Duta Besar Kerajaan Belanda, Lambert Grijns, saat membawakan sambutan dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya bertemakan “Perspektif Global dalam Memerangi Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan”, Selasa (22/8/2023).
Jakarta, LKLB News – Indonesia dan Belanda mempunyai tradisi panjang dalam menjaga toleransi beragama di tengah masyarakat. Kedua negara juga diikat oleh keyakinan yang sama untuk menghargai keberagaman.
Hal itu disampaikan oleh Duta Besar Kerajaan Belanda, Lambert Grijns, dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya bertemakan “Perspektif Global dalam Memerangi Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan” oleh Kedutaan Besar Belanda bersama Institut Leimena, Selasa (22/8/2023).
Dubes Grijins mengatakan Indonesia sebagai negara yang plural telah dikenal memiliki tradisi gotong royong sekalipun dengan umat berbeda agama, sedangkan Belanda mempunyai polder model sebagai suatu konsensus untuk mengesampingkan perbedaan demi kepentingan lebih besar.
“Meskipun agama membentuk masyarakat kita dengan cara berbeda-beda, namun Belanda dan Indonesia dipersatukan pada keyakinan yang sama bahwa semua warga negara mempunyai hak untuk hidup bebas dari diskriminasi,” kata Dubes Grijins.
Dubes Grijins mengatakan agama memainkan peranan sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Indonesia sendiri dideskripsikan sebagai salah satu negara paling religus di dunia karena elemen agama sangat lekat dalam keseharian masyarakat. Misalnya dalam isu perbankan, seni, kematian, makanan, dan lainnya yang memang sejalan dengan dasar negara Indonesia yaitu Pancasila khususnya sila 1 Ketuhanan Yang Maha Esa.
Senada dengan itu, masyarakat Belanda hidup dalam keberagaman agama dimana Islam mengalami pertumbuhan mencakup 5% dari warga Belanda, sedangkan mayoritas yaitu lebih dari 30% beragama Kristen.
“Kita adalah negara yang beragam dan percaya kepada penghargaan, kepada setiap manusia sebagaimana mereka adanya. Ada kekayaan dan kekuatan dalam keberagaman,” ujar Dubes Grijins.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan tema webinar terinspirasi oleh Resolusi Dewan HAM PBB 16/18 yang secara lengkap berbunyi “Memerangi Intoleransi, Stereotip (atau prasangka) dan Stigmatisasi negatif, dan Diskriminasi, Hasutan untuk melakukan Kekerasan dan Kekerasan terhadap Orang-orang Berdasarkan Agama atau Kepercayaan”.
“Resolusi HAM 16/18 menunjukkan yang menjadi fokus tidak hanya melawan tindakannya, tapi juga pola pikirnya. Melawan tindakan saja sudah sulit, apalagi melawan pola pikir,” kata Matius.
Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib, saat memberikan paparan.
Tantangan Manipulasi Informasi
Menurut Matius, lalu lintas informasi di era digital yang begitu luas saat ini, menjadi tantangan besar karena adanya upaya-upaya untuk menguasai alam pikiran manusia dengan berbagai manipulasi informasi dan ajaran yang merendahkan manusia lainnya hanya karena alasan agama atau kepercayaan.
Dia mengatakan ketika alam pikiran seseorang dikuasai ketakutan atau kebencian terhadap orang lain karena informasi atau ajaran yang salah tersebut, sebetulnya yang direndahkan martabatnya bukan hanya orang lain, tetapi juga dirinya sendiri. Pasalnya, pola pikir tersebut justru menghambat pertumbuhannya sebagai seorang manusia yang sesuai martabatnya.
“Dalam kerangka inilah juga, program Literasi Keagamaan Lintas Budaya berupa pelatihan para guru dan pendidik lainnya dilaksanakan oleh Institut Leimena bersama belasan lembaga lainnya,” kata Matius.
Matius menjelaskan program LKLB berusaha mengembangkan kompetensi dan keterampilan untuk membangun relasi dan kerja sama dengan yang berbeda agama dan kepercayaan, sehingga secara bersama-sama dapat ikut menghadapi potensi berkembangnya pola pikir dan sikap ketakutan atau bermusuhan hanya karena berbeda agama dan kepercayaan dalam masyarakat yang majemuk.
Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib, mengatakan Indonesia secara konsisten mendukung implementasi dari Resolusi 16/18 yang secara prinsip mengedepankan pentingnya toleransi. Dia menegaskan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
“Sebagai konsensus nasional dan landasan utama dari negara Indonesia, pluralisme dan toleransi adalah solusi untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia,” kata Achsanul.
Direktur Pusat Internasional untuk Studi Hukum dan Agama di Brigham Young University, Dr. Brett G. Scharffs, mengatakan situasi ujaran kebencian melibatkan hubungan sederhana antara pembicara dan target audiens. Seringkali, audiens ujaran kebencian yang menjadi akselerator atau “bensin”, bukan sebaliknya mendinginkan suasana. [IL/Chr]