi Isa sebenarnya sudah dimulai dalam Al-Quran, yaitu selamat sejahtera saat Nabi Isa dilahirkan, meninggal, dan dibangkitkan kembali. Sekalipun ada kelompok yang melarang pengucapan selamat tersebut, semata dipengaruhi oleh situasi setelah Perang Salib. Alwi menyebut larangan itu bagaimana pun sama sekali tidak sesuai anjuran Nabi Muhammad.

“Jadi perbedaan sumber utama yaitu Al-Qur’an dan hadis dengan pandangan ulama itu berbeda sehingga timbul hal-hal yang kita hadapi sekarang, seakan-akan Islam tidak toleran,” lanjutnya.

Katherine Marshall, Vice President G20 Interfaith Association (IF20).

Ketimpangan Akibat Pandemi

Wakil Presiden Asosiasi Lintas Agama G20, Dr. Katherine Marshall, mengatakan Indonesia, yang menjadi sorotan sebagai presiden G20, diharapkan bisa menunjukkan pentingnya suara pemimpin agama dalam agenda-agenda global. Dunia saat ini membutuhkan penyelesaian umat manusia khususnya krisis akibat pandemi global.

Katherine menjelaskan pandemi telah menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan sosial. Diantaranya, disrupsi pendidikan kepada 1,6 miliar anak di dunia yang kehilangan waktu belajar sangat signifikan karena penutupan sekolah. Di sisi lain, wabah atau pandemi yang pernah terjadi dalam sejarah seperti pes, kolera, atau HIV/AIDS juga terkait dengan peningkatan konflik.

“Selama pandemi Covid-19, konflik termasuk perang, kekerasan meningkat, termasuk polarisasi dan perpecahan di masyarakat. Ini menempatkan beban besar bagi masyarakat keagamaan dan kualitas moderasi yang kita diskusikan,” ujar Katherine.

Katherine menambahkan pandemi memicu kerisauan global tentang arah dan keberhasilan pendidikan sehingga peran agama menjadi penting. Menurutnya, sistem pendidikan seperti pesantren yang dijalankan oleh masyarakat atau entitas keagamaan bisa menjadi salah satu contoh. Banyak negara juga menerapkan berbagai sistem pendidikan di tingkat sekolah sampai pendidikan tinggi yang dijalankan komunitas keagamaan.

“Jadi edukasi oleh agama seperti pesantren di Indonesia adalah salah satu contoh penting yang perlu dipahami lebih baik pada tataran global,” lanjutnya.

Katherine menyebut pemimpin agama masa depan harus mendapatkan pendidikan tidak hanya dari sisi agama tetapi juga isu-isu global tentang konflik, ketimpangan, sistem yang berjalan saat ini. Indonesia yang memiliki pendidikan khas yaitu pesantren bisa menjadi bagian dari refleksi global dari masa depan keagamaan.

“Intinya bagaimana sistem keagamaan bisa menautkan peran agama dengan tantangan lebih luas,” katanya. [IL/Chr]