Oleh: Sultan

Setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau kepercayaan sehingga tidak seorang pun boleh dipaksa untuk menganut dan memeluk agama atau kepercayaannya sendiri. Kebebasan beragama itu dijamin oleh negara lewat Konstitusi.

Kebebasan internal merupakan kebebasan setiap orang dalam berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Kebebasan ini mencakup hak untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinan. Sedangkan, kebebasan eksternal merupakan kebebasan setiap orang baik secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik, atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadahannya.

Tidak seorang pun dapat menjadi subjek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan keyakinan. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun.

Kebebasan beragama merupakan kebebasan seseorang untuk memilih dan mengungkapkan keyakinan agamanya tanpa harus ditekan atau didiskriminasikan atas pilihannya tersebut. Kalau aku memilih agama Islam misalnya, maka aku tidak boleh ditekan, baik untuk menganut agama atau kepercayaan itu ataupun untuk mengungkapkan peribadatannya, seperti beribadah di depan umum.

Sejauh ini suasana kebebasan beragama di Indonesia secara umum sudah cukup baik, meskipun ada kecenderungan-kecenderungan yang meresahkan karena munculnya sikap-sikap yang bertentangan dengan hak asasi manusia tersebut. Misalnya terlihat dari kasus yang terjadi saat ini di Indramayu, yaitu Pondok Pesantren Al-Zaytun yang penerapan  syariat Islam berbeda diantaranya yaitu pada saat berlangsung salat barisan laki-laki dan wanita bercampur dan muadzin menghadap ke jamaah.

Salah satu hal yang membuat kita risau akhir-akhir ini adalah bahwa orang yang mengungkapkan bentuk keberagaman yang berbeda dianggap sebagai sesuatu yang meresahkan masyarakat. Padahal selayaknya dengan prinsip kebebasan beragama bahwa setiap individu diperbolehkan menerapkan bentuk agamanya sesuai keyakinan masing-masing selama tidak melanggar hak-hak orang lain. Sebab dalam teks undang-undang kita tercantum dalam hal itu; bahwa setiap warga negara dijamin kebebasannya untuk memilih serta menjalankan agama dan keyakinan masing-masing. Jika aku seorang Muslim dan memiliki keyakinan dan pemahaman keislaman yang berbeda dari orang-orang lain yang kebetulan juga Muslim, maka kebebasan aku tidak boleh dibatasi hanya dengan alasan bahwa apa yang saya yakini bertentangan dengan keyakinan dan pendapat umum dalam umat Islam.

Menyikapi permasalahan di atas, literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) hadir sebagai sebuah pendekatan yang menawarkan perdamaian melalui berbagai program dan inovasi bagi masyarakat Indonesia khusunya para alumninya. LKLB menjadi wadah bagi setiap insan yang hendak menerapkan sikap saling memahami sesama manusia. Hal ini menjadi angin segar bagi para tenaga pendidik. 

Ketika perbedaan semacam itu hanya dihadapi dengan kritik dan sikap keberatan, maka bisa dipastikan tidak muncul persoalan di sana. Nah, yang menjadi masalah adalah jika perbedaan itu dihadapi dengan pembungkaman hak hidup dari kelompok dan ajaran yang dinyatakan berbeda tersebut.

Dalam Al-Quran surah Ali Imran yang berbunyi la ikraaha fid diin (tidak ada paksaan dalam hal memeluk agama). Ayat ini sering ditafsirkan sebagai kebebasan untuk memeluk agama dalam arti tidak ada paksaan bagi setiap orang untuk beragama Hindu, Buddha, Kristen, Islam dan lain sebagainya. Namun jika seseorang sudah memilih agama Islam, maka begitulah tafsir yang lazim, maka dia akan dipaksa untuk mengikuti aliran pemikiran atau kelompok tertentu. Kebebasan beragama di sini tampaknya berupa kebebasan selektif.  

Dalam setiap agama selalu ada bentuk-bentuk keyakinan yang dominan dan resmi yang diwakili oleh institusinya. Dalam ajaran agama Islam di Indonesia misalnya, kita mengenal lembaga-lembaga seperti Muhammadiyah, Majelis Ulama, Nahdatul Ulama, Front Pembela Islam dan sebagainya. Setiap orang yang berada dalam agama tersebut ditekan dan dipaksa untuk mengikuti pendapat dan keyakinan resmi itu. Jika ada yang berbeda dari pendapat resmi tersebut, maka dia akan dimusuhi atau lebih jauh lagi dia akan dikucilkan bahkan dikeluarkan dari agama tersebut. Dalam Islam misalnya, dianggap murtad atau keluar dari agama Islam.

Agama memiliki fungsi pemersatu masyarakat. Namun, jangan sampai fungsi intergratif ini mengekang kebebasan individu untuk berekspresi. Pengakuan tentang adanya kebebasan individual di tengah fungsi integratif agama ini sangat penting, dan mampu menjadi jalan tengah untuk mendamaikan keduannya. Konstitusi negara kita telah menjamin kebebasan beragama; kebebasan untuk menganut agama tertentu. Nah yang masih kurang adalah jaminan kebebasan interrnal dalam suatu agama.

Kembali ke masalah diskriminasi agama. Banyak sekali kelompok-kelompok umat islam yang menganggap bahwa kelompok di luar dirinya adalah sesat. Bahkan kelompok-kelompok luar tersebut bukan hanya didakwah sesat, tempat-tempat ibadah mereka pun dirusak. Misalnya seperti yang terjadi pada masjid-masjid sekte Ahmadiyah pada tahun 1980.

Akhirnya, saya sepakat dengan pendapat bahwa kebebasan beragama adalah salah satu pilar penting menuju masyarakat yang terbuka dan maju. Saya setuju bahwa masyarakat terbuka adalah sebuah masyarakat yang terbangun dari kebebasan individu, di mana kebebasan beragama merupakan salah satu bagain penting di dalamnya.

Kebebasan beragama merupakan kebebasan seseorang untuk memilih dan mengungkapkan keyakinan agamanya tanpa harus ditekan atau didiskriminasikan atas pilihannya tersebut.

Profil Penulis

Sultan

Alumni LKLB Angkatan 8

Guru MA Al-Ma’arif Bilae, Bone, Sulawesi Selatan

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *