Para narasumber dan moderator Sesi Panel 2 bertemakan “Religious Literacy to Promote Human Dignity in a Multi-Faith” dalam Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya, Senin (13/11/2023).
Jakarta, LKLB News – Metode pendidikan agama yang diajarkan di sekolah saat ini dinilai mengalami kebekuan karena kurang memberikan ruang untuk mengenal perbedaan atau kemajemukan. Kondisi itu bisa memicu munculnya berbagai kasus pelarangan beribadah karena minimnya rasa empati antar umat beragama.
Hal itu disampaikan oleh Senior Fellow Institut Leimena sekaligus Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Amin Abdullah, saat diskusi panel 2 bertajuk “Religious Literacy to Promote Human Dignity in a Multi-Faith” yang diadakan dalam rangka Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diadakan Kementerian Hukum Hak Asasi Manusia dan Institut Leimena di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Senin (13/11/2023).
“Kita melihat bahwa guru-guru mulai dari SD/MI, SMP/MTs, sampai SMA/MA kurang diberi akses untuk mengenal dan memahami ajaran agama dan kepercayaan kelompok lain yang berbeda dari dirinya. Akibatnya, berhadapan dengan politik pendidikan agama, sehingga terjadi pelarangan karena adanya kebekuan metode dalam pendidikan agama,” kata Prof. Amin.
Guru besar ilmu filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, itu mengatakan literasi keagamaan sangat penting diperkenalkan demi mempromosikan martabat manusia di tengah era multikultural. Jika hanya mengandalkan pada aturan hukum, maka penegakkan HAM akan menjadi sangat berat.
“Kalau kita hanya terjebak pada masalah aturan hukum, saya kira berat sekali untuk menegakkan HAM. Karena itu yang dipentingkan sekarang adalah literasi keagamaan melalui pendidikan,” kata Amin Abdullah.
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Inayah Rohmaniyah, menjadi moderator Sesi Panel 2.
Menurutnya, upaya menerobos kekakuan dalam pendidikan agama itu telah dilakukan Institut Leimena bersama berbagai lembaga mitranya di tanah air lewat program literasi keagamaan lintas budaya (LKLB). Tujuannya untuk membantu para guru, khususnya guru dan penyuluh agama, di seluruh Indonesia agar dapat mengenal literasi agama.
“Untuk bisa masuk menghargai martabat manusia melalui jalur pendidikan, bukan lewat jalur hukum saja,” ujar Amin.
Saat ini, lanjut Amin, sudah ada sekitar 6.000 orang guru yang mengikuti program LKLB. Mereka senang mendapatkan pelatihan ini karena mendapatkan ilmu baru yang tidak didapat dari pendidikan sebelumnya, sehingga dapat membuat pemikiran mereka semakin terbuka tentang keberagaman agama dan budaya.
Amin menjelaskan ada tiga kompetensi yang diterapkan dalam LKLB, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi komparatif dan kolaborasi. Kompetensi pribadi mengajarkan para guru agama maupun pelajaran lain memahami dan mengetahui ajaran agama mereka sendiri dengan seutuhnya dan sebaik mungkin. Guru harus memahami kitab suci dalam artian untuh tidak dipenggal disesuaikan kepentingan-kepentingan.
Kompetensi komparatif, mengajarkan para guru tidak hanya memahami agama sendiri, tetapi juga harus mengetahui agama orang lain. Sedangkan kompetensi kolaborasi, diharapkan para guru dapat berkolaborasi di dalam negara yang sangat multikultural.
Mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional, David Saperstain, saat menyampaikan paparannya.
Tidak Tergantung Identitas Agama
Sementara itu, Mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional, David Saperstain, mengatakan hak-hak individu sebagai warga negara tidak boleh bergantung pada identitas agama atau keyakinan bahkan praktik-praktik dari keagamaan atau keyakinan mereka. Sebaliknya, harus mengakui HAM dengan memperlakukan semua manusia sama dalam kesetaraan.
“Seorang filsuf Yunani mengatakan relasi adalah aku dan kamu, bukan relasi aku dan itu. Karena kalau kamu dan itu, berarti kita menjadikan orang lain objek, jika kita sudah memulai itu, kita menganggap seseorang tidak lagi manusia, maka inilah yang menjadi jalan yang berbahaya, bisa berujung pada persekusi, kekerasan, bahkan perang,” ujar Saperstain.
Saperstain melanjutkan masyarakat harus merangkul kemanusiaan mereka yang memeluk agama yang berbeda dalam wujud toleransi. Toleransi merupakan tahap dimana manusia siap mengakui kebebasan dan memahami manusia lain yang berbeda agama, keyakinan atau budaya.
“Dalam literasi keagamaan lintas budaya, terjadi dialog dan diskusi membahas perbedaan-perbedaan yang dimiliki tanpa dikekang rasa takut. Bersosialisasi dan saling belajar makna dan ajaran agama lain serta dapat mendiskusikannya dengan damai,” katanya.
Sesi tanya jawab yang berlangsung interaktif.
Sementara itu, Direktur Jenderal Institut Pemahaman Islam Malaysia (IKIM) Prof Madya Mohamed Azam Mohamed Adil, menyatakan martabat manusia bisa saja tergerus dalam masyarakat multikultur dan multiagama karena keangkuhan dan kesombongan akibat rasa paling benar dalam diri seorang manusia. Untuk itu, dibutuhkan pemahaman bahwa HAM merupakan hak yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga orang-orang tidak bisa sewenang-wenang mengambil hak insani seseorang, karena itu sesuatu yang sudah dijamin kepastiannya.
“Sebagai satu bangsa yang multikultur, kita tidak merusak atau saling bertengkar demi sebuah agama atau keyakinan. Kita harus berbicara tentang kita, jadi tidak bicara tentang saya atau anda, agar terjadi perdamaian dan kebebasan beragama,” terang Mohamed.
Direktur Eksekutif The Network for Religious and Traditional Peacemakers Mohamed Elsanousi, menyebut empat hal untuk mempromosikan martabat manusia, yaitu memajukan literasi keagamaan untuk mendukung masyarakat dengan multi agama; mengakui dan mempertimbangkan teologi kontektual dalam rangka menjawab dan meningkatkan literasi keagamaan; kebebasan agama dan keyakinan adalah landasan kemakmuran serta mencegah kekerasn;serta mendukung adanya peluang pendidikan untuk mendorong literasi keagamaan bagi perempuan dan pemuda. [IL/Chr]