Para pembicara Sesi Panel 1 Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya bertemakan “Human Dignity and Rule of Law: Global and Regional Outlook”, di Hotel Kempinski, Jakarta, 13 November 2023.
Jakarta, LKLB News – Indonesia mendorong pembahasan agenda hak asasi manusia (HAM) di tingkat internasional bisa dilakukan dengan semangat konstruktif. Disadari saat ini terdapat sejumlah tantangan dalam Komisi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang bisa menjadi hambatan dalam penerapan HAM.
“Negara-negara perlu mendapatkan kembali ruang untuk mendiskusikan HAM dengan semangat konstruktif dan terbuka di bawah sentuhan geopolitik, mengingat tidak ada yang sempurna,” kata Deputi Wakil tetap RI pada Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Trade Organization (WTO), dan organisasi internasional lainnya di Jenewa, Swiss, Achsanul Habib, dalam Sesi Panel 1 Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) di Hotel Kempinski, Jakarta, 13 November 2023.
Dubes Habib menjadi salah satu pembicara dalam Sesi Panel 1 Konferensi Internasional LKLB dengan tema “Human Dignity and Rule of Law: Global and Regional Outlook” bersama Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Arsul Sani, Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum, dan Direktur Pusat Internasional untuk Studi Hukum dan Agama dari Universitas Brigham Young, Brett Scharffs.
Dubes Habib mengatakan terdapat sejumlah tantangan dalam Dewan HAM, antara lain sulitnya mencapai konsensus terlebih jika menyangkut sorotan terhadap resolusi spesifik negara dan isu-isu tematik. Akibatnya, tidak ada consensus karena keputusan harus diambil melalui voting.
Tantangan kedua adalah seringkali isu yang diajukan dalam agenda pembahasan Dewan HAM hanya menyangkut kepentingan satu sisi atau satu pihak, bukan kepentingan bersama. Sedangkan, tantangan ketiga adalah bagaimana memaknai kebebasan berekspresi dari negara-negara tertentu yang cukup dominan di dalam HAM.
”Menyadari tantangan tersebut, ini adalah semangat yang memang harus kita kembangkan. Mari kita lakukan hak asasi manusia untuk tujuan hak asasi manusia, bukan hak asasi manusia sebagai alat untuk tujuan politik atau kepentingan politik,” tegas Habib.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Arsul Sani, saat menyampaikan paparan.
Dubes Habib menambahkan Hari HAM Internasional diperingati setiap tanggal 10 Desember sejalan dengan pengesahan Deklarasi Universal HAM (DUHAM) pada 10 Desember 1948. Berdasarkan DUHAM, lanjut Achsanul, PBB membentuk Dewan HAM pada 2006 untuk menggantikan Komisi HAM.
Dengan adanya Dewan HAM PBB, negara-negara di dunia mengharapkan ada upaya lebih lanjut untuk melakukan monitoring pemajuan HAM, advokasi untuk memberikan pemahaman HAM, dan pengembangan kapasitas untuk membantu negara-negara mengimplentasikan nilai-nilai HAM.
Sementara itu, Arsul Sani menerangkan martabat manusia dan HAM di Indonesia sudah ada dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi dasar tertinggi dan Pancasila sebagai dasar negara.
“Secara spesifik Indonesia telah menyeimbangkan pelaksanaan harkat dan martabat manusia serta HAM sebagai hak konstitusional. Konstitusi kita juga memasukkan kewajiban untuk menghormati hak warga negara lain ketika warga negara tersebut menggunakan haknya,” ungkap Arsul.
Peserta konferensi bisa bertanya secara interaktif dalam setiap sesi.
Ekosistem HAM di ASEAN
Yuyun Wahyuningrum menambahkan supremasi hukum adalah kendaraan untuk mempromosikan perlindungan HAM agar dapat bekerja membangun kehidupan yang bermartabat, damai dan sejahtera.
“Kita dapat menggunakan aturan hukum untuk meningkatkan pemajuan dan perlindungan HAM. Kita membutuhkan ekosistem HAM di ASEAN. Ekosistem ini meliputi penguatan aturan hukum,” kata Yuyun Wahyuningrum.
Sedangkan Brett Scharffs membagikan tujuh gagasan bagaimana martabat manusia dapat membantu individu atau masyarakat saat berada dalam masa-masa konflik. Pertama, betapapun sulitnya, masyarakat harus menahan godaan untuk tidak memanusiakan satu sama lain atau menghindari dehumanisasi musuh.
Kedua, menghindari menyalahkan kelompok atas kejahatan yang dilakukan oleh individu atau orang-orang tertentu yang termasuk dalam kelompok tersebut. Ketiga, mengurangi pemikiran tentang kita versus mereka.
“Kita perlu melangkah mundur dan mengingat bahwa kita semua adakah kita dan kita semua adalah mereka. Kita semua adalah manusia,” kata Scharffs.
Gagasan keempat, menghilangkan kecenderungan untuk melihat dengan sangat jelas kesalahan yang dilakukan musuh yang akan memicu masyarakat untuk melaukan mobilisasi tindakan sendiri melawan musuh tersebut. Untuk gagasan kelima, berkaitan dengan aturan-aturan yang ada di Konvensi Jenewa, yaitu aturan yang mengatur cara berperilaku pada saat konflik agar tidak merugikan masyarakat sipil.
“Keenam, saling mengenal dan memahami satu sama lain. Tidak hanya melihat manusia sebagai target yang jauh tetapi sebagai manusia mencoba saling memahami sehingga perang atau tragedi kemanusiaan tidak terjadi. Ketujuh, martabat manusia itu harus mengakui bahwa masing-masing dari kita memiliki hak untuk hidup baik sebagai individu maupun manusia,” papar Scharffs. [IL/Chr]