Oleh: Ranatha FS Lumentut

“ Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,

perbuatlahlah demikian juga kepada mereka “

Menempuh pendidikan di sekolah negeri merupakan keinginan banyak murid di Indonesia karena adanya dorongan prestise tertentu. Secara ekonomi, biaya di sekolah negeri bisa dibilang murah bahkan gratis, namun usia sekolah negeri yang tua membuat institusi tersebut kaya akan pengalaman. Sejak sekolah dasar (SD) sampai kuliah, saya selalu belajar di sekolah negeri. Hal ini membuat saya bangga karena tidak semua teman saya bisa bersekolah di sekolah negeri dimana saya belajar karena merupakan sekolah favorit. 

Nah dari sekolah negeri inilah saya memulai pengalaman hidup dalam keberagaman, minoritas, dan mayoritas.

Ada hal-hal sama yang saya jumpai di masa-masa sekolah. Para murid di sekolah saya sejak SD sampai SMA, jumlah siswa beragama Kristen seperti saya paling hanya dua sampai lima siswa dari sekitar lebih dari 30 siswa. Saya hanya berpikir, ya, memang jumlah penganut agama Kristen tidak sebanyak Islam, jadi wajar saja. 

Namun, saya belum bisa memahami mengapa setiap upacara bendera dan kegiatan sekolah selalu dimulai dengan doa dalam agama Islam oleh guru beragama Islam? Padahal ada guru agama Katolik dan guru agama Kristen. mengapa tidak dilakukan bergantian, atau dijadwalkan guru berbagai agama yang membacakan doa. Itu pertanyaan yang belum pernah terjawab hampir selama 12 tahun saya belajar di sekolah negeri. Bukankah Indonesia mengakui berbagai agama? Namun, mengapa hanya berdoa dalam satu agama saja?

Pertanyaan di atas hanya saya simpan di dalam hati tanpa ada keinginan untuk menyampaikan kepada siapa pun. Saya juga mencoba berdamai bukan dengan lingkungan, tapi setidaknya dengan pikiran saya sendiri. Saya akan berdoa sesuai ajaran guru Sekolah Minggu saya ketika kegiatan upacara atau lainnya. Bagusnya, saya harus benar-benar fokus untuk berdoa. Ini bentuk penghiburan diri yang positif dari saya ketika berusia belasan tahun.

Saat ini, saya adalah guru di sebuah sekolah Kristen. Saya sudah tidak mengalami kondisi dimana saya menjadi minoritas, sebaliknya semua guru beragama Kristen termasuk sebagian besar siswanya. Berbeda dengan masa saya sekolah, saat ini rasanya seperti tinggal di zona nyaman. Mau berbicara tentang ajaran agama sangat leluasa, menyetel lagu-lagu rohani Kristen dari Youtube juga sangat bebas. Enak sekali rasanya, maklumlah dulu tidak merasa bisa seleluasa itu.

Namun masih ada kegelisahan yang timbul di hati juga meskipun sekarang di tempat kerja saya sudah sebagai mayoritas.  Awalnya memang tidak begitu menyadarinya, tapi pemikiran saya yang dulu kembali muncul karena setiap upacara bendera atau kegiatan sekolah lainnya maka doa yang sekarang saya dengar adalah doa secara Kristen dan yang membacanya adalah siswa Kristen.

Tapi apakah ini semata-mata hanya jumlah dalam populasi siswa saja? Tidak sengaja untuk tidak dijadwalkan atau ya memang dalam zona mayoritas, hal-hal begini jarang dipikirkan? Apa yang akan dipikirkan murid saya yang bukan Kristen, samakah seperti saya dulu?

Kita bisa berada dalam posisi mayoritas dan kita bisa berada dalam posisi minoritas, baik dalam waktu pendek mau pun dalam waktu yang cukup lama, dan hal ini bisa terjadi pada siapa saja sebagai kondisi yang tidak bisa kita hindari. Baik jika ada cara pandang yang bisa kita pahami bersama saat kita berada dalam kondisi manapun. Yuk mari kita renungkan.

Pengalaman sederhana di atas menjadi sebuah pengalaman berharga, yang kemudian membuat saya mencoba bijaksana dalam berbagai kondisi, mencoba tidak berfokus pada mayoritas atau minoritas. Tapi mulai berpikir hal terbaik yang saya bisa saya kerjakan sebagai manusia bagi manusia lain.

“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlahlah demikian juga kepada mereka.” Kalimat ini tiba-tiba muncul saat merenungkan perkara ini. Semua orang inginnya dimengerti, dihormati, dan ingin dianggap, ya mari kerjakan itu bagi orang lain terutama dalam menyikapi kondisi mayoritas dan minoritas. 

Saat menjadi mayoritas belajar menjadi komunitas yang memberikan perlindungan dan rasa nyaman bagi minoritas, serta mengasihi dan membuat mereka merasa di “rumah”. Tentulah kerendahan hati sangat diperlukan bagi sang mayoritas, karena tantangan untuk mengabaikan minoritas rasanya tidak akan menumbuhkan perasaan bersalah. Itu mungkin karena orang lain juga melakukannya.

Perasaan tersisih juga mudah muncul saat menjadi minoritas, namun kita perlu menjadi logis juga. Misalnya, berani menyampaikan ide-ide keberagaman bisa merupakan pemikiran cemerlang yang tidak terpikirkan oleh kaum mayoritas. Jadi belajar berani memberi kontribusi. Ini juga perlu usaha dari dalam diri. Merasa kecil dan sedikit bukanlah alasan pembenar untuk diam saja dan terbawa dalam suasana apatis. Jadi, ayo kita memberi diri.

Satu sudut pandang yang bisa kita ambil adalah berusaha membangun masyarakat dimana kita berada dengan pemikiran dan aksi nyata kita. Buaian perasaan ada kalanya tidak membawa kita kemana pun. Namun, pemikiran yang terbuka dan mencoba menyelaraskan diri dengan nilai-nilai bangsa akan membuat kita merasakan pengalaman-pengalaman yang menakjubkan. 

Dari ruang kelas saya sendiri, saya berusaha membuat perubahan. Kini, ruang kelas saya mulai terdengar doa dari beberapa agama. Rasanya senang karena saat menjadi mayoritas, saya bisa memberikan sedikit rasa nyaman untuk mereka yang minoritas

Saat kembali ke rumah, maka saya kembali menjadi minoritas di lingkungan. Saya mencoba menikmati salah satunya jika ada undangan sembayangan untuk memperingati tujuh harian keluarga yang meninggal. Saya memilih datang karena tuan rumah pasti senang jika banyak yang hadir di acara mereka. Pernah juga saat keluarga saya mengadakan syukuran, maka tetangga saya juga mau datang ke rumah dan makan banyak sekali hidangan ibu saya. Mereka memuji hidangan kami dengan mengatakan makanan yang tersaji enak dan banyak. 

Apa yang berusaha saya lakukan memang langkah kecil. Mungkin juga tidak disadari siapa pun. Namun saya sedang belajar jujur dan belajar menerapkan sungguh-sungguh literasi keagamaan lintas budaya (LKLB). Tidak ada kata terlambat untuk belajar, bukan?

Kita bisa berada dalam posisi mayoritas dan kita bisa berada dalam posisi minoritas, baik dalam waktu pendek mau pun dalam waktu yang cukup lama, dan hal ini bisa terjadi pada siapa saja sebagai kondisi yang tidak bisa kita hindari.

Profil Penulis

Ranatha FS Lumentut

Alumni LKLB Angkatan 27

Guru SMP Kristen Tritunggal, Semarang

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *