Oleh: Firman Syukria

Sebuah pesan dari aplikasi WhatsApp masuk dari teman saya bernama Hamdani yang sama-sama bertugas di KUA Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Pesan tersebut berisi undangan untuk mengikuti pelatihan internasional bersertifikat yang diadakan oleh Institut Leimena bekerja sama dengan pengurus Masjid Istiqlal Jakarta tentang Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) bagi guru dan penyuluh agama Islam. Saya selaku penyuluh agama Islam tertarik dengan acaranya, setidaknya sebagai sarana menambah ilmu, wawasan, dan pengalaman. Untuk seangkatan saya waktu itu dari Provinsi Aceh hanya tiga orang yang lulus dan mendapatkan sertifikat yaitu saya dan teman saya dari Kecamatan Meureubo dan satu lagi dari kabupaten Aceh Besar.

Banyak pelajaran dan pengalaman yang saya dapatkan setelah mengikuti program LKLB karena LKLB menjelma dalam kehidupan saya. Bagaimana saya mengembangkan keimanan (kompetensi pribadi), bagaimana saya mengembangkan pengenalan pada orang yang berbeda agama (kompetensi komparatif), bahkan mengajarkan saya bagaimana berkolaborasi bersama untuk mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia (kompetensi kolaboratif). Sepintas kurang relevan di daerah kami karena tidak ada pergaulan dengan non-Muslim atau agama selain Islam, namun implementasinya bisa saya aplikasikan dalam lingkungan sesama Islam dalam konteks kerukunan dalam bermasyarakat dan kerukunan umat beragama. Sekalipun sesama umat Islam, banyak khilafiyah (perbedaan pendapat di kalangan umat atau ulama Islam) yang menguras, bahkan tak jarang juga menimbulkan hal-hal tidak sesuai dengan etika dan adab bermasyarakat.

Di zaman teknologi canggih saat ini semakin banyak sarana dan wadah yang menyebabkan perselisihan dan perbedaaan sehingga sangat dibutuhkan kemampuan dan keterampilan individu atau kolektif  dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah tanpa menimbulkan masalah, menghadirkan solusi yang sesuai dengan ekspektasi.

Dalam penentuan awal Dzulhijjah dan Idul Adha tahun 2023 ini misalnya, terjadi perbedaan yang umumnya antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Berbeda antara kita Indonesia dengan di Mekkah yang melaksanakan Wukuf di ‘Arafah sehari sebelum Idul Adha, banyak orang yang bingung waktu itu, bukan hanya masyarakat di Indonesia tetapi juga di beberapa Negara Asia bagian Timur, ada juga yang mengecam perbedaan tersebut bahkan ada tokoh-tokoh yang mempertanyakannya, mengapa Indonesia yang letaknya lebih ke timur ketimbang Arab Saudi malah merayakan Idul Adha belakangan, mengapa perbedaan waktu kita dengan Arab Saudi yang hanya empat jam bisa menyebabkan perbedaan yang sedemikian rupa?

Butuh seorang mentor yang lihai dan bijak dalam menyikapi perbedaan dan mendinginkan suasana sehingga kedua orang yang berbeda tersebut bisa akur dalam hidup dalam masyarakat yang agamis, namun bisa tetap harmonis di tengah atau dalam perbedaan.

Sebenarnya bila kita mengetahui duduk persoalannya, perbedaan awal Dzulhijjah dan Idul Adha, misalnya, sesungguhnya tidak mengandung perbedaan secara hakiki. Di sinilah perlunya seseorang yang bisa memberikan informasi secara lengkap sekaligus penjelasan, pencerahan, dan penyuluhan. Meskipun timbul kesan seolah-olah ada perbedaan berdasarkan kalender Qamariyah dengan garis tanggal dan mengkolaborasikan waktu ibadah dengan tanggal menurut kalender Syamsiyah.

Ada juga orang yang mempertanyakan, mengapa tidak diseragamkan saja dengan Arab Saudi, mengapa kita di Indonesia dan di belahan dunia lainnya tidak mengikuti sesuai tanggal Idul Adha di Arab Saudi? Dengan kata lain, Mekkah dijadikan sebagai acuan, alasannya logis dan sederhana, bukankah di Mekkah ada Ka’bah Kiblat Umat Islam sedunia, sudah sewajarnya penentuan waktu ibadah seperti hari raya dan lainnya dengan kiblat ke Mekkah. Memang sepintas pendapat dengan alasan ini tampak benar, tetapi bila dikaji lebih mendalam, hal tersebut tidak mempunyai landasan syar’i dan ilmiahnya karena pendapat ini menghendaki keseragaman menurut tanggal Syamsiyah tetapi mengabaikan tanggal Qamariyah, padahal waktu ibadah dalam Islam ditentukan dengan tanggal Qamariyah.

Dalam hal perselisihan, setelah kita memberikan pendapat dan tanggapan yang tidak memihak dan menyalahkan yang lain dengan logika dan ilmiah serta analogi yang bisa diterima dan dicerna oleh kedua belah pihak akhirnya keduanya bisa bersama-sama dalam satu desa, satu ruangan bahkan satu meja saling berkomunikasi tukar pendapat, perselisihan hanyalah sekedar menurut pandangan masing-masing tidak mengedepankan ego apalagi otot.

Ada yang lebih menarik lagi perselisihan dan perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri, menariknya karena kebetulan dengan kejadian gerhana matahari sehingga pendapatnya lebih kuat dan akurat. Lagi-lagi antara NU yang penentuannya berdasarkan imkanur rukyat dengan Muhammadiyah yang penentuannya berdasarkan wujudul hilal.

Merujuk kepada definisi hilal yaitu bulan sabit, menurut mazhab Al-Syafi’I ra bulan sabit adalah cahaya matahari yang terpantul pada bulan. Peralihan bulan bukan pada wujud bulan di atas matahari saat ghurub tetapi pada adanya nampak cahaya matahari pada bulan saat ghurub. Artinya, penentuan berdasarkan bulan sabit ini bisa dilihat lewat mata, bukan dengan perhitungan Matematika atau hisab. Hisab hanya sebagai pendukung untuk posisi hilal, dan peralihan bulan tidak menyangkut dengan gerhana matahari, sebab gerhana matahari memastikan adanya bulan di atas matahari (wujudul hilal) saat ghurub bukan memastikan nampak cahaya matahari pada bulan. 

Dari informasi-informasi tersebut, kita mengajak mereka untuk memiliki literasi dalam beragama demi kenyamanan bersama, agar akhirnya bisa diterima dengan mengamalkan ibadah dalam perbedaannya masing-masing.

Alhamdulillah dari bekal ilmu yang saya dapatkan lewat berbagai kegiatan dalam program LKLB, saya optimistis bisa menghadapi dan mengatasinya. Indonesia Negara Pancasila, penuh dengan keragaman Agama dan budaya, apa pendidikan yang diberikan oleh Pancasila dalam menghadapi tantangan kohesi sosial masyarakat? Bagaimana sikap kita dalam menghadapi ujaran kebencian? Semuanya sudah dikupas sehingga sedikit banyak menjadi modal saya dalam bermasyarakat, serta mengatasi problematika di tengah masyarakat. Terima kasih Institut Leimena.

Banyak pelajaran dan pengalaman yang saya dapatkan setelah mengikuti program LKLB karena LKLB menjelma dalam kehidupan saya. Bagaimana saya mengembangkan keimanan (kompetensi pribadi), bagaimana saya mengembangkan pengenalan pada orang yang berbeda agama (kompetensi komparatif), bahkan mengajarkan saya bagaimana berkolaborasi bersama untuk mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia (kompetensi kolaboratif).

Profil Penulis

Firman Syukria

Alumni LKLB Angkatan 28

Penyuluh Agama Islam di Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *