Oleh: Hamka Taking

Indonesia merupakan wilayah kepulauan yang sangat majemuk dengan total populasi lebih dari 282 juta jiwa per 2023 (wordometer 2023). Keberagaman dalam masyarakat Indonesia bisa sebagai tantangan sekaligus peluang atau potensi dalam kehidupan keberagaman. Disebut tantangan karena dapat menimbulkan perbedaan yang memicu perselisihan terutama dalam hal agama, keberagaman budaya termasuk kekayaan alamnya juga bisa bernilai ekonomi karena mendatangkan devisa.

Nusantara mulai dari Sabang sampai Merauke terhampar sekitar 17.508 pulau terdiri dari 5 pulau besar dan ribuan pulau kecil (Kompas.com), dihuni 1.340 suku serta memiliki lebih dari 300 kelompok etnik (BPS 2010). Indonesia mengakui 6 (enam) agama antara lain Islam,Protestan, katolik, Hindu,Budha, dan Konghucu.  Suku Jawa sendiri merupakan kelompok terbesar di Indonesia dengan jumlah yang mencapai 41% dari total populasi. 

Mengelola Indonesia tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena beragamnya masyarakat dan praktik keagamaannya. Namun, sebenarnya tidaklah serumit apa yang dipersepsikan banyak orang karena adanya landasan bernegara yang telah ditanamkan para pendahulu bangsa. Kita akui dalam perjalanan Indonesia masih ada golongan yang merasa paling NKRI dan lainnya hanyalah benalu dan pendatang yang tidak berkontribusi kepada NKRI. Sikap seperti ini harus dijauhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  

Dalam era globalisasi seperti sekarang ini serta dalam rangka menyongsong generasi Indonesia emas 2045, segala elemen bangsa harus bersatu dan berkolaborasi dalam membangun persatuan bangsa di atas keberagaman. Agama akan tetap bersemayam dalam hidup manusia, sebaliknya yang perlu disemai adalah nilai-nilai ajaran agama dianut oleh masing-masing pemeluknya. Penganut agama tidak perlu menjadi Tuhan kemudian menghakimi pemeluk agama lain sebagai sesat dan tidak akan selamat.

Tantangan Literasi Keagamaan Lintas Budaya  (LKLB) di Indonesia cukup kompleks. Di samping karena keragaman suku, budaya, dan agama, kehadiran LKLB di Indonesia juga bisa dipersepsikan lain oleh oknum yang tidak mengenal konsep LKLB secara dalam. Diantaranya, bisa dianggap sebagai wadah sinkretisme agama. Sama halnya dengan  moderasi beragama yang dipelopori oleh Kementerian Agama Republik Indonesia atau istilah yang pernah meramaikan jagat maya, “Kristen Muhammadiyah”. 

Adanya “pribadi yang bersumbu pendek”, dalam arti mereka cenderung mengurusi persoalan bahkan mencari-cari kesalahan orang lain. Hal ini sudah bertentangan dengan anjuran Tuhan “Dan janganlah mencari-cari keburukan dan menggunjing satu sama lain…” (QS. Al-Hujurat 49 : 12).   

Seorang oknum atau individu yang hanya melihat dari sudut pandang atau kaca mata kuda tidak akan menemukan jawaban dari tanda tanya dari dalam benaknya. Ia akan menemukan jawaban dari tanda tanya besar jika ia telah bergumul dan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan pelatihan LKLB. 

Ini juga merupakan tantangan lain dari LKLB yaitu meyakinkan oknum atau individu bahwa kehadiran LKLB di tengah-tengah masyarakat Indonesia adalah memperkaya pemahaman individu secara umum sebagai anggota masyarakat dan secara khusus sebagai bangsa Indonesia bisa hidup berdampingan secara damai, aman, dan sentosa dalam sebuah kemajemukan yang dikenal dengan sebutan Nusantara.

Bagaimana seharusnya lembaga pendidikan dan masyarakat mengajak anak- anak bangsa dari berbagai latar belakang agama, suku dan budaya yang berbeda supaya memahami dan menemukan makna dari agama yang mereka jalankan dan Imani? Bagaimana memulai dan mengajak anak-anak bangsa untuk gemar berkolaborasi dalam kehidupan beragama sehingga bisa menemukan pesan-pesan dan makna dari agama yang menjadi keyakinannya? 

Di sinilah LKLB menjadi terasa sangat istimewa karena praktik yang disarankan oleh para narasumber tidak hanya didasarkan pada kitab suci agama, tetapi juga realitas kehidupan yang sangat relevan dan dapat diterapkan dalam masyarakat majemuk.  

Pelatihan Literasi Keagamaan Lintas budaya (LKLB) menambah wawasan dan menjadikan peserta semakin peka dan sadar bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan banyak  informasi yang mengandung kebenaran dan layak diteruskan kepada orang lain. 

Kegiatan pelatihan LKLB sewajarnya diajarkan dan diperkenalkan kepada setiap elemen masyarakat, terutama dunia pendidikan. Hal ini akan membentuk masyarakat sejak dini yang paham dan sadar perbedaan agama, suku, dan budaya, sehingga erhindar dari perilaku tidak bertanggung jawab seperti ujaran kebencian atas agama dan budaya seseorang.

Bagi seluruh tenaga pendidik, baik guru maupun dosen, hendaknya bertanya-tanya  mengapa ada murid yang menjaga jarak (tidak bergaul) dengan murid yang tidak seiman dengan dia?  Jika setelah ditelusuri jawabannya hanya karena beda agama, maka praktik semacam itu tidak boleh berlanjut. Kita sebagai pendidik seharusnya memberikan pemahaman kepada para murid bahwa semua manusia setara dalam pandangan Sang Pencipta, apa pun agama, suku, dan budayanya.

Pendidikan diakui belum merata kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Jangankan di pelosok, mereka yang tinggal di perkotaan juga belum sepenuhnya dapat merasakan bagaimana menempuh pendidikan di sekolah. Dunia pendidikan khususnya pendidikan dasar harus menjadi corong utama dan mitra kolaborasi LKLB pada sekolah-sekolah dasar yang motori dan digerakkan oleh para guru, khususnya guru mata pelajaran agama dan budi pekerti. Pada akhirnya, salah sastu tujuan Kurikulum Merdeka dapat tercapai yaitu mewujudkan peserta didik dengan jiwa profil Pancasila Bhineka Tunggal Ika.

Suatu kebanggaan dan keistemewaan bagi saya pribadi karena dapat mengakses setiap kegiatan dari program LKLB yang diadakan oleh Institut Leimena. Kegiatan pelatihan LKLB menjadikan seseorang mendapat banyak masukan dari para narasumber kawakan tingkat nasional dan internasional. Rasa bersyukur dan bergembira adalah ungkapan yang paling tepat diucapkan para alumni LKLB karena telah mengenal LKLB sebagai wadah atau sarana bagi guru, dosen, dan orangtua, serta setiap elemen bangsa  untuk dapat mendalami dan memahami setiap perbedaan agama dan budaya.

Jika berbicara tentang LKLB, perumpamaan yang tepat adalah LKLB selayaknya makanan yang sudah matang dan siap disantap. Beruntunglah orang-orang yang terlibat dalam setiap kegiatan LKLB, khususnya para alumni, karena memiliki banyak modal untuk digarap sebagai pendidik.

Ucapan terima kasih  saya kepada teman yang telah mengirimkan tautan pendaftaran Pelatihan LKLB pada 12 Maret 2023. Selamat kepada Institut Leimena yang terus berjuang melahirkan para alumni LKLB yang sangat mengispirasi. Setiap pelatihan sangat layak untuk diikuti dan akan membantu setiap peserta pelatihan dalam meningkatkan kemampuan pemahaman keagamaan dan keberagaman.

Dalam era globalisasi seperti sekarang ini serta dalam rangka menyongsong generasi Indonesia emas 2045, segala elemen bangsa harus bersatu dan berkolaborasi dalam membangun persatuan bangsa di atas keberagaman.

Profil Penulis

Hamka Taking

Alumni LKLB Angkatan 29

Guru UPTD SDN 3 Parepare, Sulawesi Selatan

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *