Oleh: Indira Noor Hasanah

“Indonesia itu negara kepulauan; bermacam suku, agama, dan budaya ada di Indonesia. Untuk mempertahankan keutuhan negara kita tercinta ini, kita harus memiliki sikap toleransi, saling menghormati antar suku, agama, dan budaya.” 

Itulah penggalan ceramah guru saya pada pelajaran PMP atau Pendidikan Moral Pancasila ketika duduk di bangku sekolah dasar. Sebenarnya, bagi anak berusia sembilan tahun ketika itu, hal tersebut terkadang terasa seperti mendengarkan dongeng saja apalagi saat jam pelajaran siang hari. 

Karena sering diulang-ulang, kalimat tersebut tersimpan di memori saya meskipun sedikit saja penggalan materi yang disampaikan Bapak Guru waktu itu. Namun, tetap saja makna dari kalimat di atas belum sepenuhnya saya pahami. Apalagi saya tinggal di kampung, tempat orang tua saya lahir dan menetap. Kebetulan saya tinggal di linkungan yang juga homogen, tetangga sekeliling saya memiliki agama dan bahasa yang sama dengan saya. Saya juga sekolah di lingkungan sekolah dengan siswa seagama. Sehingga, bagi saya ungkapan itu hanyalah ucapan guru yang harus saya percaya saja.

Pengalaman mengenai perbedaan saya rasakan ketika memasuki dunia SMA yang siswanya beragam. Saya mulai mengenal teman yang berbeda, baik agama maupun suku. Pertama kali bergaul dengan teman yang berbeda, tidak dapat dipungkiri, saya merasa aneh dan sedikit canggung. Namun, lambat laun saya mulai paham, “Oh, ini lho yang dikatakan Pak guruku dulu. Jadi memang ada orang yang lain dengan kita!” Meskipun secara umum tidak ada perbedaan, tetapi timbul rasa hati-hati agar jangan sampai menyakiti perasaan mereka.

Dunia yang heterogen terasa semakin nyata ketika memasuki dunia kerja. Kebetulan saya bekerja di luar pulau Jawa. Pengalaman berada dalam keragaman di lingkungan yang baru dan di daerah asing pula, tentunya menjadi pengalaman tersendiri setelah sebelumnya mengalami keberagaman saat masih di Pulau Jawa. Sungguh pengalaman yang luar biasa saya dapatkan. Dalam satu asrama saya bertemu dengan bermacam-macam suku, bahasa, dan agama. 

Selama satu setengah tahun kami bersama-sama, tidak ada pertengkaran yang berarti. Kami sudah seperti saudara yang saling menguatkan, menghargai, dan membantu dalam menjalani keseharian. Kami merasa memiliki satu kesamaan yang menjadikan kami saudara, yaitu sama-sama ‘perantau’.

Momen ini terasa sebagai sebuah aksi nyata dari pembelajaran PMP waktu itu. Saya benar-benar semakin paham bahwa meskipun berbeda-beda, tapi kita dapat hidup bersama dan saling menghargai. Kami merayakan Idul Fitri bersama, menyiapkan menu Hari Lebaran bersama meskipun ada beberapa diantara kami yang beragama Nasrani. Saya sebagai seorang Muslim juga menghormati ketika mereka melaksanakan kegiatan keagamaan di asrama kami. Kami menjadi sahabat yang bisa saling curhat ketika mengalami masalah maupun saling memberikan nasehat. Sungguh benar-benar persaudaraan yang indah. Sungguh berbanding terbalik ketika di luar sana ada pemberitaan negatif di televisi atau di media sosial.

Sekarang saya memiliki babak kehidupan baru sebagai guru atau pendidik. Saya mulai mengenal Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) sebagai program yang harus saya ikuti dari yayasan sekolah. Meskipun awalnya bukanlah keinginan sendiri, tetapi saya mengakui bahwa program LKLB memperkaya pengetahuan saya. LKLB seolah membuka mata dan pikiran lebih dalam tentang pentingnya sikap toleransi kepada sesama. 

Berbagai kegiatan dalam LKLB memiliki peranan dalam mencegah intoleransi di tengah kondisi bangsa yang beragam. Hal ini secara tidak langsung juga memberikan sumbangan ilmu kepada para pendidik. Sebagai alumni LKLB, kami juga sering mendapat undangan webinar ataupun pelatihan dalam rangka peningkatan literasi. Saya mendapatkan pengalaman dan ilmu baru yang sangat menunjang dengan profesi saya sekarang sebagai seorang guru. Pastinya, bukan hanya saya yang bisa merasakan manfaat ikut serta dalam kegiatan yang positif ini melainkan semua alumnus LKLB yang mudah mudahan terus bertambah. Semoga kegiatan LKLB mendatang lebih bervariasi sehingga saya bisa memetik banyak ilmu.

Layaknya sebuah amanah yang harus disampaikan kepada generasi penerus, menanamkan pentingnya toleransi sangat penting untuk dilakukan seorang guru. Terutama sebagai guru sekolah dasar dimana para siswanya harus dibekali penanaman karakter. Hal tersebut juga sejalan dengan program yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, melalui Kurikulum Merdeka. Tujuannya untuk mewujudkan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai- nilai Pancasila yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong royong, kreatif, bernalar kritis, dan mandiri. 

Pembelajaran di Kurikulum Merdeka ini sangat mendukung penanaman karakter yang dikemas dalam pembelajaran berbasis proyek, baik dalam pembelajaran intrakurikuler maupun kokurikulernya. Bahkan ada juga Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang sangat memungkinkan mengajak anak untuk beraksi nyata dalam pembelajarannya. 

Sebagai seorang pendidik, saya tidak ingin anak-anak didik senasib dengan saya yang mengenal toleransi sebatas teori atau selayaknya dongeng belaka. Tantangan kehidupan mereka mendatang akan jauh lebih berat karena berbagai macam hal positif maupun negatif sangat mudah diakses hanya melalui sentuhan jari. Ponsel pintar bagaikan pisau bermata dua yang dapat menjadi bumerang bagi generasi penerus kita apabila mereka menggunakannya tanpa pendampingan dari orangtua. Informasi dari internet sangat memungkinkan memunculkan masalah intoleransi.

Intoleransi tentu harus dibuang dari negeri kita yang sangat beragam dalam budaya. Kekayaan budaya Indonesia juga tampak dari menu masakannya. Dalam masakan Nusantara sebenarnya bisa kita analogikan keberagaman. Misalnya “rujak”, seandainya hanya satu macam saja unsur bumbunya yaitu gula saja tanpa sedikit garam dan asam, tentu saja rasanya kurang sedap. Meskipun begitu, buah apapun di dalam rujak, misalkan mentimun, nanas, jambu, pepaya muda, rasanya tetap berbeda-beda meski berbalut bumbu yang sama,justru semakin nikmat.

Hidup bertoleransi dalam damai bukanlah sekadar dongeng. Toleransi sangatlah indah dan memiliki kandungan makna yang mendalam pada kehidupan. Tanpa toleransi, maka tidak ada kedamaian. Bila damai itu indah, mengapa harus mencari keributan?

Sebagai seorang pendidik, saya tidak ingin anak-anak didik senasib dengan saya yang mengenal toleransi sebatas teori atau selayaknya dongeng belaka. Tantangan kehidupan mereka mendatang akan jauh lebih berat karena berbagai macam hal positif maupun negatif sangat mudah diakses hanya melalui sentuhan jari.

Profil Penulis

Indira Noor Hasanah

Alumni LKLB Angkatan 19

Guru SD Muhammadiyah 1 Kudus, Jawa Tengah

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *